Naruto sebagai serial yang digandrungi oleh masyarakat luas memiliki banyak keunikan. Selain alur yang mencerminkan adanya asimilasi budaya modern Jepang dan kebudayaan klasik, dalam serial Naruto juga sarat dengan reproduksi budaya. Cerita dalam serial Naruto menampakkan munculnya kembali kebudayaan mitologi Jepang yang dikemas kekinian secara luwes. Maka, tidak mengherankan jika orang-orang dari negara lain “kepo” dengan serial satu ini.
Dari sekian banyak sudut keunikan Naruto, ada satu hal yang menurut saya menarik untuk dijadikan ulasan yakni mengenai keberadaan sebelas bijuu dalam serial tersebut. Keberadaan sosok-sosok besar ini memberikan warna tersendiri karena selalu tampil dalam situasi kritis dan darurat. Bijuu yang ditampilkan dalam dunia imajinasi Naruto merupakan “reinkarnasi” mitos dan kosmologi Jepang yang memiliki kekuatan besar, menyeramkan, ganas, dan agresif dalam menghalau setiap serangan musuh. Mereka digambarkan sebagai makhluk besar dengan kekuatan yang sangat dahsyat. Masing-masing memiliki spesialisasi tempur yang menandakan sebuah kawasan atau tokoh tertentu yang terikat dengan bijuu tersebut.
Dalam dunia wayang Jawa, sebenarnya konsep makhluk mitologis dengan kekuatan besar ini juga ada. Jika Anda pernah melihat bagaimana kesaktian Batik Madrim yang mampu menjadi sosok raksasa dalam pertempuran, kurang lebih sama dengan kondisi Naruto saat terhimpit sehingga melepaskan segel Kurama. Kesaktian yang didapat pun sama, yakni dengan cara mengumpulkan cakra sehingga terbentuk energi besar untuk membangkitkan sosok raksasa yang dimaksud.
Selain Batik Madrim, dalam dunia wayang Jawa juga dikenal beberapa kemampuan mengendalikan makhluk besar oleh beberapa ksatria. Beberapa ksatria tersebut adalah Arjunasasrabahu, Rahwana, Hanoman, Rama/Krisna, dan Yudhistira.
Pertama, dalam wayang Jawa, sosok Arjunasasrabahu memiliki kemampuan untuk mengubah dirinya menjadi sosok menyeramkan. Dalam versi Jawa Timur, tokoh Arjunasasra digambarkan sebagai sosok besar dengan tangan yang berjumlah seribu. Dalam dunia pewayangan, Arjunasasrabahu mengubah dirinya menjadi sosok raksasa saat bertempur melawan Rahwana.
Rahwana yang berkeinginan merebut istri sah Arjunasasrabahu, nyatanya harus menelan pahit kehidupan peperangan. Ia diseset kakinya oleh Arjunasasra berkeliling bumi. Tidak peduli gunung atau lautan, raksasa Arjunasasra “menyiksa” lawannya itu dengan sadis. Ia tidak selesai menyiksa Rahwana kalau bukan karena permohonan maaf dari sukma kakeknya Rahwana. Kisah sosok lelaki melindungi perempuan ini hampir mirip dengan cerita pertempuran Naruto melawan Pein. Dalam serial tersebut, Hinata kalah dalam membela Naruto. Akhirnya, Naruto mengeluarkan kekuatan Kurama dari segelnya.
Kedua, Rahwana atau Dasamuka. Sosok yang selalu tertulis dalam puisi-puisi atau ungkapan budayawan Sujiwo Tejo ini ternyata juga memiliki kekuatan besar. Jika dalam kondisi terhimpit, ia bisa mengubah dirinya menjadi sosok raksasa dengan kepala sepuluh, tangan dan kaki masing-masing duapuluh seraya memegang pusaka-pusaka peperangan.
Untuk memudahkan interpretasi bagaimana kemarahan Rahwana, dalam versi pewayangan Jogja diterangkan detil bentuk sebagaimana pagelaran-pagelaran wayang yang sering dilakukan di Ndalem Yudhanegaran pada lakon-lakon Ramayana. Salah satu lakon yang menerangkan bagaimana kemampuan Rahwana ini adalah peperangan antara Rama melawan Rahwana. Rama yang sakti mandraguna tidak bisa menandingi kesepuluh kesaktian Rahwana yang tengah bergelora kemarahannya.
Ketiga, Rama mampu mengubah menjadi sosok raksasa hitam dengan rambut api. Jangan dikira sosok lemah lembut yang dikenal melankolis bersama istrinya itu ternyata mampu berubah menjadi sosok menakutkan. Sebagai titisan Wisnu, ia memiliki memampuan sama dengan Arjunasasra ataupun Krisna yang mampu mengubah wujud menjadi raksasa juga.
Dalam lakon peperangan melawan Rahwana, dikisahkan ia juga mengubah wujud menjadi raksasa. Ada dua raksasa yang bertempur sehingga bumi bergoncang dengan dahsyatnya. Kisah ini mirip dengan persaingan Shukaku dan Kurama yang berseteru memperebutkan mana yang paling kuat. Akhirnya, Kurama mengalah dan mampu diajak kerja sama Naruto. Hal yang membedakan dengan kisah Rama vs Rahwana adalah campur tangan dewa sehingga Rahwana dikalahkan oleh Hanoman.
Keempat, Hanoman mampu mengubah dirinya menjadi kera raksasa. Dalam serial Ramayana, kekuatan ini pernah ditunjukkan saat pasukan kera membangun jembatan menembus Samudra Hindia. Dengan kekuatannya, ia berubah menjadi kera raksasa dan mencabut Gunung Mangliawan dan meratakannya menjadi jembatan. Saat akhir kisah pertempuran Rama-Rahwana, Hanoman melihat kondisi Rahwana dalam keadaan terhimpit. Kemudian, ia mengangkat gunung dan menjatuhkan gunung itu diatas Rahwana.
Hal ini memiliki kemiripan dengan Sun Gokong dan Roshi sebagai jinchuuriki. Sebenarnya Hanoman merupakan wujud kedua atau wujud lahir dari seorang ksatria bernama Mayangkara yang tampan. Hanya saja, keberadaan Mayangkara sudah menyatu dalam diri Hanoman sehingga sulit dibedakan. Bisa jadi ini merupakan suatu simbol hubungan dekat sebagaimana antara Roshi-Sun Gokong (dalam versi Dragon Ball: Goku dan Master Roshi).
Kelima, Yudhistira mampu mengubah dirinya menjadi sosok raksasa putih. Sebagaimana sudah ditulis dalam artikel Pandawa Adalah Simbol Ying-Yang, Mengajarkan Keseimbangan dalam Diri Manusia, sosok Puntadewa sendiri memiliki sisi lain yang mengerikan saat ia marah. Salah satu contohnya adalah saat keempat adiknya digiring ke kayangan oleh dewa, kemudian dimasukkan ke Kawah Candradimuka hanya karena kecurigaan sepihak para dewa.
Bagi Yudhistira, hal tersebut merupakan sebuah hinaan di mana dia sebagai anak tertua seolah-olah tidak mampu mendidik adik-adiknya. Ketidakpastian alasan para dewa membuatnya beralih wujud menjadi sosok bernama Dewa Amral. Sosok ini memiliki kemiripan dengan Hachibi dan Killer Bee. Sebenarnya, Dewa Amral sendiri merupakan wujud kesaktian “turunan” sebagaimana dulu Hachibi bersama Bluebee atau jinchuuriki lain. Sifat-sifatnya pun hampir sama, yakni dulu keras dan ganas tetapi memiliki sisi serius dan menyikapi sesuatu dengan kepala dingin.
Dewa Amral pada mulanya turut bersama Gandamana, paman angkat Pandawa dari Pancala. Seiring dengan menuanya usia, Gandamana mewariskan kalung pusaka kepada Yudhistira. Peralihan itulah yang membawa perubahan sifat dari semula tempramental menjadi sedikit santai.
Dari uraian tersebut, kita bisa mengambil sebuah kesimpulan ternyata ada kemiripan dunia wayang Jawa dengan serial Naruto. Kesamaan ini mungkin salah satunya disebabkan karena pengaruh agama Buddha yang dominan dalam serial Naruto. Dalam konsep yang dituangkan dalam artikel Muhammad Dzal Anshar yang berjudul “Sebuah Analisis Serius: Apa Sebetulnya Agama Naruto?”, ditulis mengenai konsep reinkarnasi.
Ini sama dengan reinkarnasi di mana Arjunasasrabahu, Rama, dan Krisna merupakan satu sosok dalam satu ikatan nasab yang sama. Rama sebagai cucu Arjunasasrabahu serta Krisna sebagai cicit dari anak Rama. Konsep tersebut juga mengacu pada satu entitas kekuatan yang sama sebagai titisan Wisnu. Maka, dalam konsep bijuu dan kekuatan Triwikrama ini sedikit banyak juga hampir-hampir mirip, sebagai suatu simbol kekuatan.
Selain itu, keberadaan Son Goku atau Sun Gokong secara tidak langsung mengakui keberadaan Hanoman. Antara Son Goku dan Hanoman memiliki kesamaan, mereka sama-sama “turun” dari langit yang kemudian memiliki ikatan kuat dengan siapa yang diikutinya. Apakah semua ini merupakan salah satu wujud pola dalam Naruto Universe sebagaimana ditulis oleh Mas Adi Sutakwa dalam “Naruto adalah Trah Keluarga Ngapak dan Ini Bukti Ilmiahnya!”?
BACA JUGA Pandawa Adalah Simbol Yin-Yang, Mengajarkan Keseimbangan dalam Diri Manusia dan tulisan Mukhammad Nur Rokhim lainnya.