Berpikir Positif itu Melelahkan

berpikir positif

berpikir positif

Saya pernah terobsesi untuk punya pikiran positif. Semacam proses berpikir yang memilih untuk melihat keuntungan dan kelebihan dari sesuatu hal kemudian menolak sisi gelap, jahat atau sial, merasuk pada pikiran. Usaha terbesar yang saya lakukan adalah membeli sebuah buku dengan embel-embel ‘positive thinking‘ pada judulnya.

Saya melahap buku tersebut dengan semangat. Mempraktekkan apa yang diminta untuk dipraktekkan. Beberapa hal yang teringat sekarang adalah betapa kerasnya usaha saya untuk membuat afirmasi-afirmasi—pernyataan semacam “saya akan jadi orang sukses”, “saya akan rajin”, dan sebagainya—dan mencoba sekeras mungkin untuk memunculkan pikiran positif dalam kepala tiap saat.

Butuh beberapa bulan sejak itu untuk sadar—dan mengakui—kalau semakin saya berpikir positif, semakin jelas kecemasan terbayang di kepala. Dan yang tersisa di akhir cuma rasa lelah akibat bertempur dengan diri sendiri—usaha sia-sia yang justru membuat frustasi.

Beberapa tahun terlewat dan saya merasakan kekecewaan demi kekecewaan, membaca buku demi buku, menonton film demi film hingga tercapai satu kesimpulan—berpikir positif itu melelahkan. Semakin saya tahu, semakin banyak keputusasaan yang saya rasakan.

Keraguan dan pesimisme pun makin berlipat. Saya semakin sering melihat orang-orang yang harus berjalan merangkak—menutupi identitas dan membatasi kebebasan mereka—akibat tetapan ‘moral’ yang absurd dari masyarakat.

Saya mencoba melihat sesuatu yang positif dari semua hal tadi tapi yang tersisa cuma kemarahan dan rasa jijik karena pikiran saya jadi mencoba untuk berpura-pura tidak peduli pada aroma tahi yang disajikan begitu hangat di depan hidung.

Saya tak tahan dan memutuskan untuk mempertanyakan—apa yang positif dan yang baik itu? Dan jika kejahatan itu ada—untuk apa lari dari lumpur-lumpurnya lalu mencoba mencari surga jika yang kita lakukan dengan berlari hanya menambah besar kubangannya? Kenapa tidak menghadapi kejahatan—mengakuinya sebagai sesuatu yang ada dan tidak memperlakukannya sebagai hantu?

Pada akhirnya, berpikir positif justru lebih terasa sebagai bentuk pelarian diri dan kepengecutan yang dikomersilkan. Ia dikemas begitu cantik sementara isi dalamnya tak lebih dari kiat-kiat sukses untuk melarikan diri dari kenyataan—yang ketika dipraktekkan pun sering gagal.

Hal positif apa yang ingin dicari pada orang-orang malang yang terusir hanya karena percaya pada Tuhan yang berbeda dari mayoritas penduduk? Pada kehancuran perlahan dari planet yang terus dilakukan tanpa rasa bersalah. Pada hidup yang penuh ketidaktahuan, yang tiap nafasnya ditujukan pada sesuatu yang tak dapat dibuktikan, yang pada tiap detiknya kita terbelenggu oleh sistem-sistem yang dikoordinir oleh sesuatu yang sama sekali tidak dapat kita kendalikan.

Perjalanan hidup manusia adalah gelembung ketidaktahuan dalam berbagai ragam bentuk. Di satu belahan planet, ketidaktahuan ini dirayakan. Di tempat lain ia dimodifikasi untuk dijadikan jalan hidup. Di banyak wilayah, ketidaktahuan dijadikan suatu kompas moral—mana yang baik mana yang jahat. Tentu saja yang punya kuasa untuk melakukan ini adalah suatu entitas yang mempunyai kekuatan.

Kebaikan tidak mungkin datang dari mereka yang lemah karena detik berikutnya satu entitas yang kejam—dari sudut pandang si lemah—, asalkan mereka kuat, akan menjungkirbalikkan segalanya dan memaksa si lemah untuk tunduk pada konsep si kuat.

Positif—sesuatu yang baik—adalah semata-mata ketidaktahuan. Sesuatu yang absurd dan berlaku berbeda-beda pada tiap individu atau kelompok. Sesuatu yang dianggap baik bisa jadi adalah kejahatan di pihak lain. Satu-satunya konsep yang nyata adalah kekuatan.

Lalu saya ingin memaksa diri untuk melihat hal positif dari kenyataan-kenyataan ini? Saya memilih untuk meludahi segala omong kosong soal realita dan menghadapinya meski pahit.

Tiap orang atau kelompok memperjuangkan moralitasnya sendiri sesuai dengan kapasitas kekuasaan mereka. Dan saya tak punya pilihan lain selain terjun ke dalam baku-hantam yang sadis, ganas lagi menjijikan ini kalau tidak mau tergilas dalam kepura-puraan.

Menerima semua ini sebagai kenyataan dan berjuang, setidaknya agar tidak diinjak terlalu keras di bagian perut dan kepala. Lalu jika punya waktu dan kekuatan lebih, memanjakan nafsu dan menenggak pil kebahagiaan sebanyak-banyaknya agar hidup terasa hebat meski segalanya hanya ilusi.

Exit mobile version