Beban Berat Menjadi Sarjana di Kampung

Beban Menjadi Salah Satu dari Segelintir Sarjana di Kampung Terminal mojok

Lulus kuliah, jadi sarjana, langsung kerja, lalu beli rumah. Setelah itu menikah dengan si dia, beli mobil, dan jalan-jalan keluar negeri. Itu impian yang setidaknya sebagian besar di antara kita menginginkannya. Tapi, apa daya ketika kenyataan berkata lain. Setelah lulus bukannya langsung dapat kerja, malah ternyata gelar yang kita dapatkan tidak berharga sama sekali. Cari kerja sulit, mau mulai usaha juga nggak punya modal. Mau buka lahan kerja dengan skill, eh skill yang dikuasai cuma rebahan.

Padahal tuntutan untuk sukses sangat besar. Bukan hanya demi diri sendiri dan keluarga, tapi bisa dikatakan juga demi semua warga di kampung saya. “Lah? Kok bisa kesuksesan elu berpengaruh sama warga desa?” Jika kalian punya pertanyaan seperti itu, mari saya ceritakan beban jadi salah satu dari tiga orang sarjana di kampung saya.

Kesadaran akan pendidikan di kampung saya itu masih sangat rendah. Juga dipengaruhi sebagian besar warga yang berprofesi sebagai buruh tani. Untuk memenuhi kebutuhan sandang, papan, dan pangan saja sudah susah, apalagi masih ditambah dengan biaya pendidikan. Meskipun saat ini sudah lumayan banyak bantuan dari pemerintah, tetap saja warga di kampung saya masih tidak yakin untuk berinvestasi pada pendidikan.

Hanya ada tiga orang yang memberanikan diri untuk sekolah sampai ke tingkat perguruan tinggi. Secara tidak langsung, kami bertiga seakan mengambil sebuah tanggung jawab yang besar. Tanggung jawab ini bertahun-tahun terbengkalai dan tidak ada yang berani untuk mengambil peran. Jujur saja di awal-awal perkuliahan, kami bertiga belum sadar bahwa warga desa menaruh harapan dan menunggu hasil dari tempaan yang kami jalani selama berkuliah.

Sampai saat ketika kami sama-sama sudah lulus, jadi sarjana, dan tak kunjung mendapat pekerjaan, semua mata warga desa seakan terarah pada kami dan menuntut hasil dari proses perkuliahan kami. “Nah kan, sudah dibilang kalau kuliah itu nggak ada hasilnya. Mending kerja di sawah.” Suara-suara seperti itu mulai sayup-sayup terdengar. Padahal kami memang tidak menjanjikan apa-apa setelah kami selesai kuliah dan jadi sarjana, namun ekspektasi warga kampung sudah telanjur tinggi.

Kami ingin warga kampung sadar akan pendidikan. Ingin memberi contoh bahwa pendidikan bisa membawa kehidupan yang lebih baik. Mau sampai kapan tenaga warga kampung kami hanya digunakan untuk garap lahan orang? Kapan mereka akan punya lahan sendiri kalau terus-terusan begini? Kami sebagai contoh mau tidak mau harus sukses. Kalau tidak sukses, warga kampung kami akan semakin tidak percaya pada pendidikan.

Beban yang lebih berat ada di pundak saya. Saya punya seorang keponakan yang berprestasi di sekolahnya. Saat SMA selama tiga tahun berturut-turut, dia selalu dapat peringkat 1 atau 2 di kelasnya. Jadi, sayang kalau tidak melanjutkan studi ke jenjang perkuliahan. Saya berusaha untuk membujuk orang tuanya agar mau menguliahkan sang anak. Semua informasi tentang beasiswa sudah saya berikan, tapi mereka tetap dengan keputusan awal bahwa setelah lulus SMA anaknya akan langsung bekerja.

Saya yang secara prestasi akademik biasa-biasa saja pengin kuliah bahkan sampai S3, lah dia yang prestasinya bagus kan eman jika tidak kuliah. Seakan menyia-nyiakan bakat yang sudah diberi Tuhan. Tapi yah bagaimana lagi, memang rasa percaya tidak bisa tumbuh begitu saja. Harus ada contoh yang bisa menjadi sebuah inspirasi, dan inspirasi yang terdekat adalah saya sendiri. Tidak mungkin kan saya ngasih contoh orang lain seperti Jerome Polin atau Maudy Ayunda, yang selain sukses karier juga sukses di bidang akademik.

Oleh kerena itu, saya harus memberi contoh dengan menjadi sukses. Memang sih sukses itu punya beragam penafsiran di mata setiap orang. Pengertian sukses di kampung saya adalah menjadi orang kaya. Jadi, semua prestasi akademik hanya dianggap omong kosong jika tak dibarengi dengan prestasi secara ekonomi. “Percuma kuliah kalau nggak jadi kaya” memang terdengar aneh. Apa korelasinya kuliah dan menjadi kaya? Kuliah hanya sebuah cara, hasilnya ya tetap tidak terprediksi. Sayangnya, pemikiran sederhana seperti itu yang memang ada di otak warga kampung. Mereka sudah muak dengan kehidupan keras di bawah garis kemiskinan. Mereka sudah capek dengan yang namanya sabar, proses, dan segala tetek bengeknya. Yang mereka inginkan adalah keluar dari kekangan kemiskinan dan mendapat hidup yang lebih baik.

Saya percaya bahwa pendidikan adalah salah satu jalan untuk keluar dari kemiskinan, tapi mereka kan tidak percaya. Tugas saya adalah membuat mereka percaya. Omongan dan bujukan tidak akan mempan, hanya sebuah hasil yang terlihat yang akan memberikan mereka inspirasi dan membuat mereka percaya.
Setidaknya, saya harus berjuang untuk mendapat pekerjaan dengan gaji yang lumayan tinggi. Sehingga memungkinkan untuk membeli sebuah rumah walaupun kecil dan sebuah mobil walaupun mobil tua.

Bukannya ingin pamer atau sombong, tapi kalau tidak ada buktinya, orang kampung tidak bakal percaya. Mereka gampaaang kagum dengan apa yang terlihat. Misalnya, ada ibu-ibu dengan kalung dan gelang emas yang mentereng, para warga kampung bakal berdecak kagum. Meskipun terkadang jadi bahan ghibah juga, sih.

Nah, misalnya saya ingin meyakinkan warga kampung bahwa pendidikan adalah jalan terbaik untuk keluar dari kemiskinan, tapi setelah jadi sarjana saya masih tetap saja miskin atau tidak terlihat kayanya di mana, apa warga kampung saya bakal percaya? Dua teman saya yang kuliah tadi juga belum menjadi apa-apa di mata warga kampung sama seperti saya. Oleh karena itu, kami harus berusaha lebih keras agar bisa sukses dan membawa pulang hasil yang memuaskan, sehingga menginspirasi warga kampung dan mereka bisa mendapat kehidupan yang lebih baik. Atau setidaknya, bikin mereka sadar bahwa ilmu itu sangat penting.

BACA JUGA Tips Jadi Petani Pemula bagi Sarjana Pengangguran yang Peduli Agraria dan tulisan Sigit Candra Lesmana lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version