Buket Wisuda, Perayaan yang Goblok dan Balas Budi yang Tanpa Arti

Buket Wisuda, Perayaan yang Goblok dan Balas Budi yang Tanpa Arti

Buket Wisuda, Perayaan yang Goblok dan Balas Budi yang Tanpa Arti (Pixabay.com)

Memasuki musim toga alias wisuda, tak lengkap rasanya tanpa mempersiapkan buket wisuda yang bakal diberikan kepada saudara, sahabat, atau kerabat yang mau wisuda nanti. Momen wisuda sudah identik dengan buket bunga, keduanya tak bisa dipisahkan. No buket, no wisuda!

Sebagaimana zaman, buket wisuda pun berkembang. Kini, tak hanya buket bunga yang bertebaran. Sekarang, mulai muncul buket snack, rokok, bahkan uang telah menjadi pengganti bunga.

Pergeseran bentuk buket, dari yang asalnya berbahan dasar bunga diganti dengan bahan dasar lain, juga diiringi dengan perubahan maknanya. Buket yang pada asal-muasalnya dimaknai sebagai simbol keberuntungan, kesuburan, dan penyambutan, kini telah menjadi ajang perlombaan dan pamer-pameran.

Wisuda cuma acara syukuran akademik, bukan hajatan

Banyak orang mengatakan bahwa wisuda adalah momen penting selama kuliah. Sebab, inti dari yang selama kuliah itu, ya, hanya untuk momen ini. Persepsi itu tertanam juga dalam masyarakat, bahwa tak afdal jika pas wisuda anaknya tidak dirayakan dengan mewah.

Miris memang melihat wisuda itu sendiri yang sebenarnya tidak wajib. Hanya semacam syukuran akademik bukan hajatan pernikahan, bagi orang-orang malah diartikan sebaliknya. Apalagi di kampung halaman saya di Madura, semua sanak kerabat datang hanya untuk menyaksikan satu anak yang wisuda. Padahal pihak kampus hanya memberi undangan kepada kedua orang tua mahasiswa yang bisa masuk gedung. Tapi kok ya sekampung yang ikut datang.

Sebab itulah, penertiban acara wisuda kampus saya sendiri hampir tidak pernah berhasil. Jika perkiraan tamu yang hadir berjumlah 100, yang datang malah 1000. Antusiasme ini pada akhirnya juga menjadi masalah kalau tujuannya hanya untuk berlomba-berlomba dalam membanggakan diri: betapa anaknya begitu dibanggakan, betapa keluarganya sangat antusias, dan betapa-betapa yang lain…

Baca halaman selanjutnya: Buket uang untuk ajang pamer…

Buket uang untuk ajang pamer

Mungkin ada teman-teman calon wisudawan tahun ini merasa bimbang bagaimana andai tak ada yang memberi buket di hari perayaan nanti. Tenang, pikiran itu juga menghantui saya tahun lalu, beberapa bulan sebelum diwisuda. Sebagai seorang anak petani kampung, menghayal bahwa orang tua saya akan tebersit untuk membelikan anaknya sebuah buket adalah mimpi di siang bolong.

Apalagi saya juga seorang jomblo, jadi kemungkinan hadiah itu datang dari pacar atau tunangan mustahil pula. Salah satu harapan, ya, dari seorang teman.

Tapi, saya sadar diri setelah itu, bahwa mengharap pemberian orang lain itu tidak baik. Saya mencoba membuat hati saya lebih legowo. Toh, ada atau tidak yang beri hadiah, sama saja kan, meskipun nanti rasa minder itu datang. Jujur saja saya merasa iri hati melihat mahasiswa lain yang dikasi buket uang kertas bergambar Bung Karno dan Bung Hatta atau buket-buket dalam bentuk lain.

Bagi orang macam saya, hal itu adalah ajang pamer-pamer yang sama sekali nirfaedah. Tujuan memberi buket bukan lagi sebagai ungkapan rasa syukur, melainkan alat untuk flexing, terlebih di media sosial. Meskipun dari sisi yang diberi tidak bermaksud demikian, bisa jadi dari sisi si pemberi yang pengin unjuk eksistensi.

Utang buket yang diharus dibalas

Terakhir, budaya beri-memberi buket saat ini sudah jauh dari kata ikhlas. Jika saya diberi buket oleh seseorang misalnya, suatu nanti saya harus membalas budi pemberiannya. Bayangkan saja jika saya dikasih buket uang beratus-ratus ribu, apakah saya akan membalasnya dengan buket jajanan seharga Rp1000-an, jelas tidak kan. Ini juga bukan hanya berlaku pada buket di momen wisuda, di momen lain semacam pernikahan pun juga terjadi. Kita wajib membalas pemberian kado dari orang yang dulu memberi kado di hari pernikahan kita, misalnya.

Untuk contoh terakhir, budaya semacam itu memang merupakan bentuk balas budi, atau di Madura dikenal dengan “males thengka”. Saling berbalas “thengka” dalam pernikahan sudah menjadi budaya yang mandarah daging, karena pernikahan merupakan ritual yang dianggap sakral. Namun, beda cerita dengan wisuda yang hanya sebatas perayaan semata.

Memang mencari nilai edukatif dalam buket wisuda itu sulit, sebab wisuda itu sendiri pada hakikatnya tidak bersifat edukatif. Makanya Kemendikbud sendiri tidak mewajibkannya.

Jika saya diberi pilihan, saya akan milih nggak ikut acara wisuda, biar tak keluar biaya. Tapi, karena wisuda sudah menjadi budaya yang “wajib” di masyarakat kita, apalah daya. Dan lagi, jangan sampai beri-memberi buket itu menjadi budaya pamerisme yang tak bermanfaat yang menambah deret kenelangsaan mahasiswa yang wisudanya udah “susah”.

Penulis: Abd. Muhaimin
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Merencanakan Selebrasi, padahal Ngajuin Judul Skripsi Saja Belum. Kebiasaan!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version