Menantikan sinetron Indonesia dengan cerita yang nggak cuma soal kawin-selingkuh-cerai-kawin lagi atau cinta-cintaan anak sekolah yang nggak pernah kelihatan kapan belajarnya, rasanya sama kayak menunggu Upin dan Ipin masuk SD. Kapan?
Meski begitu, sinetron sendiri cukup menghibur dan harusnya memang seperti itu karena sinetron dapat membangkitkan sejumlah rasa yang penonton miliki. Tetapi, bagi saya pribadi, kenapa rasa ruwet dan cringe yang sering mendominasi, ya? Sama? Tos dulu kita~
Di mana ada scene nangis, di situ biasanya saya menggerutu dalam hati, “Apaan, sih?” Dan itu kerap terjadi karena jalan cerita sinetron Indonesia yang alamak… Saya juga bingung nontonnya. Tapi, nggak apa-apa, masih saya teruskan. Kalau jalan cerita selanjutnya malah bikin pengin banting TV, biasanya saya ganti channel atau matiin TV saja.
Memang sih jalan cerita sinetron Indonesia yang hampir seragam ini merupakan hal yang sering saya sesali. Namun, berharap untuk mendapatkan insight lain atau bahkan mengubahnya, sepertinya nggak mungkin. Seolah dikhianati, rasanya saya sudah muak berharap lebih. Mending berhenti.
Meski demikian, nggak adil jika usai mengkritik nggak memberi solusi. Jika memang merasa aman untuk memproduksi sinetron dengan tema yang nggak ada bedanya, setidaknya perhatikanlah hal-hal kecil lainnya yang sering kali bikin penonton otomatis pengin banting remote.
Dah, lah. Auk ah gelap~
Oh, nggak, nggak. Nggak bisa. Kalau saya sudah tahu, tapi pura-pura nggak tahu rasanya kayak cinta dalam hati: nyesek. Jadi, inilah hal-hal kecil yang bikin penonton ruwet nonton sinetron Indonesia.
Bangun dan tidur dengan wajah full make-up
Saya yakin artis-artis Indonesia pasti pada perawatan, dan perawatannya pun bukan main. Tapi, kenapa? Kenapa komuk mereka bisa seharian full make-up, bahkan pada saat mau dan bangun tidur? Apakah se-insecure itu dengan wajah sendiri? Jadi, perawatan yang sering dilakukan itu bermakna apa? Apakah nggak ada hasilnya? Ayolah, lebih natural dan logis saja. Kalian itu cantik dan tampan, wahai para artis.
Beberapa adegan yang memang nggak perlu make-up tebal atau bahkan nggak perlu make-up sama sekali, rasanya harus dinormalisasi. Kalau situ bangun tidur, muka dempulan, alis sudah kayak pedang, bulu mata anti badai sudah terpasang, bibir gincuan, apa iya bisa begitu gara-gara mimpi habis kondangan?
Tidak memanfaatkan nomor darurat
Berkali-kali saya nonton, berkali-kali pula saya melihat nomor darurat yang jarang atau bahkan sama sekali nggak digunakan pada situasi yang genting. Begini, suatu waktu saya nonton sinetron, eh sebut nggak, ya? Oke, waktu itu saya nonton satu sinetron inisialnya Samudra Cinta.
Ada adegan di mana mamanya Samudra kecelakaan, tepat di hari yang sama dengan pernikahan Samudra dan Cinta. Pertama, dia telepon nomor keluarganya, tapi nggak diangkat. Terus begitu sampai akhirnya dia dinyatakan mati (padahal mah hilang, ajig nggak tuh?)
Kenapa, Bu? Kenapa? Kenapa malah teleponin orang-orang yang lagi pada ribet di hajatan? Kalau sudah tahu sekali telepon nggak diangkat, ya berarti lagi pada sibuk! Lagian juga kenapa sih kudu kecelakaan segala? Aduh, Gustiii…
Padahal di saat seperti itu, menunjukkan penggunaan nomor darurat, misal 112, dapat membantu warga Indonesia saat didera situasi genting yang kadang kebingungan mau minta tolong ke siapa selain ke keluarga.
Diagnosis penyakit yang nggak pernah upgrade
Hal ini juga sama seperti hal-hal sebelumnya, hampir semua sinetron Indonesia pasti ada scene yang berlatar tempat di rumah sakit. Ya mau gimana lagi, wong episodenya juga sampai berjuta-juta miliar begitu. Pasti rada pusing kali mikirin setting tempatnya di mana lagi.
Oke, nggak apa-apa sakit. Tapi yang bikin ruwet adalah kenapa diagnosis penyakitnya yang beuh… Auk ah, emosi aing!
Sakitnya apa, ujung-ujungnya amnesia. Apa pun penyakitnya, namanya tetap penyakit keras. Apa pun sakitnya, harus segera operasi. Dan suara andalan dokter yang niatnya mau dibuat sedih, malah si komuk jadi kikuk dengan nada canggung bilang, “Maaf, kami sudah berusaha sekuat mungkin.”
Potongan adegan begini awet digunakan pada sejumlah sinetron dan bertahan bertahun-tahun.
Kalau kata Bang David Naif mah, “Mengapaaa… Aku WNI?”
Angkat telepon pakai HP apa, terima chat pakai HP apa
Anak SD yang ngerti HP juga tahu kalau tampilan WhatsApp iPhone 11 itu beda dengan Android. Ini paling parah, sih. Apa susahnya ambil adegan telepon dan balas chat dengan HP yang sama? Maksudnya, kalau tokoh A dari awal cerita memang sudah pakai iPhone, ya pas scene terima telepon atau balas chat, tampilan HP-nya juga kudu iPhone, dong. Ini mungkin kelihatannya sepele, tapi pernah nggak kepikiran kalau hal yang sepele saja disepelekan, gimana yang lain?
Sebagai orang yang memperhatikan hal-hal di atas, saya mencoba untuk bodo amat, tapi nggak bisa. Tiap lihat adegan yang seperti itu saya berpikir keras, lantas mengelus dada sampai kayaknya mau rata, dan berdoa, “Ya Tuhan, kapan adegan yang kayak gini musnah dari sinetron Indonesia?”
Saya nggak berharap banyak pada sinetron Indonesia untuk dapat memberikan edukasi pada masyarakat. Setidaknya, kurangi-kurangi mengkadali kami lah~
BACA JUGA Liburan ke Bandung Nggak Melulu Soal Terowongan dan tulisan Nuriel Shiami Indiraphasa lainnya.