Siapa sih manusia di dunia ini yang nggak mau beli dan punya rumah? Sebagai kebutuhan primer, rumah jadi salah satu bagian dari pencapaian material. Lalu, soal kepemilikan, mending beli atau sewa rumah, sih? Saya mencoba mengurai perdebatan ini secara tuntas lewat tulisan pendek berikut.
Masalahnya sekarang adalah anak muda semakin sulit mengejar kenaikan harga rumah per tahun. Apalagi yang pendapatannya begitu jongkok, mepet, dan ngepres dengan kebutuhan sehari-hari. Menurut hasil survei harga properti residensial Bank Indonesia 2023 menyebutkan kenaikan harga rumah mencapai 1,96% per tahun (triwulan III 2023).
Sementara itu, menurut Flash Report Rumah123 edisi Februari 2024, kenaikan harga per tahun sudah menyentuh 2,7%. Jadi, kalau rumah dengan tipe 36 atau 45 pada 2023 seharga Rp500 jutaan, pada 2024 harganya sudah berkisar Rp509,8 juta sampai Rp513,5 juta.
Kenaikan harganya menyentuh Rp9 sampai Rp13 juta dalam kurun waktu setahun. Nah, coba bandingkan dengan kenaikan gajimu dalam setahun, deh. Paling cuma berapa ribu sih? Itu juga harus dibela-belain buat demo dulu di depan Senayan, kan?
Padahal, kalau diperhatikan, saya sering melihat bangunan kosong dengan plang “rumah dijual” yang statusnya lama sekali terjualnya. Bahkan sampai tidak terjual dan jadi bangkai properti. Tidak hanya berbulan-bulan tapi bisa sampai bertahun-tahun.
Artinya, meskipun rumah merupakan aset yang katanya menguntungkan, untuk menjualnya tidak semudah menjual ayam di pasar. Tentu kesulitan menjual rumah bukan karena orang nggak minat, tapi karena banyak pertimbangan. Terutama soal harganya yang gak ngotak.
Daftar Isi
Mana yang lebih realistis?
Pilihannya kemudian adalah KPR (Kredit Kepemilikan Rumah). Mikirnya yang penting punya rumah dulu, nyicil nggak apa-apa. Aduh, kalau sudah begini, yang ada hidup berpuluh-puluh tahun harus menanggung utang untuk komoditas yang angsurannya bisa berubah-ubah tiap tahunnya mengikuti suku bunga acuan.
Ketika memilih untuk KPR, beban angsurannya itu 2, yaitu harga pokok dan bunganya. Belum lagi harus ada DP. Saya pernah menulis soal detail bagaimana KPR itu benar-benar jadi salah satu jebakan finansial yang mencekik. Tulisannya bisa dibaca di sini atau di sini.
Saya pribadi lebih menyarankan untuk ngontrak atau menyewa ketimbang memaksakan diri membeli. Yah, pertimbangannya, buat apa memaksakan diri hidup dengan pendapatan per bulan yang terkuras dan terbelenggu dengan beban KPR? Atau biaya maintenance rumah? Sementara kebutuhan pribadi lainnya yang lebih esensial juga banyak.
Ada sebagian orang yang berpikir, buat apa sewa rumah, mengeluarkan uang tiap tahunnya untuk sesuatu yang pada akhirnya tidak dimiliki. Dari kaca mata sederhana, mungkin percuma ya. Tapi kalau dari beban dan value yang didapat, saya rasa sewa rumah itu pilihan yang realistis, kok.
Mana yang lebih boncos? Beli atau sewa rumah?
Sekarang fungsi rumah itu apa, sih? Buat tempat tinggal, kan? Rumah sewa dan rumah beli sama-sama bisa ditinggali, kan? Sama-sama ada atap, dapur, dan tempat tidur. Dilihat dari fungsi, sama saja, kok.
Mungkin ketika beli rumah secara KPR, kepemilikannya sudah bisa kalian klaim dan mengangsur untuk sesuatu yang pada akhirnya jadi milik kalian sepenuhnya. Tapi dalam proses kepemilikan itu, kalian dibayang-bayangi dengan angsuran setiap bulan, kepastian nominal angsuran tahun depan yang sudah pasti naik, ketakutan akan hilangnya pekerjaan karena bisa berakibat pada proses membayar angsuran.
Yakin hidup bisa slow down dan tenang-tenang saja selama 15 tahun menanggung KPR? Sama halnya dengan membeli secara kontan. Kalian juga dipusingkan dengan biaya perawatan dan pajak setiap tahunnya.
Sementara menyewa rumah, kalian memang tidak memiliki hak kepemilikan. Tidak bisa juga merenovasi seenaknya. Tapi setidaknya, beban biaya hidup bulanan tidak terlalu berat karena kepastian tempat tinggal sudah terjamin setidaknya selama setahun atau beberapa ke depan.
Selain itu, secara hitung-hitungan, menyewa rumah itu nggak bikin boncos-boncos banget, kok. Yield sewa rumah di Indonesia itu sekitar 4-5% per tahun. Artinya, kalau harga rumah itu Rp1 miliar, biaya sewanya sekitar Rp40 jutaan per tahun. Persentase yield ini jadi terendah di Asia Tenggara, loh.
Ilustrasi plus dan minus antara sewa atau beli rumah
Saya akan kasih sedikit ilustrasi untuk menggambarkan bagaimana sewa itu punya sesuatu yang lebih cuan ketimbangan KPR atau beli langsung. Misalnya ada 3 orang pemuda berusia 30 tahun. Sebut saja A, B, dan C masing-masing kejatuhan uang togel senilai Rp1 miliar.
Si A, memilih untuk membeli rumah. Uangnya habis dan si A harus menanggung pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). BPHTB 5 persen dan PPN berkisar 11%. Belum lagi biaya notaris.
Nah, ujung-ujungnya harga rumah yang dibeli di bawah Rp1 miliar karena beban pajak dan biaya yang mengikutinya. Belum lagi biaya perawatan. Tapi ya oke lah, akhirnya punya rumah.
Ketika si A ternyata kepikiran menjual rumah ini, tentu jadi persoalan lain. Misal, kenaikannya 2% per tahun, lakunya akan berapa lama, tuh? Menjual rumah dengan rate harga di atas Rp500 juta saja sudah cukup susah, loh.
Kedua Si B, memilih mengambil KPR. Ini sih sengsara. Misalnya dia ambil KPR rumah seharga Rp1 miliar dengan Down Payment (DP) 20% dan tenornya selama 15 tahun dengan asumsi bunga floating 10% per tahun.
Berarti uang yang dikeluarkan oleh Si B di awal sekitar Rp200 juta. Tapi tidak berhenti di situ. Si B juga harus mengeluarkan biaya-biaya lain seperti pajak, notaris, dan fee developer. Yah taruhlah uang si B masih sisa Rp750 juta. Masih banyak, lah.
Nah persoalannya, tanggungan angsuran setelahnya ini yang mengerikan. Jadi hitungan kasarnya begini:
Rp1 miliar x 10% x 15 tahun = Rp1,5 miliar. Itu untuk bunganya saja ya. Total angsurannya berarti Rp1 miliar (pokok) + Rp1,5 miliar (bunga) = Rp2,5 miliar. Artinya si B menanggung beban biaya Rp2,5 miliar : 180 bulan (15 tahun) = Rp13,8 jutaan per bulan. Kalau di-breakdown lebih jauh, sisa uang Rp750 juta milik si B hanya mampu menanggung angsuran sekitar 4 tahunan. Setelah itu, yah siap-siap berjuang menanggung angsuran.
Keuntungan sewa rumah
Sementara si C, memilih menyewa rumah dengan harga sewa Rp75 juta per tahun. Kalau dikali 15 tahun, berarti si C butuh lebih dari Rp1 miliar. Tapi uang itu, kan, gak sepenuhnya digunakan langsung.
Taruhlah si C membayar sewa per 5 tahun, karena dia berpindah-pindah tempat kerja, artinya Rp75 x 5 = Rp 375 juta. Si C masih punya uang Rp625 juta tanpa ada beban atau tanggungan pajak dan angsuran selama 5 tahun ke depan.
Sisa uang tersebut, Rp200 juta (angka yang sama dengan DP KPR), disimpan dalam instrumen investasi (reksadana campuran) dengan bunga 10% per tahun, Rp200 juta x 10 persen = 20 juta per tahun.
Uang Rp200 juta dalam 1 tahun menghasilkan Rp20 juta. Sederhananya, selama 5 tahun, si C bisa memperoleh tambahan dari uang investasi sekitar kurang lebih Rp100 jutaan. Dan kondisi si C masih bisa menggunakan uang sisa sewa rumah dan investasi yaitu sekitar Rp452 juta untuk kebutuhan sehari-hari dan membuka bisnis.
Pertimbangkan segala detail sebelum mengambil keputusan
Sedikit ilustrasi di atas adalah penjelasan sederhana bahwa sewa itu sebenarnya lebih baik dan aman untuk anak muda yang kehidupannya dinamis. Terlebih bagi mereka yang tidak serta-merta menetap di satu tempat. Masih mengikuti kondisi dan status pekerjaan yang berubah-ubah. Menyewa rumah juga memberikan ruang untuk seseorang menginvestasikan uangnya ke instrumen investasi atau skill untuk menunjang masa depan.
Nah sedikit ilustrasi di atas memang tidak bisa mewakili kondisi tiap orang. Tapi, setidaknya, memberikan sedikit perspektif positif soal pilihan untuk sewa rumah. Di sisi lain, saya juga tidak anti beli rumah.
Sebelum membeli rumah, saya pribadi akan mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, silakan beli rumah kalau sudah memiliki uang yang cukup. Paling tidak memiliki jumlah uang sejumlah rumah + ¼ dari harga rumah untuk berjaga-jaga. Kedua, sebisa mungkin jangan memaksa KPR. Ketiga, punya rencana jangka panjang terhadap rumah yang dibeli. Ingat, menjual rumah itu nggak mudah.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Yamadipati Seno
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.