Pernahkah merasa menyesal telah berbuat banyak kebaikan, tetapi hanya karena satu keburukan yang bagi kita sangat sepele, semua hal baik itu seolah tak ada artinya? Pernahkah pula merasa kebaikan yang lebih gede dari gunung itu tidak dihargai oleh orang lain? Bila begitu, haruskah pensiun dini dalam berbuat baik, kemudian berniat untuk mengubah haluan—agar orang menghargai kebaikan-kebaikan yang sudah kita lakukan?
Saya mendadak tergelitik dengan beberapa tulisan yang akhir-akhir ini sering melintas di lini masa salah satu media sosial saya, yakni tentang kebaikan yang tidak dihargai atau dipandang sebelah mata, dan kiriman serupa lainnya. Mau bagaimanapun model kalimatnya, inti dari tulisan-tulisan itu adalah orang jahat adalah orang baik yang tersakiti. Mirip-mirip Joker lah yhaaa~
“Jika seseorang sering berbuat baik tetapi tidak dihargai, maka jangan tanya kenapa orang tersebut bisa berubah menjadi jahat.”
“Ketika perbuatan baik seseorang tidak pernah dihargai, jangan kaget saat sifat buruk seseorang akan muncul ke permukaan.”
“Kecewa itu saat terlalu sering berbuat kebaikan kepada orang lain, tetapi orang lain tidak menghargai.”
“Daripada jadi orang baik tapi nggak dihargai, mending jadi anak nakal lagi aja, ah.”
“Apa gunanya berbuat baik, kalau pada akhirnya tidak pernah dihargai dan hanya dipandang sebelah mata? Percuma, cuma bikin kecewa dan makan hati.” Hati ayam?
“Sikap saya bergantung pada Anda. Anda baik, saya bisa jauh lebih baik. Tapi kalau Anda jahat, saya bisa lebih jahat dari Anda.”
Yah, seperti yang di atas itulah beberapa contohnya. Hampir mirip fenomena Joker, kaaaan? Mungkin maksud mereka, mereka itu maunya berbuat seenak udel, tapi begitu tobat dan sekali saja berbuat baik ya langsung disembah.
Ya, memang tidak ada yang salah dengan kiriman-kiriman yang saya maksud. Itu hak mereka. Yang dicurahkan pun adalah isi hati mereka. Lagi pula, yang digunakan adalah akun media sosial dan paket data milik mereka. Mereka tidak pernah meminjam atau menodong dari saya. Jari yang digunakan untuk mengetik pun bukan punya saya. Saya hanya urun mripat untuk membaca.
Tapi jujur saja, tulisan-tulisan begitu mengingatkan saya ketika masih duduk di bangku sekolah menengah, beberapa tahun ke belakang. Dan setelah dipikir-pikir lagi, pemikiran semacam itu memang menjurusnya ke kalkulasi. Hitung-hitungan. Baiknya hanya pura-pura dan untuk pamer, dengan hasrat agar dilihat oleh orang-orang. Lalu, jatuhnya jadi tidak ikhlas. Serasa hanya mencari pengakuan dari sekitar supaya dianggap baik. Terkesan hanya cari muka. Padahal selama ini muka saya tidak pernah hilang, kenapa pula harus cari muka? Hehehehe. Sepertinya waktu itu saya memang sedang kurang kerjaan.
Semakin bertambah usia, saya semakin mengerti bahwa ternyata orang yang benar-benar baik justru tak pernah berharap memperoleh perlakuan yang sama ataupun meminta balasan dari orang lain. Ya sudah, berbuat baik ya berbuat baik aja, tanpa embel-embel apa-apa. Kalau berbuat baik dengan harapan agar mendapat balasan yang sama, itu namanya menjual harga diri. Kalau perbuatan baik pribadi pakai acara dipublikasikan segala, bukankah itu namanya sedang memfitnah diri sendiri. Eh?
Tapi bukan saya namanya kalau tidak tahu cara untuk membela diri. Eh?
Bisa saja, ya, bisa saja, waktu itu saya belum berpikir bahwa sebenarnya berbuat baik kepada siapa saja itu sudah menjadi kodrat sebagai manusia. Bahwa sesungguhnya perbuatan baik itu ialah watak bawaan sejak masih bayi, atau bahkan fase jauh sebelumnya. Suatu hal yang sifatnya biasa-biasa saja. Tidak begitu istimewa. Bukan hal yang perlu diungkit-ungkit sebagai alasan untuk bersikap pamrih. Bukan sesuatu yang mahal serta mewah. Bukan sesuatu yang aneh. Bukan sesuatu yang langka dan hampir punah. Bukan hal yang patut membuat saya menjadi congkak dengan merasa jauh lebih baik dari orang lain.
Justru memang akan aneh rasanya jika keadaan terbalik. Seribu keburukan dilupakan hanya karena satu kebaikan. Seolah-olah kebaikan adalah sebuah kosakata baru dalam kamus kehidupan manusia pada zaman yang serbamodern ini. Dianggap sangat luar biasa dan begitu istimewa sekaligus langka. Seolah-olah, kebaikan menjadi perbuatan yang sangat perlu untuk dipublikasikan, butuh pengakuan, serta harus diungkit secara terus menerus. Lah?
Itu ibarat cewek yang mengagumi seorang cowok yang punya hobi marah-marah, menghina orang, suka bertindak seenaknya, omongannya kasar, pemabuk berat, dan hal-hal buruk semacamnya. Tetapi karena ganteng, semua keburukannya itu dimaklumi. Buset, dah.
Memang. Ada masanya seseorang harus melupakan seribu kebaikan dan mengingat satu keburukan, yaitu kebaikan dan keburukan kepada orang lain. Ada masanya pula seseorang harus melupakan seribu keburukan dan mengingat satu kebaikan, yaitu keburukan serta kebaikan dari dan oleh orang lain.
Tapi, kita ini kan manusia, ya. Punya keterbatasan dalam memahami hal-hal dasar semacam ini, bahkan ada yang sampai tertekan karena kurang sabar dalam mencari apa yang salah. Hanya karena sering terbalik dalam memaknainya. Juga cuma karena sering sekali salah tempat dalam menerapkannya.
Masih ada yang protes, “Tapi nyatanya orang emang lebih suka mengungkit keburukan orang lain dan mudah melupakan kebaikan orang lain.”
Kalau memang ada banyak orang yang sering mengungkit keburukan kita, anggap saja mereka adalah asisten yang mengambil alih tugas untuk mengingat keburukan kita, sekaligus penopang memori dalam otak yang makin penuh ini. Mari menghargai kebaikan mereka yang dengan sukarela menjadi asisten tanpa harus dibayar, meski mengorbankan banyak waktu dan tenaga. Kalau merasa tidak enak kemudian mau membalas dengan melakukan hal serupa, juga silakan. Itu hak asasi semua orang, kan? Kewajiban yang perlu dipenuhi pun sangat gampang: hanya harus menanggung capeknya saja.
Kalau masih ngotot agar kebaikan-kebaikan kita dihargai oleh orang lain, memangnya penghargaan semacam apa yang diinginkan dan diharapkan? Adakah urusan antara perbuatan tersebut dengan orang lain?
Sekian. (*)
BACA JUGA Orang Jahat adalah Orang Baik yang Tersakiti: Joker Bukan Orang Baik, Stop Bermental Korban! atau tulisan Lestahayu lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.