Biasanya saya mendukung tim lain yang tidak diunggulkan saat tim favorit saya tidak ikut kontestasi. Pada gelaran NBA Playoff kali ini saya melakukan hal yang sama. Saat tim favorit saya Brooklyn Nets harus terhenti di fase pertama saya mendukung tim lain. Saya cukup menikmati pertandingan di final tiap wilayah—walaupun di wilayah barat Portland Trail Blazers tidak mampu mengimbangi Golden State Warriors seperti prediksi banyak orang.
Saya lebih senang menonton final wilayah timur karena Toronto Raptors akhirnya menyamakan kedudukan 2 – 2 melawan Milwuakee Bucks pada gim keempat. Saya senang karena—di luar dugaan banyak orang—Raptors mampu bangkit dari ketertinggalan dan memiki peluang untuk tampil di final melawan Warriors. Pada babak final masing-masing wilayah jelas saya mendukung Blazers dan Raptors sebagai tim-tim yang tidak diunggulkan. Karena itu saya senang ketika Raptors bisa menyamakan kedudukan.
Namun saya tidak bisa membagikan kesenangan yang saya dapatkan ini di Twitter karena di linimasa banyak sekali twit tentang kerusuhan di Jakarta. Semua pandangan sedang tertuju kesana, semua kanal berita sedang membombardir dengan liputan kerusuhan itu, jarang terlihat ada berita positif di dalamnya. Rasanya kurang pantas mengungkapkan kegembiraan di tengah kekacaubalauan ini.
Walaupun kerusuhan terjadi di Jakarta dampaknya terasa hingga ke daerah. Banyak demonstran yang datang dari daerah sehingga keluarganya di rumah tentu was-was. Kecemasan juga dirasakan pihak yang tidak ikut mendukung aksi tersebut karena merasa perseteruan kedua belah pihak akan semakin runcing.
Bahkan kerusuhan ini juga berdampak pada tidak berfungsinya sarana komunikasi yang sedang dimatikan seperti WhatsApp, Instagram, Facebook, dan Twitter. Banyak usaha kecil daring yang terganggu karena ini. Reporter berita media daring juga bermasalah tidak bisa mengirimkan foto dari lokasi melalui saluran tersebut.
Aksi 22 Mei ini sebenarnya sudah dibicarakan banyak orang sebelumnya. Pada hari Minggu kemarin saat saya berada di angkringan di tengah kota Jogja, pedagangnya bertanya-tanya, “Nanti kalau rusuh gimana ya, Mas? Nanti kalau seperti 98 gimana ya, Mas?”.
Sebelum 22 Mei, topik ini sudah menjadi bahan perbincangan di ruang demokrasi masyarakat kecil di kota yang jauh dari lokasi kerusuhan. Mengapa pihak berwenang tidak melakukan langkah preventif jika peristiwa ini bisa diprediksi bahkan oleh masyarakat kecil?
Pemerintah melalui Menteri yang bertanggungjawab atas keamanan negara memang sudah melakukan langkah preventif. Apa yang dilakukannya? Mengancam akan menangkap tokoh yang pernyataannya negatif, menghadang arus masa dari daerah yang akan melakukan aksi 22 Mei. Tetapi kerusuhan tetap pecah pada hari-H. Sepertinya Pemerintah harus mencari langkah yang lebih efektif untuk mengatasinya.
Jika langkah yang cenderung koersif tidak bisa meredam arus masa tersebut tidak ada salahnya menyentuh ranah kognitif dari masyarakat. Tetapi bukankah Presiden telah memiliki program revolusi mental? Mengapa masih terjadi kekacauan di mana-mana? Apa yang salah dengan semua ini?
Para demonstran pada aksi 22 Mei memiliki tuntutan yang jelas yakni menggugat hasil Pilpres karena diduga penuh dengan kecurangan. Seperti yang telah kita ketahui bahwa KPU mengumumkan hasil Pemilu lebih cepat yakni tanggal 21 Mei 2019. Petahana menang dengan presentase 55,50% dari total suara sah, sementara penantangnya mendapatkan 45,50%. Kemungkinan para demonstran adalah bagian dari 45,50% tersebut.
Tugas berat Presiden pada periode selanjutnya adalah menyatukan kedua kubu politik tersebut. Aneh rasanya ada seorang Presiden yang berperilaku santun, suka blusukan, populer di media, melakukan banyak pembangunan tetapi ada banyak orang yang tidak menyukainya. Bisakah yang tidak memilih petahana dalam Pilpres kemarin disebut tidak menyukai Presiden? Jika bisa terjadi hal yang demikian artinya ada sekitar 68.650.239 (45,5%) orang yang tidak menyukainya. Angka tersebut tidak sedikit apalagi mereka semua adalah warga negara.
Jika tidak ada langkah yang efektif, pada masa yang akan datang kemungkinan kekacauan-kekacauan seperti di atas akan terjadi kembali. Cara-cara lama harus ditinggalkan karena terbukti tidak bisa menyelesaikan masalah. Para elite politik harus berani bergerak turun kepada para pendukung lawan untuk merangkulnya. Bukan malah saling serang dari kandang masing-masing. Mereka diharapkan bisa berkomunikasi secara terbuka, mendengarkan masalah yang ada di bawah lalu mencarikan solusinya.
Suasana hati saya jadi berubah karena peristiwa ini, tadinya saya bersemangat menonton pertandingan playoff bola basket NBA. Namun saya menjadi naif jika memikirkan diri sendiri menikmati pertandingan bola basket. Bagaimana dengan mereka yang bekerja di dekat lokasi kerusuhan? Pasti sangat terganggu.
Saya jadi teringat sebuah diskusi tentang bola basket dengan teman saya sebelum peristiwa ini. Teman saya mengatakan bahwa ia belajar dari Golden State Warriors, bagaimana mereka bisa menjadi superteam dari awalnya tim underdog. Saat ini Warriors sudah melangkahkan kakinya di final, jika mereka menang maka akan mendapatkan gelar juara tiga musim berturut-turut. Kata teman saya, hal itu bisa diraih karena pembenahan sistem yang mengelola tim tersebut.
Superteam yang lain LA Lakers justru melempem di musim reguler dan gagal masuk playoff. Padahal mereka memiliki superstar NBA yakni Lebron James, dan bintang-bintang muda berbakat. Penyebab kemunduran prestasi ini terungkap setelah legenda NBA Magic Johnson mengundurkan diri dari presiden klub Lakers tanpa pemberitahuan sebelumnya. Ia berbicara di media seperti ESPN bahwa wewenangnya dibatasi sebagai pemilik klub dan berkonflik dengan atasan klub lainnya.
Masalah di manajemen klub ternyata berpengaruh pada performa tim di lapangan. Keadaan tersebut membuat para pendukung Lakers protes dengan berdemonstrasi di Staples Center kandang mereka. Hal ini sangat jarang terjadi, sebuah tim bola basket didemo pendukungnya. Bahkan pendukung yang masih bersekolah rela membolos untuk ikut protes menuntut manajemen tim kecintaanya. Bagi mereka protes ini sudah dianggap sebagai sebuah kerusuhan kecil. Alhasil Lakers mewarnai NBA Playoff dengan kontroversi tanpa berkompetisi.
Mengurus perusahaan olahraga bola basket memang tidak serumit mengurus negara. Namun keduanya memiliki persamaan, jika dikelola oleh sumberdaya yang tidak kompeten hasilnya adalah kekecewaan yang luar biasa. Sebaiknya kita belajar dari Golden State Warriors yang bisa mengubah sebuah tim underdog menjadi superteam. Walaupun dari sisi hiburan menjadi juara berkali-kali itu terkadang membosankan.