Berkendara dari Ngaliyan ke Mranggen di Siang Hari Bisa Bikin Kepala Menguap

Berkendara dari Ngaliyan ke Mranggen di Siang Hari Bisa Bikin Kepala Menguap

Berkendara dari Ngaliyan ke Mranggen di Siang Hari Bisa Bikin Kepala Menguap (Unsplash.com)

Meski sudah lulus dari almamater tercinta, UIN Walisongo Semarang, sampai saat ini saya masih sering menyempatkan diri main ke Ngaliyan. Tak lain untuk sekadar ngopi, temu kangen, atau bahkan main badminton bareng teman-teman yang melanjutkan studi di sana. Selain itu, jarak antara Mranggen dan Ngaliyan nggak terlalu jauh, jadi nggak ada salahnya kan kalau saya ikut nimbrung mendengarkan keluh kesah beberapa teman yang melanjutkan studi S-2 mereka di UIN Walisongo.

Biasanya, saya berangkat dari rumah ke Ngaliyan pada pagi hari dan pulang siang harinya. Atau kadang juga berangkat sore hari kemudian menginap di sana dan pulang ke Mranggen esok siangnya. Memilih pulang ke Mranggen pada siang hari bukannya tanpa pertimbangan. Sebab, di sore hari umumnya jalanan dari Ngaliyan ke Mranggen sangat macet. Makanya untuk menghindari kemacetan di jalan, berkendara di siang hari bukanlah pilihan yang salah.

Namun kalau dipikir-pikir, berkendara dari Ngaliyan ke Mranggen di siang hari lama-lama memang bisa bikin kepala menguap. Sebab, ada banyak faktor yang akan membuat pengendara jadi gampang emosi, gerah, bahkan dehidrasi! Nggak percaya?

Panasnya nggak kira-kira

Saya kurang tau, kalau dibandingkan, lebih panas Bekasi atau Semarang. Namun yang pasti, bagi saya, Semarang itu panas. Bahkan suhu udara di Kota Atlas ini mencapai 36 derajat Celcius di siang hari!

Berkendara dari Ngaliyan ke Mranggen saat sedang panas-panasnya ini tentu bikin kulit jadi belang. Ini beneran, lho. Biasanya setelah pulang dari Semarang, tangan saya jadi belang.

Selain itu, panasnya Semarang bukan cuma berasal dari terik matahari, tapi juga dari mesin kendaraan yang berada di samping kanan kiri saat kita sedang berada di jalanan. Bayangkan saja, di tengah kondisi jalanan yang macet, kita harus berhadapan dengan truk tronton dan kendaraan besar lainnya di sepanjang jalan. Tentu saja hal ini akan menyiksa saya sebagai pengendara sepeda motor.

Baca halaman selanjutnya: Lampu merahnya nggak ngotak…

Lampu merahnya nggak ngotak

Kalau dihitung-hitung, mulai dari perempatan pertama Krapyak hingga Terminal Penggaron, setidaknya ada kurang lebih 20 lampu merah! Ini merupakan jumlah yang sangat banyak, mengingat jarak antara Ngaliyan dan Mranggen sebenarnya juga nggak terlalu jauh. Tapi gimana lagi, kehadiran lampu lalu lintas ini kan tentu ditujukan agar lalu lintas teratur. Sebagai pengendara yang taat, saya cuma bisa pasrah dan patuh.

Pasrah pun sebenarnya campur dengan nggrundel, sih. Sebab selain jumlahnya yang banyak, lampu merah di beberapa titik jalan dari Ngaliyan ke Mranggen memiliki durasi yang nggak ngotak. Misalnya lampu merah di simpang Kalibanteng. Tak tanggung-tanggung, di sana pengendara harus menunggu lampu merah hingga 150 detik alias 2 menit 30 detik. Ada juga lampu merah di area Tugu Muda yang durasinya lama banget.

Saking lamanya lampu merah di Kalibanteng, malahan dulu pernah ada meme yang menyindir lampu merah tersebut; “Bangjo kono kuwi wingi ono bapak-bapak ngeterke anak SD keno abang, pas murup ijo, anakke wes SMP” (Kemarin ada bapak-bapak mengantar anak SD kena lampu merah, saat menyala hijau anaknya sudah masuk SMP). Jadi, pengendara motor yang terkena lampu merah di sana saat siang hari gambarannya seperti orang yang lagi di jemur, panas campur nggrundel, harus ekstra sabar.

Ada tiga jalan alternatif dari Ngaliyan ke Mranggen

Berbicara mengenai jalur Ngaliyan ke Mranggen, setidaknya ada tiga jalan alternatif yang bisa kita lalui. Tapi perlu diingat bahwa ketiga jalur tersebut memiliki konsekuensinya masing-masing.

Pertama, kalau kita dari Ngaliyan ke Mranggen lewat kota Semarang. Sebenarnya jalur ini merupakan jalur yang paling efisien. Sebab, kita hanya perlu lurus pol mentok dan akan sampai ke pasar Mranggen. Sayangnya, di sepanjang jalan ini terdapat puluhan lampu merah yang berderet. Kalau kita berkendara di siang hari dan terjebak lampu merah, lumayan bikin manyun, kan.

Kedua, kalau kita lewat jalur Pantura, nantinya kita akan melewati Genuk dan Sayung. Bagi orang-orang yang tinggal di Demak atau Semarang pasti sudah tahu bagaimana kondisi jalan di daerah tersebut. Sudah cuacanya panas, jalanannya rusak, bahkan kalau musim hujan atau rob, air akan menggenang setinggi-tingginya. Pokoknya jalur satu ini kurang direkomendasikan, deh. Apalagi Pantura sering dilewati truk-truk besar, risikonya cukup tinggi

Ketiga, kalau kita lewat Klenteng Sam Poo Kong dengan tembusan ke Peterongan, mungkin kita nggak akan menemukan lampu merah yang berderet seperti lewat kota Semarang. Namun, jarak yang kita tempuh akan semakin jauh, sebab kita seperti memutar jalan. Kalau seperti itu kan jadi percuma.

Dengan segala konsekuensi tersebut, kita seakan dituntut untuk tetap lewat jalanan Kota Semarang saja dari Ngaliyan ke Mranggen. Sebab, itulah jalan yang paling cepat meski kita harus merasakan panas yang ekstra dan dihadang lampu merah yang berderet. Kalau seperti itu terus kan lama-lama bisa bikin kepala menguap. Iya, kan?

Penulis: Ahmad Nadlif
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Jangan Melintasi Jalan Mranggen-Ungaran pada Malam Hari, Mending Muter Jauh ketimbang Celaka!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version