Kalau permasalahan sosial dan lingkungan Kota Jogja nggak segera dibenahi, saya harus katakan mending tinggal di Bantul aja!
Seluruh hidup saya habiskan di Kota Jogja, tempat kelahiran sekaligus bertumbuh dan berkembang saya. Saat masih kecil, saya bahagia sekali tinggal di Kota Jogja. Bagi saya, Kota Jogja sangat sesuai dengan slogannya, “Berhati nyaman”.
Tapi setelah dewasa, saya mulai sangsi atas kenyamanan Kota Jogja. Kota yang semakin sesak ditambah dengan berbagai permasalahan sosial dan lingkungannya membuat saya lelah. Saya mulai membanding-bandingkan Jogja dengan daerah-daerah lain dan membayangkan jika saya tinggal di wilayah tersebut. Dan dari situ saya mulai iri sama Kabupaten Bantul.
Ketika orang-orang mulai meninggalkan Bantul, saya justru punya impian memiliki rumah di sana, tepatnya di kecamatan-kecamatan paling selatan. Tapi ketika saya menceritakan angan-angan ini ke teman-teman, mereka justru bingung karena menganggap cita-cita saya aneh. Soalnya rumah saya di Jogja itu sudah strategis sekali, dekat ke mana-mana. Memang sih, nggak sampai 1 km dari rumah saya sudah ada pom bensin, minimarket, supermarket, sekolah, hingga deretan restoran cepat saji.
Kabupaten Bantul memang memiliki kekurangan dari segi aksesibilitas, bahkan beberapa kali dicap aneh. Tapi saya iri dengan kabupaten ini atas alasan-alasan lain yang lebih meyakinkan saya untuk meninggalkan Kota Jogja suatu saat nanti.
Daftar Isi
#1 Masih banyak tanah luas di Bantul untuk tempat tinggal
Seumur hidup tinggal di kota yang cukup padat penduduk dengan rumah saling berdempetan itu rasanya nggak nyaman. Sudah bising, nggak ada pekarangan, banyak tikus lagi. Saya yang suka menanam bunga selalu pusing karena samping rumah saya langsung lahan milik tetangga. Mau ditaruh di mana pot-pot bunga kesayangan saya?
Sementara di Bantul masih banyak lahan. Rumah dengan halaman luas bisa terwujud kalau membangunnya di Bantul.
Menurut saya, halaman luas ini banyak banget sisi positifnya. Selain bisa berkebun dengan leluasa, punya rumah dengan halaman luas juga cocok untuk keluarga yang sedang membesarkan anak. Anak-anak bisa main di halaman dengan bebas. Dari yang saya lihat, anak-anak tetangga saya di kota lebih banyak dikurung di rumah. Alasannya karena orang tuanya khawatir anak-anak mereka main terlalu dekat dengan jalan yang berbahaya. Maklum, depan rumah langsung jalan dengan kendaraan berlalu-lalang.
Orang-orang yang punya halaman luas di Bantul juga bisa mengelola sampah rumah tangga secara mandiri. Lha kalau di kota, tiap tempat pembuangan sementara (TPS) tutup, semua orang bingung. Akhirnya sampah menumpuk sehingga banyak orang nggak bertanggung jawab membuang sampah di jalan. Baunya, sumpah deh, mengganggu banget!
#2 Lebih mudah untuk bertani dan beternak
FYI, di seluruh Kota Jogja, tinggal kecamatan saya saja yang masih ada lahan pertanian sawahnya. Itu pun jumlahnya sangat sedikit. Keluarga saya memang masih termasuk beruntung karena bisa merasakan sepoi-sepoi angin dan pemandangan hijau-hijau untuk mencuci mata. Tapi banyak orang di Kota Jogja yang sudah nggak ingat dengan sensasi tinggal di dekat sawah karena semua sudah berubah jadi permukiman.
Kondisi ini bukan hanya memuakkan bagi para penduduk yang butuh kesejukan di tengah Kota Jogja yang mendidih, melainkan juga menyulitkan para peternak. Bapak saya yang ternak sapi nggak jauh dari rumah terpaksa harus ngarit sampai ke Bantul karena di Kota Jogja blas nggak ada rumput atau dedaunan tertentu yang jadi sumber pakan.
Sementara di Bantul, beternak jauh lebih enak. Ada banyak lahan tak terpakai, ladang, atau tanah lapang yang ditumbuhi rumput. Saat ngarit lebih leluasa, membawa hasil ngaritnya juga nggak perlu jauh-jauh sampai belasan kilometer.
#3 Punya wisata alam yang beragam
Kota Jogja memang punya banyak kafe dan tempat makan. Tapi jujur saja, saya nggak begitu peduli. Saya jarang banget jajan dan merasa sayang untuk keluar duit mahal-mahal hanya untuk makanan dan minuman. Saya lebih rela menghabiskan uang untuk pengalaman, terutama wisata.
Masalahnya, wisata di Kota Jogja itu-itu aja, bahkan bagi saya sudah seperti bangunan biasa saking seringnya lewat. Contohnya saja Tugu, Malioboro, Alun-alun Utara dan Selatan, hingga Gembira Loka Zoo.
Saya justru iri dengan Bantul yang punya bentang alam dan tempat wisata beragam, mulai dari dataran rendah, dataran tinggi, pantai, sungai, goa, dan hutan. Kedengarannya memang aneh, tapi saya suka mengobservasi vegetasi dan menebak-nebak jenis tanah tiap main ke Bantul. Tiap daerah di Bantul punya kondisi dan karakteristik alam yang berbeda-beda, yang menurut saya cocok banget buat healing dan edukasi.
Sementara di Jogja, jarang banget ada tumbuhan, kecuali beton yang jadi tanaman favorit beberapa dekade belakangan. Jalan pun datar semua. Niat healing ke tempat wisata pun sudah pening duluan lihat keramaian turis dan kemacetan.
Dan saya juga iri dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Bantul yang lebih beroperasi dan “jalan”. Saya lihat Bumdes di bantul lebih banyak yang terkenal dan betul-betul dioperasikan, baik itu dalam bentuk desa wisata maupun UMKM. Masyarakat Bantul sadar banget sama potensi daerahnya sendiri. Di kota, khususnya di tempat saya, sudah mangkrak.
#4 Masyarakat Bantul masih guyub dan peduli, bikin nyaman untuk tinggal
Sebagian besar wilayah Bantul masih termasuk daerah rural. Budaya dan kebiasaan masyarakatnya pasti berbeda dengan daerah kota yang khas masyarakat urban. Saya iri dengan masyarakat Bantul yang saling kenal satu sama lain. Berbeda dusun, bahkan desa saja mereka kenal. Kalau di kota mah boro-boro. Tetangga sebelah rumah saja mungkin nggak tahu namanya.
Kalau saling kenal dan akrab seperti itu, masyarakat jadi lebih guyub dan saling peduli. Kalau ada masalah, tinggal minta bantuan ke tetangga, sehingga nggak perlu dikit-dikit panggil orang luar.
Selain itu, akrab sama tetangga dan masyarakat sekitar juga menjamin seseorang nggak akan kesepian kalau sudah tua. Kesepian karena ditinggal anak merantau atau pasangan meninggal dunia ini termasuk fenomena yang kerap terjadi di kota. Lansia-lansia pada nggak punya teman cerita. Tapi di desa, khususnya di Bantul, jarang ada yang begini.
Saya juga iri dengan masyarakat Bantul yang ramah dan sangat menghormati tamu. Saya beberapa kali melakukan riset sosial di Bantul dan masyarakatnya menyambut saya dengan super duper baik. Padahal kalau dilihat dari posisinya, saya ini orang asing yang belum pernah bertemu mereka.
Saat wawancara dengan mereka, saya bahkan disuguhi makanan dan minuman. Nantinya saat pulang pun masih dibawain sangu buat di perjalanan. Beda banget sama orang kota yang cuek dan kesannya seperti ngasih kode agar kita cepet-cepet pulang karena teritori mereka dimasuki orang asing.
Kota Jogja memang menjadi bagian dari hidup saya, dari lahir sampai sekarang. Dulu saya sempat merasa nyaman, tapi kalau permasalahan sosial dan lingkungan Kota Jogja nggak segera dibenahi, saya harus katakan mending tinggal di Bantul aja!
Penulis: Noor Annisa Falachul Firdausi
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Bantul Bukan untuk Kaum Mendang-Mending, Pikir Ulang kalau Mau Tinggal di Sini!
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.