Barista dan Mereka yang Ngopi di Kedai Kopi Punya Standar Penampilan dan itu Menyebalkan

Barista Posting di Coffee Shop Terus Abis Itu Makan Promag, Jangan Menyakiti Diri demi Konten!

Barista Posting di Coffee Shop Terus Abis Itu Makan Promag, Jangan Menyakiti Diri demi Konten!

Dulu konflik yang terjadi antara peminum kopi di kedai kopi Jogja adalah bacot-bacotan pengetahuan tentang kopi. Semakin tinggi ilmu tentang kopi, ditambah sering mbacot di berbagai kedai kopi, maka semakin disegani saat berkunjung ke kedai lain. Pendekar kopi istilahnya, entitas yang eksis di Jogja sekitar 2014 sampai 2017an. Saya, sebagai barista, cuma bisa geleng-geleng kepala saja.

Akan tetapi, eksistensi para pendekar mulai punah ketika kedai kopi bermanifestasi menjadi co-working space, tempat hits selebgram, atau tongkorongan anak-anak muda yang gaul abis. Para pendekar punah karena nggak ada lagi ruang bagi mereka buat mbacot.

Kalau beberapa tahun lalu sempat ada pembahasan tentang wave of coffee, alias tren kopi dari masa ke masa, salah satu yang selalu dibangga-banggakan adalah gelombang ketiga. Third wave of coffee istilahnya, ketika penikmat kopi nggak sekadar minum, tetapi ingin mengetahui segala proses pembuatan kopi—bahkan ada yang niat sampai mempelajari proses penanaman pohon kopinya. Buat saya yang bekerja sebagai barista, kondisi ini menyenangkan sekali.

Pada masa kejayaan third wave of coffee di Jogja, sekitar tahun 2016, banyak kedai kopi bermunculan, banyak kompetisi bergengsi digelar di mana-mana, bahkan banyak diskusi serius tentang seperti apa tren kopi di masa depan ketika third wave sudah selesai.

Sekedar info singkat saja, first wave of coffee itu adalah masa kejayaan kopi dan melahirkan tren kopi sasetan. Second wave of coffee adalah masa kejayaan kopi ketika istilah ngopi ya nongkrong di tempat keren kayak starbaks dan kawan-kawannya. Third wave of coffee itu masa kejayaan kopi saat peminum kopi tertarik menekuni lebih dalam tentang dunia perkopian. Fourth wave of coffee? Hah, emang ada?

Banyak yang berspekulasi akan seperti apa fourth wave of coffee, mulai dari semua orang akan dan bisa menjadi barista, home brewer alias penyeduh kopi rumahan, munculnya lahan-lahan dan metode baru pertanian kopi, atau sebatas bangkrutnya pabrik kopi sasetan karena semua orang nggak doyan sasetan lagi.

Sayangnya, semua halusinasi indah itu harus pupus. Tahun ini, 2020, dan barangkali tahun-tahun setelahnya, kopi mungkin nggak akan dipandang prestisius lagi. Kedai kopi yang dulu adalah tempat romantis untuk berbagi bacotan itu tak ubahnya seperti klub malam. Barista, tak ubahnya penyaji minuman semata. Pengetahuan soal kopi nomor dua.

Iya, bagi yang belum pernah masuk ke Liquid atau Boshe dan penasaran seperti apa manusia-manusia di dalamnya, ya saya bisa bilang kalo isinya mirip-mirip sama mayoritas pengunjung kedai kopi hits saat ini di Jogja—mengesampingkan yang mengusung konsep co-working space ya.

Apakah saya benci Liquid dan Boshe? Tentu enggak. Bermabuk-mabukan dan joget liar di klub malam juga mengasyikkan. Hanya saja sayang banget kalo kedai kopi yang dulu ibarat tempat sharing ide dan pembahasan ide yang asyik, kini berubah jadi tongkrongan dengan mas-mas dan mbak-mbak yang haha hihi teriak keras-keras dan—ternyata—pesennya bukan kopi atau malah nggak pesen sama sekali.

Transformasi itulah yang kemudian mulai memberi standar berpenampilan saat mau ngopi di kedai kopi. Rata-rata yang nongkrong—urusan mereka beli atau enggak biarlah pemilik kedai kopi yang pusing—penampilannya hits banget, mulai dari sepatu ori berlabel Converse, Vans, atau Compass, celana pendek, kaos ngejreng, dan outer Erigo dan semacamnya. Urusan tampang cocok atau enggak itu urusan lain, yang penting penampilannya kurang lebih kayak gitu. Ya model-model anak hype-beast gitulah kalo mau pake bahasa yang sempat ngehits beberapa waktu lalu.

Awalnya saya nggak begitu ngeh dengan kejadian ini, sampai suatu ketika ada kedai kopi buka cabang baru. Saya dan temen-temen berencana ke sana, tapi saat liat Instastory dari akun IG kedai kopi itu, ternyata ramai banget, dan mayoritas yang datang itu anak-anak dengan penampulan luar biasah gaul.

Saya nggak peduli, tapi beberapa teman saya mengatakan insecure buat ke sana karena masalah penampilan. Akhirnya ya nggak jadi ke sana. Saya sebenernya bodo amat soal penampilan. Kalau mau ngopi ya ngopi aja. Tapi karena temen-temen batal ke sana, saya ya ngapain ke sana sendirian dengan kondisi kedai kopi seramai itu.

Standar penampilan itu yang membuat saya mulai risih. Saya pingin ngopi, mutlak itu, tapi saat saya datang pake sandal jepit, kaos oblong tanpa merk, dan jaket nggak hits dengan merk Bonca(be), kok saya merasa banyak mata yang memandang saya sambil terheran-heran. Seolah saya ini alien yang lagi hijrah dari galaksi nan jauh ke galaksi ini dan kebetulan pengin ngopi.

Nggak sebatas pengunjungnya, tapi barista-baristinya—barista cewek itu disebut baristi sebenernya, tapi serah lah—juga kurang lebih berpenampilan sama. Saya nggak ada masalah sama sekali soal penampilan. Saya nggak pernah meduliin orang itu mau pakai karung goni, baju berlapis emas, atau kostum Ultraman.

Nah, pandangan saya itu barangkali yang membuat saya berharap agar orang lain juga berpandangan sama seperti saya, dan saat saya mendapati kenyataan tidak seperti realitas yang terjadi, saya langsung kuciwa. Pun, apabila manusia-manusia yang nongkrong itu tahu saya barista, barangkali mereka syok karena penampilan saya nggak kayak barista zaman sekarang blas.

Iya, saya gondrong, dan semenjak Chico Jericho memerankan tokoh Beni di Filosofi Kopi yang notabennya gondrong, banyak barista cowok yang berlomba-lomba buat gondrong. Tapi sebatas gondrong nggak bikin saya keliatan kayak barista, soalnya kalau cuma bermodal gondrong, Lek Gato tetangga saya juga gondrong.

Ternyata setelah saya berdiskusi—karena nggak mau dibilang julid—sama beberapa barista lain, nggak hanya saya yang merasakan seperti saya. Barista cewek rekan kerja saya juga mengalami hal serupa. Suatu ketika dia diajak ngopi sama temennya di kedai kopi yang mbak-mbak baristanya cakep pol lengkap dengan tato, make-up menawan, dan rambut warna-warni.

Teman saya ini seorang perempuan dengan tampilan jauh banget dari kesan mbak-mbak barista itu. Dia berjilbab dan penampilannya biasa saja. Nggak ada tampang hits-hitsnya sama sekali lah. Nah, temennya temen saya ini bawa temen juga. Iseng, temennya temennya temen saya, tanya temen saya kerja apa. Temen saya jawab dia seorang barista.

Temennya temennya temen saya langsung syok dong, soalnya yang dia bayangkan kalau ada barista—cewek khususnya—ya penampilannya nggak mungkin kayak temen saya itu. Nah loh, sekarang standar penampilan barista aja ada yang menentukan. Iya, emang nggak tertulis ada, tapi karena mayoritas barista itu penampilannya kayak gitu gitu dan gitu, jadinya kalo ada barista yang penampilannya kayak gembel macem saya ini ya pasti bikin syok khalayak ramai.

Memang, perlu saya tegaskan, bahwa nggak semua kedai kopi di Jogja kayak gitu. Ada juga beberapa kedai kopi yang baik dan budiman. Sekali lagi tergantung konsep dan model bisnis dari si pemilik itu sendiri. Kalau pemiliknya emang demen sama yang hits-hits ya pasti dikonsep gitu. Eh ternyata bisa ramai, makanya banyak kedai kopi lain yang mencoba peruntungan dengan cara yang sama.

Ah, rasanya pupus harapan saya untuk ngopi dengan santai sambil nulis opini-opini bangsat macam ini. Dulu, saat third wave of coffee lagi menggelegar, dunia perkopian bukannya tanpa suara bising juga meski bukan urusan penampilan. Masih segar di ingatan saya tentang blok-blok yang sempat ada di Jogja. Dulu ada kubu yang terlihat jelas. Ada kubu utara dan selatan.

Konon kubu selatan lebih santai dan minim konflik, sementara kubu utara adalah kubu yang panas dan sikut-sikutan. Tentunya konflik-konflik itu nggak secara nyata kelihatan, sekadar muncul di sela-sela obrolan saat ngopi bareng anak-anak kopi di selatan. Pas di selatan ngomongin utara. Pas di utara, ya ngomongin utara.

Tapi sekali lagi itu dulu. Third wave of coffe barangkali sudah berakhir—cepet banget emang. Atau sebenernya memang nggak pernah ada yang namanya third wave of coffee. Apa yang selama ini kita anggap sebagai third wave hanyalah masa anomali, atau malah hanya jeda pengambilan napas buat second wave yang belum berakhir dan ingin semakin merajalela.

Second wave menciptakan situasi yang tampak seperti new wave sehingga banyak orang mulai demen kopi, kemudian saat banyak orang terjerat, langsung dibanting dan dipaksalah semua orang kembali ke second wave yang mengagungkan tongkrongan mahal dan hits.

BACA JUGA Mengapresiasi Kopi Sachet dalam Perjalanan Ngopimu dan tulisan Riyanto lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version