Belajar Sadar Diri Saat Keberadaan Kita Sudah Tak Dikehendaki di Coffee Shop

Belajar Sadar Diri Saat Keberadaan Kita Sudah Tak Dikehendaki di Coffee Shop

Di zaman ini keberadaan coffee shop bukan hanya sebagai tempat minum kopi semata, tapi orang-orang kini menggunakannya sebagai tempat pertemuan, tempat bekerja, atau sekadar tempat nongkrong. Meski kesannya menguras uang yang ada, tapi nyatanya mempertahankan gengsi akan gaya hidup di zaman ini jauh lebih penting dari apa pun. Jika sebenarnya bujet kita hanya kuat beli kopi sachet-an, tapi karena tuntutan kehidupan yang begitu keras, kita harus ikut-ikutan memesan segelas kopi di coffee shop yang harganya juah lebih mahal berlipat-lipat.

Untuk menyiasati hal ini, ada beberapa orang yang suka memesan sedikit minuman tapi menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengobrol. Bukan kenapa-napa sih sebenarnya, tapi kadang kalau bertemu dengan orang yang punya motto hidup, “Memesan menu semurah-murahnya dan menghabiskan waktu selama-lamanya”, nyatanya ini cukup ngeselin juga buat pemilik kedainya. Terlebih banyak orang bebal yang tetap nggak mau pulang meski kedainya sudah mau tutup.

Saya pernah membaca postingan di medsos tentang keluhan seseorang karyawan yang bekerja di sebuah coffee shop. Dia bercerita bahwa ternyata ada banyak orang bermuka tebal yang tak mau pergi meski sudah dikode berkali-kali. Kadang yang suka jadi masalah itu saat jam-jam ramai dan banyak pengunjung yang kehabisan tempat duduk. Meski minuman yang dipesan sudah habis, tapi orang-orang ini tetap sibuk mengobrol.

Untuk beberapa coffee shop atau restoran gitu, katanya ada yang menerapkan sistem target. Sehingga mau tak mau para karyawan dituntut untuk menggaet pembeli. Tapi kalau pembelinya cuma beli sedikit dan menghabiskan waktu berlama-lama kayak gini, kan susah ya. Bukan berarti menyepelekan orang yang beli sedikit ini loh ya, tapi kadang juga harus ada balance jugalah antara produk yang dibeli dan durasi yang dihabiskan di tempat itu. Kalau beberapa restoran di pusat perbelanjaan, biasanya juga menerapkan pajak sekitar 1 % untuk yang makan di tempat kan, ya.

Meski begitu banyak juga orang yang pro dengan tindakan semacam ini. Biasanya mereka menerapkan dalih, ”Toh, aku bayar pakai uang ini, yah terserah dong. Kok main usir-usir aja?!!!”

Oke, saya paham dengan teori pembeli adalah raja. Tapi nggak harus merepotkan pekerjaan orang lain juga kan ya. Mereka harusnya sadar, yang mereka bayar itu hanya makanan atau minumannya saja. Semua itu tidak termasuk membayar waktu si karyawannya juga. Saat menjelang kedai tutup, tentu mereka juga ingin cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya dan lekas pulang ke rumah untuk istirahat. Mereka manusia juga, Woi! Memangnya mereka hidupnya hanya dihabiskan di coffee shop doang apa?

Menjadi karyawan di tempat seperti itu tuh kadang serba susah juga sih yah. Sama atasan suruh ngusir orang, tapi kalau mau ngusir orang kok ya gimana. Di kasih kode nggak peka, kalau ngomong langsung bisa berujung adu mulut, bahkan bisa sampai adu jotos kalau orangnya nggak terima. Hmmm…

Mending kita sama-sama koreksi dan introspeksi diri. Jika memang kehadiran kita sudah tak berfaedah lagi, harusnya kita sadar diri dan beranjak pergi. Toh, para karyawan ini kadang juga santun kok dalam memberikan kita kode-kode pengusiran. Hanya saja ada jenis orang yang kalau nggak disenggol atau diajak ngomong langsung, tetap nggak peka.

Jika kita sudah selesai makan tapi kita masih sibuk mengobrol, lalu datang si karyawan yang mengambil piring dan gelas yang sudah kosong di meja. Ini sudah jelas mereka secara tidak langsung pengin ngomong, “Nih, makanan kalian sudah habis, ngapain lagi di sini, pergi sana!”

Lalu jika kita nggak peka juga, meja yang kita gunakan tadi lantas dilap oleh si karyawan tersebut. Sebenarnya mereka pengen bilang ke kita, “Nih, meja sudah aku bersihin, ini tandanya meja ini akan digunakan untuk pengunjung selanjutnya.”

Jika mengelap meja juga tak menyentuh kepekaan hati kita, maka akan ada karyawan yang nyapu lantai. Ini titik di mana mereka pengen bilang, “Nih, lantai sudah aku sapu. Semoga kalian juga ikut tersapu keluar dan pergi dari tempat ini.”

Jika menyapu tak juga mempan membuat pergi, maka kita harusnya sadar diri saat pemilik kedai memutarkan lagu “Kamu Harus Pulang” milik Slank. Masa kamu nggak sadar juga saat Kaka mulai nyanyi, “Kamu harus cepat pulang jangan terlambat sampai di rumah. Kamu harus cepat pulang walau sedang menikmati malam ini…”

Terakhir mungkin saking dongkolnya, si pemilik kedai sampai mematikan lampu. Lalu diajak berantem aja ini orang kalau nggak sadar-sadar.

Apa pun itu, kebahagian kita harusnya tidak boleh menari di atas penderitaan orang lain. Jika memang waktunya sudah mau tutup, yah pulanglah, besok lagi numpang wifi gratisnya. Jika keadaan kedai tengah ramai, makan kita sudah kelar, yah berikan tempat bagi mereka yang nggak dapat tempat duduk. Semoga kita bukan termasuk di dalam jamaah orang-orang menyebalkan dan bermuka tebal kayak gini, ya. Hidup susah tak apa, asal jangan nyusahin hidup orang lain.

BACA JUGA Kiat Sukses Membangun Kedai Kopi Milenial ala Kawan Saya atau tulisan Reni Soengkunie lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version