Sebelum memulai secara panjang lebar, saya tekankan terlebih dahulu bahwa tidak semua orang yang hijrah itu seperti apa yang saya ceritakan di sini. Ini hanya perspektif pribadi yang lahir dari empirisme seorang mas-mas yang bingung sekali berkawan dengan orang hijrah.
Ya, hijrah. Adalah fenomena di kalangan pemuda yang hits sejak beberapa tahun ke belakang sampai sekarang. Gerakan religius tersebut menyita banyak perhatian publik sebab terbukti ampuh untuk menarik minat para pemuda-pemudi milenial guna mempelajari agama islam secara mendalam, namun dengan balutan konsep yang lebih kekinian.
Alhasil muncullah akun-akun Instagram dengan mengangkat main theme “hijrah serta keislaman”. Keberadaan akun tadi disinyalir sebagai media dakwah yang tepat guna untuk menyuplai ilmu baru bagi para pemuda-pemudi yang baru saja hijrah. Meski hanya bermodalkan video ceramah satu menit, mereka yakin sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan qalbu. Bila kurang mereka masih bisa belajar dari media dakwah visual seperti Youtube asal jangan ceramah yang panjang-panjang.
Derasnya gelombang hijrah pun turut menyeret beberapa temanku untuk memantapkan diri menjadi lebih anti sosial baik. Sayang beberapa dari kawanku itu, menjadi sangat sulit sekali untuk aku kenali. Sehingga membuat diriku sendiri seolah merasa sulit guna berteman dengan orang yang baru hijrah.
Contoh yang pertama begini. Ada temanku, seorang wanita yang aku tahu dulunya sewaktu SMA, dia nakalnya se-frekuensi denganku. Selepas SMA kami berpisah karena berbeda pilihan jurusan PTS. Aku pun hanya mampu berinteraksi bersama dia lewat kanal media sosial saja.
Dua tahun ke belakang kami diberi kesempatan bertemu. Ternyata dia mau menikah dan memberikan padaku sebuah undangan. Dari situ aku lihat tidak ada yang berubah dari dia, tetap nyeleneh dan asyik seperti pertama aku mengenalnya.
Namun aku tidak menyadari bahwasanya pertemuan itu adalah pertemuan terakhir kami. Pasalnya setelah menikah dia mantap berhijrah sampai-sampai akun social media dan semua nomor milikku Ia blok. Aku pun keheranan serta tak habis pikir “Lho Kok dia jadi kayak gitu ya?”
Akhirnya aku putuskan untuk cari informasi ke temanku yang lain. Usut punya usut menurut keterangan salah seorang teman cewek nya, temanku itu berkata bahwa sejak dia berhijrah, dia hanya ingin bergaul dengan teman sesama jenis saja agar terhindar dari hal-hal yang tidak-tidak. Bahkan dalam profil instagram dia pun menulis “akhwat only” yang artinya hanya saling mem-follow akun sesama wanita saja. Barangkali.
Pengalaman berikutnya aku dapat dari kawanku yang lain. Kali ini Ia seorang lelaki yang dulunya biasa saja, tidak merokok, rajin ibadah, namun tetap asyik untuk aku ajak diskusi. Kadang aku pun membicarakan banyak hal pula baik tentang agama maupun politik dengannya. Dia nampak begitu senang bertukar pikiran dengan bijak.
Akan tetapi hal itu berubah selama setahun ke belakang. Dia yang asyik berubah menjadi orang yang cukup fanatik. Pernah aku berniat membuat sebuah merchandise dengan desain bertuliskan “Ini Bukan Arab” eh dia langsung menegur dengan berargumen bahwa apa yang aku jual cukup menyindir pada agama yang Ia cintai dan perjuangkan. Itu tidak baik dan dia sangat tidak suka.
Awalnya aku kembali keheranan “lah kok dia begitu sih?” Eh setelah aku cari tahu dari postingan-postingan Facebook nya, dia ternyata bergabung dengan grup pengajian yang baru. Selain itu, di samping kehidupan aslinya dia pun nampak selalu sibuk menjadi keyboard warrior beradu argumen tentang Agama di akun Facebook nya. Seolah siaga dan siap, bila ada pandangan agama yang tidak sesuai dengannya, langsung deh dia sikat dengan dalil. Ngeri ya?
Sialnya pengalaman sejenis aku dapatkan lagi dari temanku yang baru hijrah juga. Dalam keseharian dia merupakan seorang wanita yang sangat senang sekali mengobrol dan membicarakan banyak hal. Mulai dari artis korea yang Ia suka, drama yang sedang Ia tonton, buku yang Ia baca, sampai gosip-gosip kuliah yang hanya dia dan tembok kampus yang tahu.
Setelah dua tahun kami lulus, aku pun kehilangan kontak dengan dia. Selang beberapa bulan kemarin aku tanpa sengaja bertemu dia di sebuah mall. Menakjubkan dia sekarang mantap mengenakan hijab syari dengan wana gelap dan tak lupa selalu menjaga pandangannya.
Sebagai kawan lama, aku pun langsung menyapa dan mengulurkan tangan untuk bersalaman. Sayang Ia hanya tersenyum dan memberi tanda salam hanya dari depan dadanya. Aku pun paham maksudnya. Langsung tanpa ragu aku menanyai dia banyak hal, mulai dari basa-basi “mau ke mana?” “sibuk apa?” Sampai dengan hal-hal tentang gosip terbaru yang Ia punya.
Dari banyaknya pertanyaan yang aku ajukan hanya satu jawaban yang Ia lontarkan ialah senyuman dan gelagat terburu-buru pergi. Tentu aku langsung menohok melihat tingkahnya yang aneh. “Kenapa dia tidak se-excited dulu ya?”
Rupa-rupanya bukan hanya penampilan saja yang berubah namun sifatnya juga demikian. Setelah Ia mantap berhijrah, menurut keterangan temanku yang lain Ia pun jadi jarang keluar rumah dan berkumpul seperti biasa. Baginya, berkumpul bersama teman hanya akan melahirkan bahan pergunjingan yang mengarah pada ghibah tentang keburukan dan itu dosa. Ia memilih diam di rumah saja jadinya.
Tapi selain dari pengalaman tadi, ada juga pengalaman berteman dengan seorang yang hijrah yang agak asyik. Ada temanku sebut saja si “A”. Dia sudah berhijrah namun dia tetap asyik serta bersosialisasi seperti biasa. Dia seperti bisa menempatkan diri saat bertemu manusia dan bertemu dengan Tuhan.
Ketika bersama, ya kita asyik aja ngelantur sana-sini, ngobrolin orang, cuma dia paling diem doang. Saat mau ketemu tuhan Ia sholat lebih tepat waktu, bangun waktu malam, sholat tahajud, berdzikir, perbanyak mengaji, dan berbicara yang baik.
Dari pengalaman di atas aku menyadari betul bahwa memang pengalaman spiritual seseorang dalam berhijrah pasti berbeda-berbeda. Ada yang langsung merasa jadi lebih baik dari yang lain, sehingga menghindari yang tidak sebaik dirinya. Ada juga yang langsung merasa lebih buruk dari yang lain, sehingga hanya fokus memperbaiki dirinya.
Memang jelas membingungkan untuk bergaul dengan orang yang baru hijrah. Makanya, aku sendiri kebingungan. Hmm apa setelah menulis ini aku behijrah juga agar tahu cara berteman dengan mereka?