Saya tertarik membaca tulisan Mas Dimas Junian Fadillah yang membahas soal ketulusan masyarakat Blora beberapa waktu lalu di Terminal Mojok. Dalam tulisan tersebut Mas Dimas membandingkan pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) Minyak dan Gas yang diterima Blora jauh lebih kecil dibandingkan Bojonegoro. Lalu cerita tentang kesabaran masyarakat Blora dalam menerima kenyataan tentang lambannya pembangunan infrastruktur jika dibandingkan dengan Bojonegoro.
Dalam tulisannya, Mas Dimas juga berpendapat bahwa orang Blora tak boleh selamanya tulus ikhlas menerima kenyataan yang terjadi di daerahnya tetapi harus bangkit dan optimis suatu saat pembangunan Kabupaten Blora juga bisa maju seperti Bojonegoro. Sampai di sini saya sepakat dengan pendapat Anda, Mas. Tetapi saya khawatir jika kedua kabupaten semakin dibandingkan, bakal mengikis identitas masyarakat Blora terhadap daerahnya dan pada akhirnya membuat masyarakat menjadi inferior. Maka kondisi seperti ini sangat relate dengan pepatah yang mengatakan bahwa rumput tetangga lebih hijau dari rumput sendiri.
Sebagai orang Bojonegoro yang sekarang menjadi warga Blora, saya sangat paham ketimpangan yang terjadi pada kedua daerah tersebut. Wong saya sehari-hari tinggal di Blora tapi sering pulang ke Bojonegoro kok. Saya lahir dan besar di Bojonegoro itu adalah keniscayaan tapi semua itu tidak melunturkan identitas saya sebagai warga Blora. Bahkan tiga hal ini malah membuat saya semakin bangga terhadap Blora karena tidak bisa ditemukan di Bojonegoro.
Samin Surosentiko asli orang Blora
Saya yakin baik orang Blora maupun Bojonegoro mengetahui bahwa kedua kabupaten ini sama-sama mempunyai warga dari suku Samin. Bahkan keduanya juga mempunyai kampung Samin. Kabupaten blora mempunyai dua kampung Samin yang berada di wilayah Desa Klopoduwur Kecamatan Banjarejo dan Desa Sambongrejo Kecamatan Sambong. Sedangkan di Bojonegoro, kampung Saminnya berada di Desa Margomulo Kecamatan Margomulyo.
Suku Samin di kedua daerah tersebut sama-sama meneladani ajaran seorang tokoh bernama Samin Surosentiko. Siapakah beliau ini? Menurut buku Sejarah Nasional Indonesia jilid IV yang ditulis oleh Marwati Djoened Poesponegara dan Nugroho Notosusanto yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1993, disebutkan bahwa Samin Surosentiko adalah seorang petani yang berasal dari Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora. Nah, sampai sini jelas ya bahwa Mbah Samin adalah orang asli Blora.
Pada masa penjajahan Belandam ajaran Samin Surosentiko ini sangat terkenal. Mengapa terkenal? Ya karena beliau melawan penjajah Belanda tanpa mengangkat senjata. Mbah Samin Surosentiko mengembangkan ajaran Sedulur Sikep. Kata “sedulur” berarti saudara sedangkan kata “sikep” memiliki arti senjata. Jadi, ajaran tersebut bermakna mengadakan perlawanan tanpa kekerasan dan senjata.
Konon, ajaran Sedulur Sikep inilah yang membuat pusing pemerintah kolonial Belanda. Soalnya orang-orang Samin menolak membayar pajak dan aturan-aturan dari penjajah.
Melahirkan sastrawan besar Indonesia
Baru-baru ini di Blora diadakan peringatan 100 tahun Pramoedya Ananta Toer. Serangkaian acara digelar untuk memeriahkan Festival Seabad Pramoedya Ananta Toer. Misalnya pemutaran film Bumi Manusia, pameran patung dan sketsa di Blora Creative Space, monolog Nyai Ontosoroh yang diperankan oleh aktris Happy Salma, dan Konser Musik Anak Semua Bangsa.
Pertanyaannya, mengapa peringatan seabad Pram diadakan begitu meriah? Karena seorang Pramoedya Ananta Toer dianggap sebagai tokoh yang berpengaruh dalam dunia sastra baik di Indonesia maupun mancanegara. Di sini, saya tidak membahas tentang kontroversi beliau, ya. Saya lebih suka membahas karya-karya dan prestasi beliau semasa hidup.
Sebagaimana saya kutip dari website resmi Pemkab, Pramoedya Ananta Toer terlahir sebagai putra sulung keluarga guru nasionalis di Blora, 6 Februari 1925. Setelah proklamasi kemerdekaan, beliau bergabung dalam Resimen VI Divisi Siliwangi yang bertugas di wilayah Bekasi. Karena perjuangannya mendukung kemerdekaan Indonesia, kemudian pak Pram menjalani hukuman penjara di Bukit Duri, mulai 23 Juli 1947 hingga 18 Desember 1949.
Nah, di balik jeruji besi inilah pak Pram menulis dua roman pertamanya yaitu Perburuan dan Gerilya. Sepanjang hidupnya, Pramoedya Ananta Toer tercatat melahirkan karya-karya hebat diantaranya Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca), Gadis Pantai, dan Cerita dari Blora.
Selain karya-karya besarnya, Pram juga mendapatkan berbagai penghargaan bergengsi internasional antara lain Ramon Magsasay Award tahun 1995, Hadiah Budaya Fukuoka XI tahun 2000, Norwegian Authors Union Award tahun 2004, dan masih banyak lagi penghargaan lainnya. Ingat! Ini orang Blora, lho, ya.
Nama Blok Cepu diambil dari nama sebuah kecamatan di Blora
Saya tidak memungkiri bahwa dalam wilayah eksplorasi minyak bumi Blok Cepu, Kabupaten Bojonegoro lebih menonjol daripada daerah-daerah lain termasuk Kabupaten Blora. DBH Migas yang diterima Bojonegoro jauh lebih banyak dibandingkan dengan Blora, Tuban, Ngawi, Madiun, Nganjuk, Jombang, dan Lamongan. Hal ini terjadi karena sebagian besar sumur minyak berada di wilayah Kabupaten Bojonegoro. Sudah ya klir nggak perlu diperdebatkan lagi.
Akan tetapi tahukah kalian bahwa nama “Cepu” justru diambil dari nama sebuah kecamatan di wilayah Kabupaten Blora. Jadi sebelum ada Blok Cepu, nama Cepu sudah lebih dulu dikenal sebagai kota minyak sejak era kolonial karena adanya sumber minyak yang melimpah ruah. Hal ini tentu saja menarik perhatian pemerintah kolonial Belanda untuk ikutan mengeksplorasi minyak di daerah ini.
Tidak hanya dulu, bahkan sampai sekarang banyak orang salah paham mengira Cepu adalah sebuah nama kota/kabupaten. Coba deh kalian cari nama Cepu di Kabupaten Bojonegoro. Kalian nggak akan menemukannya karena Cepu masuk ke dalam wilayah Blora.
Wong saya yang asli orang Bojonegoro saja bangga dengan Kabupaten Blora. Seharusnya orang asli Blora lebih bangga dengan identitas daerah kalian. Meskipun suku Samin tersebar di beberapa kabupaten, tapi Mbah Samin Surosentiko adalah orang Blora asli. Walaupun Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan besar Indonesia tapi beliau kelahiran sini. Begitu juga dengan Cepu, selamanya berada di Blora dan tidak akan pindah ke Bojonegoro.
Biarlah Blora dan Bojonegoro berkembang sesuai dengan kemampuan masing-masing tanpa harus dibanding-bandingkan. Kata Farel Prayoga, ojo dibanding-bandingke. Sebaliknya, saya lebih senang Blora dan Bojonegoro saling bekerja sama sehingga memberikan banyak manfaat bagi masyarakat di kedua kabupaten tersebut.
Penulis: Rudy Tri Hermawan
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Blora, Tempat Tinggal Terbaik untuk Orang Bergaji Pas-pasan yang Mendambakan Slow Living.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
