Betapa Sulitnya Meromantisasi Kota Pekalongan

Betapa Sulitnya Meromantisasi Kota Pekalongan Terminal Mojok

Betapa Sulitnya Meromantisasi Kota Pekalongan (Mamamstock/Shutterstock.com)

Ingin rasanya sesekali saya meromantisasi Kota Pekalongan. Setidaknya ada dua alasannya. Pertama, saya lahir di Kota Pekalongan. Saya besar di sini, hidup dari sini, jadi rasanya kurang saja kalau nggak pernah meromantisasi Pekalongan. Wong Jogja sama Bandung saja bisa. Kedua, karena nggak ada seseorang yang bisa saya romantisasikan. Oleh karena itu meromantisasi kota pun jadi. Lagi pula, kurang cinta apa saya sama Pekalongan? Saking cintanya, alih-alih menggerutu karena kebijakan Pemkot Pekalongan menangani banjir rob yang ngaco, saya justru memilih tertawa.

Namun, rasa-rasanya kok sulit mau meromantisasi Kota Pekalongan. Benar, bahwa beberapa kawan saya—entah yang pernah bertatap muka maupun sekadar bertatap kata melalui Twitter—bisa meromantisasi Kota Pekalongan. Oh iya, bukan cuma kawan-kawan saya.

Para budayawan, politikus, tim sukses, sampai wartawan lokal semua bisa meromantisasi Kota Pekalongan. Tapi, bagi saya untuk meromantisasi Pekalongan kok sangat sulit. Mungkin bukan cuma saya yang merasakan hal itu, tapi mari kita cek satu per satu.

Pertama, yang lumayan bisa diromantisasi dari Kota Pekalongan adalah batiknya. Mulai dari Slank sampai Mansyur S lebih dulu piawai meromantisasi batik Pekalongan. Kalian tentu ingat lirik “Kota Batik di Pekalongan, bukan Jogja, eh bukan Solo”, kan?

Sepenggal lirik lagu “SBY” karya Slank itu bisa membuat saya menarik kesimpulan, betapa band sekelas Slank saja bisa termakan buaian pedagang batik di Pekalongan. Kota tempat kelahiran saya ini memang sudah di-branding sebagai Kota Batik. Yang branding siapa? Ya pedagang.

Jadi, seolah-olah kalau nyebut “Kota Batik” ya Pekalongan. Bukan Jogja, bukan Solo. Padahal dua wilayah tersebut juga masyhur sebagai salah satu sentra pembuatan batik. Tapi mau diakui atau nggak, soal branding Kota Batik, Solo dan Jogja masih kalah dari Pekalongan. Lha, buktinya sampai Slank saja mengakuinya, kok.

Batik memang jadi salah satu yang kerap diromantisasi. Tapi, apakah pantas? Nggak juga. Batik, bagi Kota Pekalongan justru menyimpan masalah pelik, termasuk urusan perekonomian. Bullshit sebenarnya kalau orang sini bilang, “Kaline kotor, rezekine lancar.” (Sungainya kotor, rezekinya lancar)

Padahal kotor nggak kotor, rezeki tetap seret. Dalam kemewahan batik, tersimpan banyak sekali penderitaan dan hal-hal buruk yang sering kali tertutup rapat oleh statusnya sebagai “warisan budaya yang diakui UNESCO”.

Soal pencemaran saja, sudah berapa banyak sungai tercemar karena limbah batik? Kata si pengusaha sih terurai, tapi terurai yang bagaimana? Ihwal ekonomi, apakah buruh batik itu sejahtera? Ah, nggak juga.

Banyak di antara buruh itu yang justru harus terkena semacam PHK secara sepihak. Ada pula pabrik batik skala besar yang justru memanfaatkan tenaga orang tua untuk dikuras dengan gaji yang tak seberapa. Para buruh batik itu kelihatan bahagia-bahagia saja, tapi kerja mereka sangat melelahkan.

Setiap hari yang nyanting, entah untuk batik tulis maupun cap, harus membungkuk. Belum lagi orang-orang yang nglorot (menghilangkan malam). Pekerjaan melelahkan ini cuma dibayar tak lebih dari 60 ribu rupiah per hari.

Ironisnya, para pekerja batik ini lebih sering merupakan pekerja rumahan yang notabene nggak ada jaminan kesehatan. Kalaupun ada, mereka adalah yang bekerja di industri skala besar. Nggak semua industri batik mengenal apa itu BPJS. Yang mereka tahu cuma persenan, persenan, dan persenan, terutama ketika mau Lebaran.

Padahal itu jauh dari nilai yang selayaknya buruh dapatkan. Lucunya, yang jadi perhatian kebijakan pemerintah cuma batiknya doang, hanya pengusahanya. Pemerintah sepertinya malas untuk mencari tahu bahwa batik Pekalongan itu yang diakui oleh UNESCO adalah prosesnya, bukan batik fisiknya.

Makanya disebut “warisan budaya tak benda”. Jadi, harusnya kalau Pemkot mau mendukung batik, ya orientasinya ke proses, bukan hasil. Yang berkaitan dengan proses harus betul-betul sejahtera, termasuk buruh batik. Bukan cuma fokus pada hasil karya batiknya.

Dari sini saya nggak bisa meromantisasi batik sebagaimana Mansyur S membawakan hadiah batik Pekalongan buat Elvy Sukaesih. Karena kalau saya melakukan itu, ibaratnya seperti menari di atas penderitaan buruh batik.

Itu baru soal batik. Selanjutnya perkara tata kota. Nggak ada satu sudut pun di Pekalongan yang pantas diromantisasi. Betul sih Pekalongan punya kampung Arab, kampung Cina, sampai kampung Eropa. Ya kampung-kampung itu dinamai berdasarkan corak bangunannya saja.

Tapi, apa itu bisa diromantisasi? Tentu saja nggak. Toh itu bukan khasnya Kota Pekalongan, dan di kota-kota lain pun ada. Jadi, buat apa meromantisasi itu?

Sekali waktu saya pernah membaca postingan di media sosial seseorang yang saya kenal (kendati orang itu nggak kenal saya). Blio memposting dirinya kangen dengan jalanan di Kota Pekalongan. Katanya kangen suasana jalanan yang padat dan penduduk yang kelewat ramah.

Sontak postingan itu bikin saya geli. Kangen jalanan di Kota Pekalongan? Memangnya di Surabaya nggak ada jalan? Di Semarang? Grobogan? Purwokerto? Wong kok aneh, jalanan kok dikangenin. Kangen tuh ya sama pacar kek, istri kek, teman kek, orang tua, atau guru BP.

Lagi pula yang dikangenin dari jalanan di Kota Pekalongan itu apa? Jangan coba-coba kalian bayangkan jalanan di Kota Pekalongan layaknya Malioboro atau Jalan Braga di Bandung, ya. Jelas beda ndes.

Kalau ke Kota Pekalongan, kalian pasti akan menemukan jalan yang berlubang dan tronjal-tronjol. Itu sih masih mending. Yang apes kalau waktu rob datang, wah, sudah pasti rasa kangen jadi mangkel nggak selesai-selesai. Semuanya susah. Mau lewat sini banjir, lewat sana banjir. Sumpah demi celana dalam Patrick, kalian bakal mangkel setengah mampus. Jalanan yang isinya air dan berlubang kok mau diromantisasi, duh! Saya saja yang nggak pernah punya pacar nggak segitunya maksa meromantisasi jalanan di Kota Pekalongan.

Apalagi yang mau diromantisasi dari Kota Pekalongan? Orang-orang yang ramahnya setengah mati? Saya sudah 25 tahun hidup di Kota Pekalongan, dan belum pernah tuh membuktikan bahwa orang-orang sini ramah. Ya memang kadang ramah, sih, tapi ujung-ujungnya nawarin batik sarimbit. Ujung-ujungnya dimintai tolong.

Mereka yang mikir orang Pekalongan itu ramah-ramah sepertinya belum ketemu ibu-ibu yang naik motor lalu jatuh karena lubang yang tertutup oleh banjir. Atau, belum pernah ketemu pedagang pasar darurat yang semalam kedatangan orang leasing. Atau, belum ketemu bapak-bapak yang habis berantem sama istri dan malamnya kalah main togel.

Fix. Kota Pekalongan memang nggak bisa diromantisasi. Kalau masih ngotot mau meromantisasi Kota Pekalongan, sini ketemu saya. Nanti saya pinjemin motor dan saya suruh pakai motor saya buat ke wisata air. Tapi, usahakan jangan sampai mogok atau bahkan sampai ke bengkel, dan jangan marah karena akses ke sana ketutup banjir!

Penulis: Muhammad Arsyad
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Kopi Tahlil, Kopi Unik Khas Pekalongan.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version