Sebagai pendatang dari Malang—meskipun keluarga besar ibu asli dari Banyuwangi—saya cukup terkejut ketika pertama kali menginjakkan kaki di kota ini. Dalam bayangan saya, Banyuwangi akan mirip dengan kota besar lainnya, atau setidaknya seperti Jember, kabupaten tetangganya. Tapi ternyata, banyak hal yang berbeda, mulai dari budaya suku Osing yang kental hingga bahasa daerahnya yang unik.
Banyuwangi, kota wisata tanpa mall yang tetap menarik
Kalau membayangkan Banyuwangi sebagai kota wisata terkenal, mungkin sebagian orang berpikir ada mall besar di sini. Tapi uniknya, Banyuwangi justru tidak punya mall seperti kota-kota lain. Sebagai gantinya, kota ini menawarkan pasar tradisional yang hidup, swalayan dengan harga grosir yang ramah di kantong, serta minimarket seperti Indomaret dan Alfamart.
Memang, ada Roxy yang sering disebut sebagai “mall-nya Banyuwangi”. Tapi bagi saya, Roxy lebih seperti swalayan yang dilengkapi dengan foodcourt dan toko pakaian. Selain itu, ada juga Ramayana, meski bagi sebagian besar warga Banyuwangi, Ramayana masih belum memenuhi ekspektasi sebagai mall sesungguhnya.
Tidak adanya mall di sini bukan tanpa alasan. Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 11 Tahun 2014 yang dikeluarkan oleh Bupati Azwar Anas saat itu, secara tegas melarang mendirikan dan melakukan usaha baru berupa tempat hiburan karaoke dan usaha toko modern. Kebijakan ini bertujuan melindungi keberlangsungan UMKM, pasar tradisional, dan ekonomi lokal dari persaingan besar dengan pusat perbelanjaan modern. Bupati Azwar Anas ingin memastikan masyarakat Banyuwangi tetap menikmati perkembangan ekonomi tanpa mengorbankan usaha-usaha kecil yang menjadi tulang punggung perekonomian daerah.
Meskipun tidak ada mall besar, Banyuwangi tetap menunjukkan kemajuan. Kota ini memiliki bandara domestik, hotel-hotel bintang lima, dan deretan restoran cepat saji seperti KFC, McDonald’s, Richeese Factory, hingga rencana pembangunan Mie Gacoan.
Bebas parkir liar, jalanan tetap lancar
Salah satu hal yang langsung mencuri perhatian di Banyuwangi adalah tertibnya tata kelola parkir. Tidak ada parkir liar di badan jalan, bahkan di sekitar pusat perbelanjaan seperti Roxy, Ramayana, atau Vionata Swalayan. Semua kendaraan terparkir rapi di area parkir yang sudah disediakan.
Hal ini berbeda sekali dengan kota-kota lain seperti Malang, yang meskipun memiliki mall besar, masih sering memanfaatkan badan jalan sebagai tempat parkir liar. Di Banyuwangi, biaya parkir pun sangat terjangkau, hanya seribu rupiah, dan hampir tidak ada juru parkir (jukir) liar yang memanfaatkan situasi.
Semua ini diatur dalam Peraturan Bupati Banyuwangi No. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perparkiran. Aturan ini mewajibkan setiap fasilitas umum, seperti mall dan swalayan, untuk menyediakan area parkir yang memadai.
Selain itu, juru parkir resmi yang bertugas juga diatur oleh pemerintah daerah dan menerima gaji langsung, sehingga mereka tidak bergantung pada pungutan liar. Dengan adanya regulasi ini, tidak hanya jalanan yang menjadi lebih tertib, tetapi juga memberikan rasa nyaman bagi pengendara.
Baca halaman selanjutnya: Tidak seseram yang dibilang orang…