Bangsa Kita Pernah Bercinta Dengan Langit, Lalu Sekarang Bagaimana?

Bercinta Dengan Langit

Bercinta Dengan Langit

“Sebuah peradaban maju lahir dari mereka yang menguasai langit.”

Pernah mendengar atau membaca kalimat di atas? Tidak? Tentu wajar. Karena kalimat di atas tidak pernah dikutip oleh tokoh penting sains astronomi manapun di dunia. Kutipan tersebut penulis temukan ketika berselancar di dunia maya menelusuri jejak peradaban dunia di masa silam.

Akan tetapi pernyataan tersebut tidak sepenuhnya salah. Perhatikan bangsa-bangsa kuno yang memiliki peradaban maju di dunia. Mesir, Yunani, Aztec, Inca, Romawi, hingga bangsa Cina. Semua bangsa yang telah disebutkan pernah mengalami kemajuan di masa jayanya dulu. Dan kemajuan mereka selalu berkaitan erat dengan tingkat penguasaan ilmu langitnya. Tambahkan pula era kejayaan umat islam.

Ketika ilmuwan muslim mulai tampil di dunia, konsep yang mereka bawa banyak berkaitan dengan astronomi. Sebut saja satu ilmuwan yang paling terkenal, Al Khawarizmi. Sumbangsihnya terhadap ilmu matematika mungkin merupakan sumbangsih terbesar seorang muslim bagi peradaban manusia saat ini. Namun yang tak banyak diketahui, beliau juga merupakan peneliti di bidang astronomi.

Dari berbagai hal tersebut tak heran beredar pendapat di kalangan saintis bahwa ilmu langit adalah gerbang dari peradaban maju. Pun juga di zaman modern. Penemuan-penemuan baik dari fisika klasik maupun fisika modern selalu berkaitan dengan ilmu langit. Sebut saja Albert Einstein dengan teori relativitasnya atau Issac Newton yang masyhur karena hukum gravitasinya. Semuanya berkaitan dengan langit. Berbagai unsur yang mungkin tercetak di tabel periodik dalam pembelajaran kimia juga mungkin banyak yang ditemukan oleh mereka yang meneliti langit. Karena pemahaman itulah bangsa barat berlomba-lomba menginvestasikan uang mereka demi kemajuan pengetahuan astronominya.

Lantas, bagaimana dengan Indonesia?

Siapapun yang tertarik dengan bidang sains, terutama fisika dan astronomi pasti pernah mendengar nama observatorium Bosscha. Observatorium peninggalan Hindia Belanda yang terletak di Lembang, Jawa Barat ini masih menjadi satu-satunya observatorium di Indonesia. Observatorium ini pula lah yang melandasi kelahiran program pendidikan astronomi di Institut Teknologi Bandung (ITB) yang hingga saat ini masih menjadi satu-satunya perguruan tinggi di Asia Tenggara yang menyediakan program pendidikan astronomi. Dan sekarang Indonesia sedang membangun satu obsevatorium lagi di Timau, Nusa Tenggara Timur.

Sayangnya hal tersebut belum layak untuk kita banggakan. Kenapa? Karena pengetahuan masyarakat Indonesia akan astronomi maupun ilmu langit lainnya tergolong rendah. Lihat saja di sistem pendidikan negeri kita sekarang. Pelajaran astronomi disisipkan di 2 mata pelajaran, yaitu Geografi dan Fisika. Tidak ada mata pelajaran khusus yang membahas astronomi. Ironisnya, kedua mata pelajaran tersebut terletak di dua kutub berbeda, satu terletak di kubu IPA dan yang satu berada di kubu IPS. Otomatis mereka yang ingin mempelajari ilmu langit sejak masa sekolah tidak bisa menerima hasil yang maksimal karena salah satu pembelajaran pasti tak bisa mereka ikuti.

Selain itu hanya satu perguruan tinggi yang menyediakan program astronomi membuat ilmu langit ini tidak bisa tersebar dengan baik. Tidak masalah apabila satu tempat itu untuk satu pulau Jawa saja. Akan tetapi satu tempat ini diperuntukkan bagi Indonesia yang merupakan salah satu negeri terbesar di dunia. Dengan adanya 5 pulau besar di Indonesia tentu setidaknya membutuhkan 1 program studi astronomi di tiap pulau agar pemerataan ilmu astronomi di Indonesia bisa lebih lancar.

Karena sesungguhnya khazanah ilmu langit negeri ini sangat kaya. Sebutlah suku Mandar di Sulawesi Barat atau Suku Bugis dari Sulawesi Selatan yang berlayar dengan membaca pertanda alam. Meskipun tak disadari, tapi mereka telah menerapkan ilmu astronomi dalam pembacaan pertanda alam tersebut, yaitu dengan membaca rasi bintang untuk menentukan arah atau bahkan menentukan musim. Petani-petani nusantara pun banyak menggunakan pertanda alam dari rasi bintang sebagai penentu masa panen dan masa tanam. Dan masih banyak suku-suku di pelosok nusantara yang mengembangkan astronomi baik dari pertanda alam maupun yang lainnya untuk bertahan hidup.

Hal tersebut tentu belum termasuk pesantren yang terus mengembangkan ilmu falak yang merupakan ilmu perbintangan dari kalangan umat muslim. Dengan begitu banyaknya perbedaan dalam memandang langit tentu diperlukan wadah yang lebih merata demi standardisasi ilmu astronomi bagi semua pihak. Para anak petani berhak tahu bahwa rasi bintang Waluku yang selama ini digunakan dari zaman nenek moyang mereka untuk menentukan masa tanam dan masa panen di dunia luas lebih dikenal sebagai rasi bintang Orion. Para anak nelayan juga berhak tahu bahwa Gubuk Penceng yang dijadikan patokan arah selatan sejak zaman dahulu di kalangan luas mahsyur dikenal sebagai rasi bintang Crux. Begitu pula semua pihak yang tertarik dengan langit. Mereka layak mendapatkan kesempatan dan pengetahuan yang sama dengan yang selama ini dunia luar ketahui.

Dengan berbagai masalah tersebut tentu tak mudah bagi negara kita untuk mengembangkan astronomi. Tapi hal tersebut juga bukan hal yang mustahil. Karel Albert Rudolf Bosscha, seorang tuan tanah dari perkebunan teh di Lembang era Hindia Belanda juga mengalami banyak hambatan dalam mewujudkan pembangunan observatorium impiannya. Butuh waktu bertahun-tahun serta dana yang saat itu terbilang cukup tinggi untuk membangun itu semua. Namun rasa cinta dan penasaran terhadap ilmu langit lah yang membuat Bosscha tetap bertahan dalam pembangunan tersebut. Karena itulah namanya diabadikan sebagai nama observatorium yang ia bangun tersebut.

Hal ini menunjukkan, bangsa kita, meskipun melalui Hindia Belanda dan seorang tuan tanah Belanda, pernah mencoba bercinta dengan langit. Pernah dihantam rasa penasaran yang tak terbendung akan misteri yang tersembunyi di langit. Sekarang mungkin bangsa ini masih takut menunjukkan kecintaannya kembali terhadap langit. Namun layaknya orang jatuh cinta, negeri ini, dan seluruh rakyat yang ada di dalamnya, mereka akan menyadari bahwa dari langit lah bangsa ini pernah mencoba berjaya, dan kelak dari langit lah bangsa ini juga akan mencoba meraih jayanya kembali. Tak mudah memang, tapi layak diperjuangkan.

Exit mobile version