Di semester 4 ini, saya mendapat mata kuliah wajib fakultas, yakni Dasar-Dasar Filsafat atau DDF. Sebagai orang yang cukup tertarik pada bidang ini, terlebih memang di kampus saya tak ada jurusan khusus filsafat, agaknya mata kuliah tersebut akan berjalan seseru dan semenarik pembahasan filsafat seperti yang dibawakan Martin Suryajaya. Setidaknya begitulah bayangan saya ketika mengikuti mata kuliah ini.
Namun, bayangan itu hancur bak gelas yang dipecahkan di puisinya Rangga AADC. Dosen filsafat saya ini malah membikin saya senewen seharian. Di pertemuan awal, di sesi perkenalan, tidak seperti dosen-dosen filsafat lainnya, beliau malah mempertanyakan sesuatu yang, menurut saya, aneh dan nggak relevan. Ya, beliau MENANYAKAN apa agama yang dianut oleh setiap mahasiswanya. Saya sudah menulis ini di Pena Budaya, Pers Mahasiswa fakultas saya. Jika Anda penasaran seperti apa, sila lihat sendiri.
Seminggu berselang, saya dan kawan-kawan lain disuruh untuk melakukan presentasi mengenai “sejarah filsafat”. Singkat cerita, kami menjelaskan apa-apa saja yang membikin filsafat ini muncul, bagaimana awal mula sejarahnya dari zaman Yunani kuno hingga masa sekarang, berikut juga tokoh-tokoh berpengaruh dari setiap zaman tersebut.
Setelah selesai presentasi dan melakukan sesi tanya jawab, agaknya persepsi bahwa mata kuliah DDF yang, menurut saya, lebih mirip mata kuliah “menyelamatkan agama” ini terpatahkan karena dosen filsafat saya sudah berhenti memakai ayat-ayat suci dari suatu agama ketika menanggapi presentasi saya dan kawan-kawan.
Namun, angan-angan hanyalah angan-angan. Ketika beliau mencoba merekonstruksi kembali sejarah filsafat, sentimen agama ternyata masih terus dipakai, dong! Saya ingat betul ketika Bapak ini menjelaskan bahwa Thales, filsuf pertama di dunia itu, yang bilang bahwa alam semesta ini terbuat dari air, ternyata, menurut beliau, memiliki kesamaan lho dengan Al-Qur’an! Wow! Saya tercengang dibuatnya.
Lalu, kemudian beliau menjelaskan kepada kami ayat-ayat yang menunjukan bahwa perkataan Thales sama dengan kitab suci dari agama yang dianutnya. Ini bikin saya muntab. Bukan karena saya anti-agama, tapi tahu diri lah, kan mahasiswa-mahasiswa di ruang Google Meet ini bukan penganut satu agama doang (Islam). Kalo ini mahasiswa UIN, IAIN, atau universitas-universitas Islam, sih, saya fine-fine saja.
Lha, ini? Kampus negeri, Bos! Mereka berasal dari berbagai macam latar belakang agama, suku, etnis, dan ras. Kalo dosen filsafatnya macam gini, rasanya kita masih jauh untuk berbicara saling toleransi. Lagi pula, apa Pak Dosen nggak bisa apa untuk nggak mengaitkan setiap ajaran filsuf dengan ayat-ayat suci dulu? Bukan apa-apa, yang saya khawatirkan ini mirip seperti zaman abad pertengahan, lho, Pak, di mana filsafat tidak boleh melebihi dan harus tunduk pada doktrin agama. Ini jelas membikin mahasiswa takut berpendapat karena khawatir bersilangan dengan agama Pak Dosen.
Tak berhenti sampai di situ, dosen saya ini makin aneh-aneh ketika beliau menjelaskan lagi tentang zaman abad pertengahan. Kita semua tahu, Galileo Galilei pernah dihukum penjara sampai mati karena mencetuskan paham heliosentrisme (matahari sebagai pusat semesta) yang oleh Gereja dianggap sesat. Kemudian, ia nyeletuk, “Jadi bukan Islam, Saudara (yang sampai hati membunuh seseorang yang berbeda pendapat). Mohon maaf ini, bukan saya bermaksud menjelekkan, tapi sejarahnya bilang begitu (bahwa Gereja dan Kristen lah yang melakukannya).”
Saya hanya bisa ketawa-ketawa saja saat itu dan sedikit muntab juga, sih, kalo dipikir-pikir. Ya saya paham kalo waktu abad pertengahan Gereja memonopoli kebenaran. Tapi, untuk apa sih, Pak, menambahkannya lagi dengan mengatakan, “Jadi bukan Islam, saudara”? Kan, ngaco sekali jalan pikiran beliau ini! Ingin rasanya saya bilang bahwa penganut Islam (penganut lho,ya, bukan agamanya) juga tak suci-suci amat, kok. Ada banyak sekali oknum yang mengaku beragama Islam tapi suka sekali menggebuk mereka yang berbeda pendapat. Pun, di abad pertengahan sendiri, yang salah ya penganutnya. Bukan agamanya.
Bagi saya, meskipun cara menyampaikan materi dosen filsafat ini terkesan sopan dan syahdu, ia tak lebih dari seorang fundamentalis yang rela melakukan apa pun demi menjaga marwah agamanya, bahkan sampai harus merendahkan agama lain yang sebetulnya tidak perlu disebut. Sekali lagi, saya bukan berarti membenci agama atau semacamnya. Hanya saja, mendasarkan kebenaran melalui agama pribadi, lebih-lebih di ruang yang heterogen, sama sekali tak mencerminkan filsafat itu sendiri.
Tapi, yah, mungkin ini sesuai dengan prediksi saya. Yang saya pelajari ini bukan Dasar-Dasar Filsafat melainkan Dasar-Dasar Menyelamatkan Agama.
BACA JUGA Persikab Kabupaten Bandung Mati di Tanahnya Sendiri dan tulisan Raihan Rizkuloh Gantiar Putra lainnya.