Tiap kali menyebut kota kelahiran saya ini selalu ditanya balik, “Sebelah mananya Surabaya?” Yang nanyanya begini pasti bukan orang Jawa Timur. Sulit menjelaskan Nganjuk pada orang yang tak pernah ke sana. Menjelaskan Nganjuk pada orang yang sudah pernah berkunjung ke banyak kota di Jawa Timur akan jauh lebih mudah. Tinggal disebutkan bahwa Nganjuk berbatasan langsung dengan Bojonegoro di utara, Madiun di barat, Kediri dan Ponorogo di Selatan, serta Jombang di timur.
Berjarak tiga jam perjalanan dari Kota Surabaya, cukup sulit menjelaskan harus ke sebelah mana untuk bisa mendapat gambaran utuh tentang Kabupaten Nganjuk. Terlebih budayanya pun berbeda. Surabaya adalah kota dengan subkultur Suroboyoan, sedangkan Nganjuk punya subkultur Mataraman. FYI, wilayah Jawa Timur terdiri dari empat subkultur yaitu Suroboyoan (Surabaya, Jombang, dan sekitarnya), Mataraman (Madiun, Kediri, Nganjuk, Blitar, dan sekitarnya), Pandalungan (Banyuwangi, Jember, dan sekitarnya), dan Madura (di wilayah Pulau Madura).
Apalagi Nganjuk memang tak pernah muncul di buku peta yang biasa dipakai anak SD-SMA meski selalu ada dalam peta jalur mudik yang dimuat di koran se-Jawa dan Bali. Coba Nganjuk dekat dengan laut, tinggal sebut “itu yang dekat pantai anu”, selesai sudah, semua langsung tahu.
Jauh dari laut, Nganjuk lebih cocok untuk tempat tinggal
Nganjuk banyak berbenah, contohnya lokasi rekreasi warga lokal seperti Kecamatan Sawahan yang terdapat 10 air terjun sudah lebih rapi sekarang. Hanya saja untuk menggaet wisatawan dari luar daerah diperlukan kerja yang lebih keras lagi karena Nganjuk bukanlah sebuah kota yang memiliki fasilitas umum terintegrasi yang bisa memudahkan pergerakan orang.
Sudah ada sejak tahun 859 Caka atau 937 Masehi, Nganjuk yang awalnya bernama Anjuk Ladang bernuansa kota khas Jawa. Masjid jami’ sebagai tempat beribadah, alun-alun sebagai tempat berkumpul, dan kantor pemerintahan setempat selalu berdekatan. Ini sesuai dengan filosofi masyarakat Jawa (era Mataram Islam) bahwa pemimpin, rakyat, dan ulama perlu saling berdialog. Suasana tentram memang muncul dari keselarasan tersebut, terbangun sebuah lingkungan sosial yang nyaman untuk masyarakat tinggal.
Lantaran hanya ramai di musim mudik, saat masih kecil saya berpikir Kabupaten Nganjuk sangat membosankan dan hanya cocok untuk para pensiunan. Gerai ayam goreng terkenal dan beberapa minimarket bahkan memutuskan hengkang karena terlalu bosan. Saat ini, untuk bisa makan makanan dari gerai cepat saji, masyarakat Nganjuk bisa jastip dari kota lain atau pesan lewat aplikasi ojek online lokal yaitu HEEHJEK.
Dulu saya sering berandai-andai, membayangkan Nganjuk punya laut untuk berenang dan bermain pasir di pantai. Tentunya kenangan berwisata masa kanak-kanak saya tak hanya duduk-duduk makan bakso di alun-alun saja. Di masa kecil ajakan makan bakso di alun-alun ini efek psikologisnya mungkin sama dengan anak zaman sekarang yang histeris ketika diajak makan swedish meatball di IKEA. Prasaku~
Jauh dari laut, Nganjuk tetap akrab dengan angin
Kabupaten Nganjuk diberi julukan kota angin. Sekali waktu akan terlihat dedaunan kering berputar-putar mengikuti pusaran angin. Tidak berbahaya, hanya pusaran angin yang kecil. Tapi, biasanya di pergantian musim penghujan ke musim kemarau ada saja artikel di koran lokal yang mengabarkan genteng rumah warga di kecamatan anu raib terbawa angin, membuat Kabupaten Nganjuk sering muncul di pemberitaan media massa skala nasional karena bencana puting beliung.
Nganjuk yang berupa dataran rendah dan dikelilingi pegunungan serta hutan, di sebelah utara Pegunungan Kendeng, sebelah barat lereng Gunung Lawu, sebelah selatan lereng Wilis, sebelah timur berbatasan dengan Kali Brantas dan di tengahnya di belah oleh Kali Widas. Letak yang seperti itu, dapat digambarkan bahwa Kabupaten Nganjuk mirip dengan sebuah cawan. Dan hanya 4 kecamatan saja (dari total 20 kecamatan) yang ada di area pegunungan menyebabkan masyarakat Nganjuk punya stok angin yang sampai turah-turah dengan suhu panas dan kering.
Jauh dari laut, Nganjuk tidak memiliki kuliner khas berbahan seafood
Nganjuk yang jauh dari laut juga membuat masyarakatnya tak akrab dengan makanan berbahan ikan laut. Semoga saja kami tidak dimarahi Bu Susi. Seandainya masak ikan laut pun bahan bakunya pasti sudah berupa pindang, diasinkan, atau diasap. Tak terbiasa makan seafood ini menyebalkan karena saat terlalu banyak makan ikan laut kulit bisa gatal-gatal.
Ikan darat favorit masyarakat Nganjuk adalah wader, hidup di sungai dengan ukuran kecil seperti benih ikan dan sekarang sudah mulai langka. Supaya tak tertipu, baby fish (biasanya bibit ikan mujair, nila, dan ikan mas) dan ikan teri basah digoreng krispi disangka wader, sebaiknya beli ikan wader di Nganjuk saja. Wisata Kali Mbadug adalah kawasan pasar ikan dan kuliner serba “iwak kali” (artinya ikan sungai) yang sedang dipromosikan saat ini.
Kondisi tanah dataran rendah dengan dikelilingi pegunungan membuat Nganjuk dikenal sebagai wilayah yang subur. Oleh karena itu, kuliner khas Nganjuk pun tidak jauh-jauh dari hasil bertani dan dekat dengan kultur masyarakat petani. Sega becek yang sudah ada sejak 1915 mirip dengan kare kambing, dumbleg yang terbuat dari adonan tepung beras atau tepung ketan bersantan dan dibungkus pelepah Pinang Jawa kemudian dikukus, kerupuk upil yang merupakan kerupuk rasa bawang digoreng dengan pasir, bumbu kacang alias sambal pecel dengan rasa yang khas (berbeda dengan sambal pecel Madiun), adalah sebagian makanan khas Nganjuk. Dan tak ada yang berbahan seafood.
Jauh dari laut, orang asli Nganjuk cenderung frustasi saat harus berhadapan dengan air yang berlimpah
Saya lahir dan besar di dekat hutan berbatasan dengan Bojonegoro. Sungai dengan arus deras, waduk penuh air, selokan lebar di persawahan, menjadi pemandangan yang biasa saja. Setamat SMA saya merantau ke Kota Depok untuk berkuliah, lalu main ke rumah teman di Jakarta Utara, ndilalah pas banjir di musim hujan.
Saat sampai terminal bus sih masih genangan saja. Setelah naik angkot dan makin dekat ke area rumah teman saya mulai terasa air makin tinggi, masuk ke dalam angkot dan membuat saya jongkok di atas bangku supaya tak basah. Beruntung hanya saya saja penumpang yang tersisa saat air sudah setinggi itu. Saya tak perlu menjaga penampilan. Saya yang sudah biasa bermain air ternyata shock saat harus berhadapan dengan banjir rob atau banjir pasang surut air laut di Jakarta Utara. Sepanjang jalan muka saya terlihat pucat pasi sampai-sampai dikasihani oleh sopir angkot dan keneknya karena disangka sakit.
Pengalaman tak menyenangkan berhadapan dengan laut tak hanya menimpa saya saja. Saat SMA, saya dan teman-teman di ekstrakurikuler Pramuka dan Saka Bhayangkara Polres Nganjuk pernah berkemah di pinggir pantai Trenggalek. Meski tinggal selangkah saja sudah bisa terkena air laut, tak satu pun dari kami yang berminat berenang. Membasahi kaki pun tak pernah sampai batas lutut. Suara deburan ombak dari pagi sampai pagi lagi juga entah kenapa membuat tak tenang, terlalu berisik dan membuat semua orang jadi hobi berteriak. Mungkin suasana hening khas dataran rendah dan pegunungan sudah terlalu mendarah daging. Meski begitu, pasti ada juga orang asli Nganjuk yang lebih suka pantai dan laut. Tentu saja ini juga soal selera.
*****
Tinggal di mana pun ada plus dan minusnya. Saya tak bisa terlihat keren karena jago surfing, jarang makan ikan laut karena mahal, dan kenyang makan bakso di alun-alun saat akhir pekan karena tinggal di Nganjuk yang jauh dari pantai. Namun, saya bisa makan ikan sungai dan jamur liar dari hutan sepuasnya, di pasar berlimpah sayur dan palawija berharga mahal seperti porang dan garut, saya bisa merasakan makan sega pecel yang dibungkus daun jati, dan menantang nyali bersepeda di jalanan yang naik turun di sekitar hutan di pinggir jurang.
Banyak sekali keuntungan dan aktivitas menyenangkan tinggal di dataran rendah yang dikelilingi pegunungan. Bertempat tinggal jauh dari laut dan pantai belum tentu hidup dalam penderitaan dan tanpa hiburan, Lur!