Ibu saya lahir tahun 60-an, ia bukan seorang kutu buku yang berpikiran kritis. Ia hanya sosok perempuan yang kala itu hidup dalam kungkungan budaya patriarki ayahnya (baca: kakek saya). Hidupnya diatur penuh oleh kakek, dan ibu sebagai anak perempuan dari 9 bersaudara hanya bisa tunduk patuh dengan segala yang kakek arahkan walau ada banyak hal yang tidak sesuai dengan kemauan Ibu.
Ketika usia saya masih berada di bangku sekolah dasar, kekuasaan kakek sebagai laki-laki di keluarga besar saat itu terlalu kentara. Waktu itu saya tidak tahu kalau apa yang kakek lakukan dalam keluarganya adalah sebuah praktik patriarki sampai buku bacaan dan pengalaman serta diskusi menuntun saya untuk tahu sedikit hal soal patriaki. Sebuah sistem yang ada entah sejak kapan, terus mengakar dan diyakini oleh hampir seluruh masyarakat di seluruh dunia. Tidak terikat waktu, tidak pandang bulu, patriarki bisa dianut oleh siapapun.
Waktu terus berjalan, Ibu semakin bertambah usia, saya makin beranjak dewasa, dan kakek kembali ke tempat perisitirahatannya di samping yang Maha Kuasa. Sayangnya, Ibu masih tetap dibelenggu oleh kekuatan patriarki yang dilanjutkan oleh suaminya. Bapak sama kerasnya dengan kakek, mereka mungkin tidak banyak paham apa itu patriarki tapi apa yang mereka praktikan dalam keluarganya merupakan konsep patriarki secara murni.
Belum lagi soal beban ganda yang Ibu harus tanggung, menjadi asisten rumah tangga di salah satu rumah orang berduit di dekat rumah kami tidak melepaskan beban kerja yang ada di rumah sendiri. “Mengasuh” tiga orang kepala (bapak, saya, dan adik) bukan perkara mudah. Dan dengan sifat ego Bapak yang sangat tinggi, ibu jadi sosok perempuan terkuat yang pernah saya kenal.
Namun, ibu tidak berdiam diri. Ibu melawan dengan caranya sendiri. Saya pikir setiap anak terutama anak perempuan sepertinya akan menjadikan ibu sebagai role model. Begitupun saya, dan itu yang saya suka dari ibu. Dengan segala ketidaktahuan dirinya soal ideologi, kepolosan dirinya kalau ada sebuah sistem yang mendoktrin banyak otak, dan semua hal itu ada di kehidupan umat manusia, tapi ia bisa hidup dan melawan apa yang ia alami dengan versinya sendiri.
Saya bersyukur, ibu tidak melanjutkan praktik patriaki yang dianut oleh ayah dan suaminya. Karena seperti apa yang saya ungkapkan di alinea kedua, “Tidak terikat waktu, tidak pandang bulu, patriarki bisa dianut oleh siapapun.“
Dengan tidak melanjutkan konsep patriarki, bukan berarti Ibu mendeklarasikan diri sebagai seorang feminis. Ibu tidak mengerti apa itu feminisme, dia juga tidak paham kalau ada banyak perempuan yang bersatu turun ke jalan menyuarakan tuntutan untuk melindungi perempuan lain. Ia tidak bermain dengan perlawanan semacam itu. Sekali lagi, Ibu melakukannya dengan caranya sendiri.
Ibu mendobrak hal bobrok di lingkup yang sangat kecil, keluarganya. Secara tidak langsung, ia mengajarkan saya untuk melawan praktik tersebut lewat cara yang halus sekali. Ibu tidak mengetahui kalau apa yang ia lakukan, apa yang ia tanamkan pada saya sebagai anak perempuan satu-satunya yang ia miliki adalah sebuah konsep feminisme, dan itulah ibu.
Melalui cara yang lembut ia menguatkan saya untuk bisa terus menegakkan kepala ketika banyak orang yang sering meremehkan saya sebagai seorang perempuan miskin. Ibu tidak membiarkan tongkat estafet sistem bobrok patriarki itu berada di hidup orang lain, ia menghentikkannya. Dia sosok perempuan kuat yang membiarkan dirinya sebagai orang terakhir (di lingkungan keluarga) yang merasakan pahitnya berada dibawah bayang-bayang ideologi tersebut.
Dia membiarkan anak-anaknya menggapai apa yang disukai tanpa ada paksaan. Untuk ruang lingkup yang sangat kecil, Ibu mematahkan praktik patriarki tersebut. Saya ingat betul, ia menanamkan pada saya untuk bisa mandiri di atas kaki sendiri. “Harus lebih kuat dari Ibu, harus pintar cari uang sendiri supaya bisa menghidupi diri sendiri” Ibu sering mengucapkan kalimat tersebut saat ada banyak hal berengsek yang datang di hidup kami. Tentu feminis bukan hanya perkara pintar mencari materi di atas kaki sendiri, namun Ibu mengajarkan anak-anaknya untuk bisa keluar dari masalah yang paling membelit hidup keluarga kami.
“Jangan percaya pada siapapun, jangan menggantungkan hidup dengan manusia nanti kamu dikecewakan” ia mengajarkan saya untuk membuat keputusan sendiri, tanpa menggantungkan hidup dengan siapapun -termasuk laki-laki.
Ada satu yang makin membuat saya yakin kalau Ibu melawan patriarki dan seorang feminis. Ia pernah bilang, “sejahat-jahatnya Bapak, dia tetep Bapak kamu.” Ia tidak membenci laki-laki, ia tidak memusuhi laki-laki, ia melawan untuk sistem patriarki bukan laki-lakinya karena tidak terikat waktu, tidak pandang bulu, patriarki bisa dianut oleh siapapun.
Ibu hanya satu dari jutaan perempuan di seluruh dunia yang mendobrak sistem bobrok lewat cara sederhana dalam ruang lingkup yang sangat kecil. Namun ketahuilah, sekecil apapun usaha para feminis hal tersebut sangat berdampak bagi kehidupan umat manusia. (*)
BACA JUGA Pendengar Curhat yang Baik Adalah Mereka yang Tiap Curhat Nggak Kalian Dengerin atau tulisan Atik Soraya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Terakhir diperbarui pada 14 Februari 2022 oleh