Sebagai pengendara motor yang hampir setiap hari melewati Ringroad Jogja, saya harus akui bahwa penutupan beberapa U-turn di jalan ini membuat saya cukup bingung dan frustrasi. Rasanya seperti jalur yang tadinya sudah familiar, kini berubah menjadi labirin tak berujung. Bukannya mempercepat perjalanan, malah sebaliknya—saya jadi harus memutar lebih jauh hanya untuk sampai ke tujuan.
Salah satu pengalaman paling mencolok adalah ketika saya ingin menuju Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Dari arah pertigaan Gamping, biasanya saya bisa menyebrang jalur cepat kemudian memutar di U-turn langsung menuju gerbang utama UMY. Namun, kini dengan penutupan U-turn di depan kampus, saya terpaksa harus memutar jauh melalui Unires Putra. Memang masih bisa lewat gerbang utama, tapi hanya jika saya rela melanjutkan perjalanan sampai U-turn yang terletak dekat perempatan Kasihan. Bayangkan, jalur yang seharusnya lebih cepat jadi makin panjang, sementara bensin juga semakin terkuras.
Bukan hanya saya yang mengalami kesulitan ini. Mobil-mobil yang biasanya bisa segera pindah ke jalur cepat, kini terjebak di jalur lambat lebih lama. Penutupan U-turn di banyak titik ini membuat kendaraan menumpuk di jalur lambat, apalagi saat jam-jam sibuk. Sebuah pengalaman yang cukup menguji kesabaran, baik bagi pengendara motor maupun mobil.
Daftar Isi
Lalu lintas Ringroad Jogja makin kacau
Saya tidak menampik pentingnya keselamatan di jalan. Sebagai pengguna jalan yang sadar akan risiko, saya juga mendukung segala bentuk regulasi yang bertujuan untuk melindungi nyawa manusia. Namun, sebagai pengguna setia Ringroad, rasanya penting juga untuk mempertimbangkan bagaimana kebijakan ini berdampak pada kelancaran arus lalu lintas. Bukankah tujuan utama dari penutupan ini adalah untuk membuat lalu lintas lebih tertib? Namun faktanya, penutupan ini malah menciptakan bottleneck di beberapa titik.
Sebagai contoh, setelah penutupan U-turn di dekat kampus timur UMY, kendaraan yang tadinya bisa langsung berbelok, kini harus melaju lebih jauh hingga menemukan bukaan lain. Bagi pengendara motor seperti saya, ini tentu jadi tambahan waktu dan jarak yang tidak sedikit. Belum lagi, kalau saya harus berhadapan dengan kemacetan di jalur lambat karena mobil-mobil terjebak akibat tidak bisa segera pindah ke jalur cepat.
Baca halaman selanjutnya: Langkah yang tepat tapi mengganggu…
Langkah yang tepat, tapi mengganggu
Jika dilihat dari perspektif yang lebih luas, penutupan U-turn ini memang punya dampak signifikan terhadap kelancaran lalu lintas di Ringroad. Seperti yang disebutkan dalam artikel Radar Jogja, langkah penutupan U-turn ini memicu berbagai tanggapan dari masyarakat. Ada yang mendukung karena merasa ini adalah langkah tepat untuk mengurangi kecelakaan, namun ada juga yang merasa terganggu karena harus memutar lebih jauh. Saya sendiri mungkin berada di tengah-tengah—mengerti alasannya, tapi tetap merasa terbebani.
Penutupan U-turn ini tidak hanya berdampak pada kendaraan pribadi. Beberapa angkutan Trans Jogja juga terdampak, armada mereka berada di jalur lambat lebih lama karena masuk lebih jauh akibat penutupan U-turn yang dapat menjadi akses masuk Trans Jogja ke jalur lambat menuju halte. Sehingga jalur lambat semakin padat karena pengendara motor tertutup sementara jalurnya. Apalagi, Yogyakarta adalah kota dengan lalu lintas yang sudah cukup padat, dan Ringroad adalah salah satu jalur penting yang menghubungkan berbagai titik di kota ini.
Melawan arus di Ringroad Jogja
Namun, salah satu fenomena yang semakin sering saya lihat adalah banyaknya pengendara motor yang akhirnya memilih melawan arus di jalur lambat Ringroad Jogja. Karena frustrasi dan ingin sampai lebih cepat ke tujuan, beberapa pengendara motor tampaknya memilih untuk mengambil risiko dengan melanggar aturan. Mereka melawan arus demi mempersingkat perjalanan, meskipun jelas tindakan ini berbahaya, baik untuk diri mereka sendiri maupun pengguna jalan lain.
Saya sering melihat pengendara motor yang berbelok secara tiba-tiba ke jalur yang salah arah, hanya untuk memotong jalan atau menghindari harus memutar jauh ke U-turn berikutnya. Di satu sisi, saya bisa memahami frustrasi mereka—terkadang jarak yang harus ditempuh akibat penutupan U-turn memang tidak masuk akal. Namun, di sisi lain, jelas bahwa tindakan ini sangat berisiko. Jika kecelakaan terjadi, tentu bukan hanya mereka yang akan dirugikan, tapi juga pengguna jalan lain yang berada di jalur yang benar.
Selektif
Sebagai salah satu pengendara yang terjebak di situasi ini, harapan saya adalah agar penutupan U-turn Ringroad Jogja ini dilakukan dengan lebih selektif. Misalnya, penutupan bisa diterapkan hanya di titik-titik yang benar-benar rawan kecelakaan, tanpa harus menutup seluruh U-turn yang berfungsi dengan baik. Selain itu, mungkin perlu dipikirkan juga alternatif lain yang bisa mempermudah pengendara, seperti penambahan rambu-rambu lalu lintas.
Pada akhirnya, kebijakan ini memang dibuat untuk kebaikan bersama. Namun, proses penyesuaian memang tidak selalu mudah, terutama bagi pengendara seperti saya yang sudah terbiasa dengan jalur tertentu. Semoga, dengan adanya evaluasi dan masukan dari masyarakat, ke depannya kita bisa menikmati lalu lintas yang lebih tertib tanpa harus mengorbankan terlalu banyak waktu dan energi di jalan dan selamat sampai tujuan.
Penulis: Fuadi Afif
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Sejarah Ringroad Jogja yang Kini Sudah Berubah Nama