Indonesia memiliki segudang lagu mulai dari yang klasik sampai populer. Dari sekian banyaknya lagu, pernahkah Anda mendengarkan lagu “Bang-bang Wetan”? Jika pernah, apa yang Anda rasakan pada saat mendengar lagu tersebut?
Bagi Anda yang suka mengedit video atau berselancar di Instagram, YouTube, maupun Tik-Tok, lagu ini biasanya sebagai backsound dari video-video atau gambar horor. Maka, jangan heran jika di kemudian hari lagu ini dikenal sebagai lagu horor juga. Lagu “Bang-bang Wetan” yang berbahasa Jawa itu apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih akan bermakna sebagai berikut.
Bang-bang wus rahina, bang-bang wus rahina, srengengene muncul muncul muncul, sunar sumamburat
Cicit cuit-cuit, cicit cuit-cuit, cit-cuit rame swara ceh-ocehan
Krengket gerat-geret, krengket gerat-geret, nimba aning sumur sumur sumur, adus gebyar-gebyur
Segere kepati, segere kepati, kepati bingah bagas kuwarasan
‘Langit fajar memerah pertanda pagi, langit fajar memerah pertanda pagi
Matahari muncul dengan cahayanya yang bersinar terang
Suara timba berbunyi krengket ditarik gerat-geret, menimba air dari sumur, mandi dengan semangatnya
Sungguh segar sekali, aku bahagia dan badanku sehat’
Begitulah kutipan lirik lagu “Bang-bang Wetan” yang dinyanyikan secara berulang-ulang pada awal lagu. Kemudian, pada akhir lagu diselingi dengan semacam suluk atau kombangan sebelum ending.
Lingsir wengi tan kendhat bebaya memala, tan kinaya apa, bebendu pepeteng tan kena atinira
Bang-bang wetan bang-bang wetan, semburata semburata
‘Waktu yang mendekati sepertiga malam terakhir, semoga tidak ada bahaya atau musibah, tidak ada halangan suatu apa pun, tidak ada kutukan yang mengenai kepada diri seseorang
Fajar pagi, cepatlah engkau bersinar, cepatlah bersinar’
Pada awalnya, lagu “Bang-bang Wetan” ini adalah lagu anak-anak atau tembang dolanan yang dibuat oleh Ki Hadi Sukatno dari Taman Siswa. Lagu tersebut menyuguhkan semangat yang muncul sebagai gambaran jiwa anak-anak. Logiskah lagu anak-anak dianggap sebagai lagu yang mistik dan horor?
Saat ini, lagu “Bang-bang Wetan” yang biasanya kita dengarkan salah satunya merupakan aransemen dari Cak Nun dan Kiai Kanjeng. Garapan musiknya yang khas, mampu mengetuk pintu sanubari sehingga perasaan yang mendengarnya menjadi bergetar. Hal ini sudah menjadi ciri khas garapan musik Gamelan Kiai Kanjeng yang “lain daripada yang lain”. Kemudian, dari aransemen tersebut berkembang hingga dinyanyikan berulang kali oleh beberapa seniman.
Jika kita jujur kepada lirik aslinya, lagu ini sebenarnya tidak menyuguhkan unsur horor sama sekali. Dilihat dari tempo dan ritme yang sigrak atau semangat seperti hendak memunculkan adanya semangat atau greget yang tinggi dari lirik lagu yang disampaikan.
Dalam lagu tersebut terdapat dua pelajaran, yakni tentang semangat dan harapan. Pada dasarnya, kehidupan ini dibentuk melalui aspek berpasang-pasangan. Ada gelap-terang, senang-sedih, siang-malam, dan sebagainya. Hal tersebut sama dengan kehidupan manusia, ada masa lalu dan ada masa depan.
Manusia selalu memiliki harapan atau cita-cita untuk mendapatkan penerangan atas hidupnya. Penerangan itu berfungsi sebagai penunjuk jalan agar tidak salah memilih jalur menuju masa depan. Masa lalu biarlah menjadi kenangan dan pelajaran. Masa depan harus disikapi dengan semangat untuk lebih baik seraya berdoa agar dijauhkan dari bahaya.
Secara tidak langsung, lagu ini memiliki makna yang kurang lebih sama dengan lagu “Sebelum Cahaya” yang dinyanyikan oleh Letto. Manusia menantikan cahaya dan embun pagi kemudian digenapkan dengan sinar fajar dengan mandi “adus gebyar-gebyur”. Manusia merasakan kesegaran rohani yang digambarkan dengan menghirup udara pagi dan merasakan sensasi kebugaran jasmani melalui mandi.
Dua aspek tersebut sebenarnya adalah hal-hal yang berkesinambungan. Sinar fajar adalah manifestasi dari cahaya dan mandi adalah perwujudan nyata merasakan kesegaran air (embun). Apabila seorang mempunyai mimpi dan harapan, dia juga harus berusaha atau ikhtiar. Maka, ketika anugrah atau peluang itu datang, manusia bisa merasakan bagaimana kesegaran atau kenikmatan sebenarnya.
Satu hal yang berulang-ulang kali menjadi stereotip masyarakat adalah lagu-lagu berbahasa Jawa dikait-kaitkan dengan hal-hal mistis seperti halnya lagu “Lathi” pada saat itu. Padahal, tidak semua lirik lagu berbahasa Jawa atau bahasa daerah bernuansa mistis. Mistik atau tidaknya lagu tersebut dimunculkan oleh fungsi dan tujuannya, tidak selalu karena jenis bahasanya.
BACA JUGA Tingkat Egaliter Seseorang Diukur dari Tempat Duduknya dan tulisan Mukhammad Nur Rokhim lainnya.