Di setiap persimpangan, para pengamen dan pengemis kini berebut pasar. Bahkan dengan kehadiran pengamen bermodal, bersenjata sound system dan gitar mahal, membuat persaingan antar pengamen dan pengemis makin menyesakkan. Setiap pencari uang jalanan ini berlomba untuk makin kreatif.
Namun, kadang kreativitas ini melawan akal sehat dan kesehatan. Contohnya adalah manusia silver. Meskipun dulu saya sampai memburu sang koordinator dan gagal, tapi saya masih sulit menerima ide menggunakan cat besi dan semprot di sekujur tubuh. Keunikan yang menjanjikan rupiah memang membuat gelap mata. Tanya saja para influencer nggatheli di media sosial.
Tua muda berebut jadi manusia silver. Saya sendiri pernah bertemu seorang bapak tua yang rambutnya sudah memutih dan menjadi manusia silver. Namun, tidak ada yang mengalahkan tragisnya bayi yang dicat silver di Tangerang Selatan.
Berita ini segera viral di media sosial. Dan tabir tragedi bayi silver ini makin terbuka lebar. Diketahui bahwa bayi tersebut bukanlah anak dari si pengamen silver. Bayi tersebut hanyalah anak tetangga yang diajak “pergi bermain”. Orang tua bayi silver tadi juga tidak mengetahui fakta memuakkan ini.
Gayung bersambut dan warganet gempar. Tentu mayoritas mengutuk si pengamen silver. Tapi sisanya memang menunjukkan rasa iba pada sang bayi. Saya pribadi pun jatuh iba dan marah pada entah siapa. Tapi akhirnya saya melihat realita sebenarnya: eksploitasi anak memang ada, nyata, dan tidak jauh dari ekor mata kita.
Mungkin bayi silver ini hanyalah puncak gunung es. Bahkan sangat puncak dari apa yang bisa kita lihat. Berapa banyak kita melihat bayi dan anak kecil berebut rupiah di jalanan? Entah dikoordinir oleh orang dewasa bajingan atau murni memenuhi kebutuhan sendiri.
Secara singkat, eksploitasi ini menempatkan si koordinator sebagai penjahat utama. Mungkin sampai sini saja artikel ini selesai. Namun, saya benci untuk menyalahkan masyarakat akar rumput terhadap masalah ekonomi yang kompleks.
Kehadiran bayi silver dan segenap eksploitasi anak adalah hasil dari sistem ekonomi yang penuh persaingan. Bahkan mental untuk “menjual” bayi sebagai value lebih saat mengamen tidak lahir secara ajaib di otak pelaku. Semua karena persaingan dalam sistem ekonomi di pinggir jalan.
Seperti artikel saya tentang mahasiswa mengamen di jalan, persaingan ekonomi di lini pengamen makin parah. Banyak orang dengan privilese berlebih ikut berebut uang dari donasi pelintas jalan. Lalu bagaimana orang-orang ekonomi bawah bersaing dengan peristiwa ini?
Ya mau tidak mau, mereka ikutan aneh-aneh agar outstanding. Daripada dicibir “badan sehat kok ngemis”, mereka mengeluarkan effort lebih agar pantas mendapat uang kembalian Anda. Dengan terbatasnya akses para pengemis dan pengamen pada sumber daya dan pengetahuan, yang dipilih adalah cara-cara yang nyantol di imajinasi terbatas mereka. Misal, jadi manusia silver.
Tapi aneh-aneh ala manusia silver belum cukup. Persaingan yang keterlaluan memaksa mereka makin gila dalam bersaing. Akhirnya semua dilihat sebagai objek, termasuk bayi tetangga yang pipis saja harus ditampung popok. Demi meningkatkan value untuk mengemis, akhirnya bayi kecil menjadi alat jual rasa iba mereka.
Memang realitanya demikian. Demi persaingan menuju sumber daya ekonomi, manusia akan jadi objek ekonomi. Makin tinggi value-nya, makin menghasilkan rupiah.
Ini saja saya masih bicara masyarakat ekonomi bawah. Masyarakat menengah juga sama saja, memandang anak kecil sebagai objek. Dari dipaksa mencari beasiswa sampai diikutkan lomba semua karena anak dinilai sebagai objek. Aspirasi mereka diabaikan sebagai kenakalan anak.
Bahkan masyarakat ekonomi atas pun masih jadi objek. Buktinya, lihat saja Rafathar. Masa kecilnya sudah kehilangan privasi dan hak tumbuh kembang sepantasnya anak kecil. Sejak kecil, Rafathar harus jadi komoditi hiburan demi memuaskan pemirsa layaknya kedua orang tuanya.
Bayi silver dan pelaku eksploitasinya sama-sama korban. Korban dari persaingan ekonomi yang merendahkan posisi manusia layaknya bahan baku pabrik. Rafathar dan bayi silver tadi sama-sama korban dari eksploitasi. Bedanya, mungkin dari rasa sakit dan penderitaan mereka. Yang satu terancam racun dari cat, satunya terancam mentalnya.
Tapi kita terlalu munafik mengakui fakta ini. Entah karena kita sudah terikat begitu dalam dengan sistem ekonomi penuh persaingan, atau karena kita malu mengakui bahwa sistem ekonomi yang mulia ini sumber masalah.
Sumber Gambar: YouTube Law & Justice Investigasi