Aku pilih si A dan kamu pilih si B, lalu apa masalahnya? Mengapa semua urusan harus disangkutkan pautkan? Mengapa kita mesti terpisah jauh karena semua ini?
Kalo kata Musikimia (band Padi minus Piyu) sih “Apakah semua harus berakhir sudah? Dan berhenti sampai di sini?” Uwuwu~
Ya, kamu dan aku harus mengakui kalau jarak di antara kita semakin hari semakin melebar. Tak ada hari tanpa membicarakan si A dan si B. Pembahasan yang selalu berayun menuju perdebatan tanpa akhir—yang menurutmu hiruk pikuk ini menyentuh ranah prinsip hidup tapi bagiku tidak.
Toh saat kita makan bareng di warteg, nikmat atau tidaknya makanan yg kita lahap tak juga berkorelasi langsung dengan si A atau B. Ya enggak bisa gitu dong, kan beras yang dimasak jadi nasi di warteg itu berhubungan erat dengan kebijakan pertanian di negara kita, dan itu tergantung siapa yang memimpin negara—begitu argumen darimu.
Wow, sebegitu mendesaknya ternyata untuk segera menentukan pilihan kepada si A atau si B agar ketersediaan nasi di warteg ini bisa dipastikan. Padahal aku cuma peduli betapa gurih dan pedasnya masakan di warteg ini. Juga betapa nikmatnya kita makan sambil bercucuran keringat diiringi serunya bercerita tentang hari ini bersama kamu.
Sudah 5 tahun ini banyak urusan kita berdua yang harus direcoki sama si A dan si B. Siapa sih mereka? Ganggu banget. Aku tuh nggak suka diginiin. Kita ya kita. Mereka biar tetap mereka—kecuali mereka mau makan jengkol di warteg bareng kita. Iya, semur jengkol bikinannya mbak Sum itu.
Pagi kemarin menjadi puncak perdebatan dan perselisihan di antara kita. Ketika warteg dan jengkol tak lagi sanggup mempersatukan kita. Hanya karena kamu ngotot bilang kalo si B itu lebih baik dari si A. Entah lebih baiknya di sebelah mana, yang penting si A itu jelek dalam segala hal. Lha, padahal aku juga enggak pernah memuji-muji si A. Apalagi merendahkan si B di depan kamu—bisa habis terbakar sudah itu warteg oleh amarahmu.
Siapa sih yang membuatmu jadi pribadi yang begitu memaksa seperti ini? Apa iya segala doktrin yang berseliweran di sekitar sudah membuatmu lupa siapa dirimu dan diriku sebenarnya? Kita besar dalam lingkungan yang berpikiran terbuka. Terbuka akan adanya perbedaan pemikiran. Bukankah memang itu tujuannya kita diciptakan agar saling bicara? Saling mendengarkan dan memahami. Bukan memaksa mimpi orang lain menjadi mimpi kita.
Kamu bilang semua perdebatan ini demi kita juga. Supaya masa depan kita lebih baik. Supaya kita menatap ke arah yang sama. Dan kamu bilang, kalo kita memang tak bisa punya visi yang sama, kamu tak mau lagi bicara denganku. Kamu juga tak mau melihatku lagi.
Wow wow wow tunggu dulu~
Apa memangnya selama ini kita memandang ke arah yang berbeda? Kok aku merasa kita memandang mentari pagi yang sama. Bahkan langit senja yang dipuja-puji para pujangga cuma penikmat kopi sore itu juga kita pandangi bersama. Belum lagi menu makan malam kesukaan kita di warteg juga selalu sama. Lalu aku harus bagaimana?
Kalo ternyata aku pilih si B juga, apakah kamu akan kembali seperti dulu lagi? Kamu yang selalu ceria saat memasuki warteg langganan kita, walau kadang berubah cemberut saat jengkol itu tak tersedia di sana. Ya, aku ingin kita seperti dulu, sering berdebat hanya karena bumbu semur jengkol ini terlalu manis, atau soal inkonsistensi kadar kepedasannya.
Atau kamu cuma ingin aku seakan-akan mendukung pilihanmu dan sebenarnya tak peduli aku pilih si A atau si B? Bisa jadi selama ini kamu hanya perlu justifikasi soal pilihanmu itu. Soal hati ini ikhlas atau tidak kan bukan lagi urusanmu. Karena isi hati siapa yang tau. Yang kamu perlu tau hanya bahwa kamu pasti ada di hati dan pikiranku. Uwuwu.
Yaudah deh mulai sekarang aku bakal bilang ikut milih si B aja kalo lagi bareng sama kamu. Karena aku cuma butuh kita ngobrol sambil tertawa lepas tanpa ada si A atau si B mengganggu. Aku enggak mau repot, aku enggak mau kita saling sewot. Aku cuma rindu kita yang dulu. Hiks.