Bukan Minat Baca Kita yang Rendah, tapi Memang Dididik untuk Tidak Membaca

Bukan Minat Baca Kita yang Rendah, tapi Memang Dididik untuk Tidak Membaca

Bukan Minat Baca Kita yang Rendah, tapi Memang Dididik untuk Tidak Membaca (Pixabay.com)

Wis to, ndak usah ndakik-ndakik bilang; baca buku, maka ubahlah dunia. Duh abot tenan. Nyatanya daripada dibaca, masyarakat kita lebih gemar menjadikan buku sebagai bungkus sego kucing, atau petasan saat puasa dan menjelang lebaran. Minat baca memang rendah, dan itu tidak bisa dimungkiri.

Menurut dataindonesia.id yang mengutip data dari Perpustakaan Nasional (Perpusnas), tingkat kegemaran membaca (TGM) masyarakat indonesia, pada 2022 sebesar 63,9 poin. Skor tersebut bahkan meningkat 7,4 persen jika dibanding tahun sebelumnya, dengan perolehan poin sebesar 59,52. Itu pun angkanya sudah tergolong tinggi. Jika dibanding tahun-tahun sebelumnya, tingkat kegemaran membaca Indonesia hanya selalu berada dalam kategori sedang.

Jadi kalau melihat data tersebut, berarti sebenarnya nggak rendah minat baca masyarakat kita? Tapi, mungkin rujukan datanya berbeda. Oke oke, biar opini kita berimbang saya coba hadirkan data yang lain.

Data minat baca yang mengerikan

Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menginisiasi adanya Program for International Student Assessment (PISA). PISA itu intinya adalah fokus studi untuk mengevaluasi sistem pendidikan yang diikuti lebih dari 70 negara di seluruh dunia.

Nah pada 2019, PISA melakukan survei yang dirilis oleh OECD dengan memperlihatkan posisi Indonesia berada di peringkat 62 dari 70 negara yang memiliki tingkat literasi rendah. Atau dalam kata lain, berdasarkan survei ini Indonesia berada pada peringkat 10 terbawah dengan tingkat literasi terendah.

Pada 2022, Presiden direktur Big Bad Wolf Indonesia Uli Silalahi pada kesempatan press conference acara tersebut, menyebutkan, “Minat baca masyarakat kita di tahun 2016 sampai sekarang belum berubah.” Berdasarkan data BPS tahun 2022, Uli menjelaskan kegemaran membaca masyarakat Indonesia secara keseluruhan berada di angka 59,52, dengan durasi membaca 4-5 jam per minggu, dan 4-5 buku per triwulan.

Sedangkan pada 2016, UNESCO menyebut minat baca masyarakat Indonesia hanya 0.001 persen. Dengan kata lain, dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu orang yang gemar membaca. Bahkan lebih ngeri lagi, masih di tahun yang sama, Central Connecticut State University merilis riset yang bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked, menunjukkan posisi Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara soal rendahnya minat membaca.

Sek sek. Kalau dilihat berdasarkan data perpusnas, sebenarnya tingkat membaca masyarakat kita tidak rendah. Namun setelah melihat data-data lain di atas, rasanya kok mengerikan, ya.

Ini memang minat baca kita rendah, atau jangan-jangan memang budaya kita yang mendidik membentuk menjadi seperti itu?

Faktor keluarga

Pertama, kita mulai dari keluarga. Faktor keluarga adalah yang paling penting, untuk mengarahkan setiap kita akan menjadi bagaimana dan seperti apa. Termasuk gimana kita memandang penting tidaknya kegiatan membaca.

Tingkat kemiskinan yang masih tinggi, menjadi salah satu akar persoalan di lingkungan keluarga. Sebagai orang yang lahir dan besar di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah, saya menyaksikan betul persoalan ekonomi mengalahkan hal-hal lain. Ojo kok mengajari dan membiasakan anak-anak membaca buku, para orang tua lebih keras mendidik untuk kerja kerja kerja, jauh sebelum Jokowi menggaungkan itu.

Mungkin, bagi orang tua membaca adalah kegiatan yang sia-sia. Makanya daripada sibuk membaca, mereka lebih gemar mendidik anak-anak untuk membantu kegiatan di ladang, kebun, dan sawah. Maklum, saya tinggal di tengah masyarakat agraris.

Dengan membantu para orang tua untuk kegiatan perekonomian, setidaknya mereka bisa memastikan hari esok tidak akan kelaparan. Urusan baca membaca, itu belakangan.

Siklus seperti itu, hampir setiap hari terjadi. Pada akhirnya, tak jarang setelah anak-anak tumbuh dewasa lebih suka kerja kerja kerja. Kalau nggak kerja nggak makan. Jadi dear Pak Jokowi, ndak usah ajari kami untuk giat kerja, Jauh sebelum bapak bilang, orang tua kami sudah dengan keras mengajarkan, walau juga hasilnya ndak kaya-kaya.

Baca halaman selanjutnya

Disuruh menghafal, bukan disuruh membaca

Faktor pendidikan

Kedua, kita bahas soal pendidikan. Sebagai referensi saja, menurut cerita orang-orang yang pernah tinggal di Jepang, mereka menyaksikan sendiri gimana pendidikan negara sakura itu dalam mengampanyekan literasi.

Di Jepang, sejak kelas satu SD murid-murid hampir setiap hari dapat tugas membaca. Kalau saya SD dulu tugasnya menggambar. Template lagi gambarnya, gunung kembar, ada sawahnya, ada jalannya, dan matahari di tengah-tengah. Gitu aja terus.

Tugas membaca bagi siswa SD di Jepang, harus dilakukan dengan nada suara yang keras. Tujuannya adalah agar keluarga mendengar, setelah itu salah seorang keluarga harus memberikan tanda tangan sebagai bukti bahwa anaknya sudah mengerjakan PR. Seumur-umur, saya tidak pernah menemui tugas yang beginian di Indonesia. Kalaupun ada, tugasnya adalah membaca kisi-kisi untuk ujian. Itu pun dibaca atau nggak, gurunya tak peduli.

Lanjut. Slogan-slogan tentang pentingnya membaca yang terpampang di sekolah-sekolah kita, rasanya tak lebih dari sekadar hiasan untuk mempercantik lorong dan formalitas belaka. Loh kok iso? Yo iso. Gini, seberapa jauh slogan itu dibarengi dengan langkah praksis dunia pendidikan kita? Ya paling mentok memberi PR untuk membaca kisi-kisi tadi.

Toh tabiat sistem pendidikan kita lebih senang mendidik untuk menghafal, mendidik untuk nurut, mendidik bahwa guru sumber kebenaran. Jadi, ya buat apa repot-repot membaca, kalau ujung-ujungnya yang dibaca tidak sesuai dengan keinginan guru?

 Minat baca rendah adalah konsekuensi logis

Maka sebenarnya, kegemaran masyarakat memanfaatkan buku sebagai bungkus nasi kucing dan petasan adalah konsekuensi logis dari lingkungan-lingkungan kita. Karena ya memang dididiknya seperti itu. Ingat, gemar membaca itu bukan bakat, apalagi bawaan dari sononya, tapi harus dididik sedari dini. Kaya Jepang itulah minimal, contohnya.

Dear pemerintah, kalau mau benar-benar mengampanyekan literasi membaca, minimal dua itu tadi harus dibenahi dulu. Pertama soal kesejahteraan masyarakat, dan kedua sistem pendidikan kita. Tugasnya sudah ringan lho, dengan hadirnya kesadaran kolektif masyarakat dengan membuka taman baca, perpus keliling, itu pun sering dibredeli, hadehhh.

Penting kok membaca itu, saya sepakat. Setidaknya kalau tidak bisa mengubah dunia, tapi bisa mengubah sudut pandang kita terhadap dunia. Tapi sekali lagi, kalau tingkat membaca kita rendah, jangan serta merta salahkan penjual nasi kucing dengan bungkusnya yang dari buku, jangan juga salahkan yang gemar menjadikan buku sebagai petasan, wong yo pancen dididiknya seperti itu.

Penulis: Faiz Al Ghiffary
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Rendahnya Minat Baca Masyarakat Indonesia Itu Bukan Hoax, Saya Jadi Korbannya!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version