Sebuah postingan di Facebook membuat saya terbahak. Saya tidak hanya memberikan emoticon tertawa seperti yang biasa saya lakukan. Kali ini, saya membagikannya di beranda sembari menambahkan komentar. Postingan berbahasa Inggris itu, jika diterjemahkan kira-kira artinya begini: Terberkatilah orang yang bisa makan banyak, namun tidak bisa gemuk. Saya, sebagai bagian dari orang yang dimaksud di postingan tersebut sayangnya tidak merasa terberkati. Sebaliknya, saya justru merasa terintimidasi. Tentu, ini ada hubungannya dengan arti kebahagiaan.
Saya memiliki perawakan kurus tinggi. Menurut hitungan Body Mass Index, berat saya kurang 10 kg dari berat ideal. Sejak pertama kali menghitung, hingga saat ini, angka di BMI menjadi goal yang entah kapan terwujudnya. Saya sudah dua kali melahirkan, satu kali dikuret dan saya masih bisa memakai baju yang sama dengan yang saya pakai saat kuliah, kurang lebih 10 tahun lalu. Wah, enak dong? Tunggu dulu.
Hidup dengan berat badan pas-pasan dan susah bertambah pula, membuat saya sering mendapat pertanyaan-pertanyaan ajaib. Dimulai dari pertanyaan level biasa “kok nggak gemuk-gemuk?” sampai ke pertanyaan luar biasa “nggak dikasih makan sama suami po?”
Seringnya saya hanya nyengir saja mendengar pertanyaan demikian. Meski jawaban sesungguhnya yang ingin saya berikan adalah, “Halah, kayak badanmu ideal aja!” Tentu saja jawaban itu hanya tersangkut di tenggorokan. Muka saya memang judes, mulut juga kadang nyelekit, tapi ya kadang nggak tega aja menyampaikan kebenaran yang menyakitkan.
Hingga beberapa tahun ke belakang, saya masih kesal setiap ditanya soal badan kutilang ini. Hingga akhirnya saya tahu, bukan cuma saya yang kurus, dan bukan cuma saya yang ditanya-tanya terus. Seorang teman pernah menuliskan kegalauannya di media sosial. Katanya, yang makin membuatnya sedih adalah anggapan bahwa hidupnya menderita sehingga tak mampu membeli makan dengan layak. Siapa pun yang memberi cibiran seperti itu pasti tak kenal bisnis kawan saya, dan jumlah karyawan yang sanggup diberinya makan setiap bulan.
Bertahun-tahun menerima pertanyaan, saran, anjuran, dan dorongan tentu lama-lama bikin kami jengah juga. Jangan dikira kami, orang-orang kurus ini, tidak mencari solusi. Benarlah yang orang bilang, tiap-tiap produk akan menemukan pembelinya sendiri. Saat banyak yang mencari produk terbaik, termurah, tercepat untuk menurunkan berat badan. Ada kami-kami ini yang jadi sasaran tepat bagi produk-produk penggemuk badan.
Di kolom komentar kawan saya tadi, saya jadi tahu kalau kawan saya ini ternyata mengonsumsi beberapa jenis obat dan vitamin, yang semuanya belum juga menunjukkan hasil. Jarum timbangannya belum juga bergeser ke kanan. Sepupu saya sampai menghabiskan dua kaleng susu penambah berat badan. Kaleng yang gambarnya transformasi orang-orangan dari lidi lalu jadi berisi itu. Sayangnya, sampai bubuk terakhir, berat badannya tak juga bertambah. Mungkin harus habis lima kaleng dulu, seloroh saya. Saran yang lalu ditolaknya mentah-mentah sebab harga per kalengnya saja setara dengan 4 kg daging sapi.
Saya sendiri pernah mengonsumsi obat-obatan dari Cina. Tablet dalam botol berwarna merah, dalam kemasan penuh warna merah dan tulisan Mandarin itu memang menjanjikan. Dalam satu minggu pemakaian, nafsu makan saya meningkat, tulang-tulang di bahu rasanya tidak lagi menonjol. Beruntung, saya kok kepikiran mencari ulasan obat ini di media sosial dan menemukan banyak pengguna yang mengalami efek mengerikan setelah pemakaian rutin. Segera saya sudahi minum obat itu setiap hari.
Selain obat tersebut, saya masih berusaha dengan jalan lain. Makan teratur sampai pasang alarm, kapan waktunya makan besar kapan waktunya makan camilan. Makan karbohidrat malam-malam. Minum susu sebelum tidur. Makan habis olahraga. Menelusuri diri sendiri, apakah ada stres terpendam atau keinginan tertahan. Lama-lama saya pikir, justru perkara menaikkan BB inilah yang membuat saya makin nggak santai.
Kaya atau tidak mungkin bisa diprediksi dari tampilan luarnya. Meski itu pun bisa saja salah. Tapi, soal arti bahagia, yang jelas bukan soal fisik, dan tentu tidak sepatutnya diukur dari berapa komposisi berat badanmu. Lumrahnya, orang akan mengejar bahagia dan menghindari derita. Tapi, bahkan, arti bahagia dan derita saja masih sulit untuk dideskripsikan. Perbedaan di antara keduanya kadang tipis dan rapuh, setipis dan serapuh kantong-kantong kresek bening itu.
Sekarang saya belum mencoba produk penggemuk lagi dan belum kepikiran juga sih. Saya sudah pasrah kalau dikira menjalani hidup yang menyedihkan. Lha memang menyedihkan kok, mendengar komentar yang itu-itu saja kalau bertemu. Mbok ganti tema gitu lho kalimat pembukanya. Misal, “Eh lihat ini lho ada satu set baju yang cocok banget buat badan model kayak kamu. Kubeliin ya.” Gitu lho, jadi orang tu mbok yang solutip!
BACA JUGA Perempuan dengan Badan Kurus juga Jadi Korban Julid dan Cibiran Orang