Saya hobi menulis namun setengah mampus tetap tak bisa menulis fiksi entah itu cerpen apalagi novel. Hobi ini tentu berangkat dari kesukaan saya membaca karya-karya fiksi. Mulai dari genre romansa remaja seperti di Wattpad, yang Mas Hilman Aziz sebut dalam tulisannya sebagai genre yang kurang atau bahkan tak berbobot, sampai novel-novel sastra karya Gabriel Garcia Marquez, Maxim Gorky, John Steinbeck, dan lain-lain.
Namun, saya tak berniat membahas sejarah membaca saya. Melainkan saya akan mencoba membalas tulisan Mas Hilman Aziz yang berpendapat bahwa kebanyakan novel atau cerita-cerita di Wattpad biasa banget alias itu-itu saja. Di tulisan itu, ia juga mempermasalahkan bahwa genre bucin tersebut sangat laku sementara yang menurutnya berbobot malah tenggelam.
Sebagai orang yang suka membaca akibat novel-novel picisan, saya merasa keberatan dengan pendapatnya itu. Apalagi sebenarnya ada banyak variabel yang tidak disertakan atau dikecualikan dalam tulisannya itu sehingga menurut saya pendapatnya terkesan sinis belaka.
Di tulisannya itu, setidaknya ada empat hal yang lolos dalam usahanya mempermasalahkan selera para pembaca Wattpad yang menurutnya begitu menyedihkan.
Pertama, ia tidak menyertakan faktor usia pembaca dalam pendapatnya yang sebenarnya dalam hal ini penting. Apalagi, Wattpad sendiri mengkategorikan sebuah karya juga berdasarkan sasaran usia pembacanya.
Siapa tahu, karya yang dibaca banyak orang, namun menurut Mas Aziz isinya biasa saja itu memang ditujukan untuk remaja atau bahkan anak-anak. Ditambah lagi, jangan-jangan pengakses Wattpad kebanyakan adalah yang seusia itu sehingga membuatnya semakin wajar.
Kedua, ia berharap bacaan berbobot dari Wattpad kemudian berharap itu akan dibaca banyak orang, are you kidding me? Tapi, katakanlah di sana memang ada karya yang dianggap berbobot tidak sekadar romansa remaja dan malah tidak laku, apakah masih layak berharap seperti itu?
Saya rasa kurang, deh. Soalnya, berharap bacaan yang bagus, meski saya tak tahu yang ia maksud bagus seperti apa, pada platform yang tidak ditujukan untuk itu merupakan kesia-siaan. Lalu, berharap juga bacaan yang berbobot akan memperoleh banyak pembaca bagi saya juga keliru. Bukannya memang sudah banyak pembacanya, ya? Itu pembaca karya Tere Liye, kurang banyak apa coba? Hehehe.
Ketiga, perihal selera mengenai apa pun, apakah pantas untuk diperdebatkan? Ya anggap saja pantaslah karena selera juga bisa dibentuk oleh industri, tapi bukankah terlalu kejauhan untuk mempermasalahkan selera bacaan?
Pilihan bacaan bagaimana pun tidak semata ditentukan oleh selera. Adalah kelewat sembrono jika mengabaikan faktor lain seperti usia, lingkungan, ketersediaan, akses, dan sebagainya.
Selain itu, opini Mas Aziz saya kira begitu pahit dan nakal—menghindari menyebut jahat—meski tak bermaksud buruk dan menggeneralisir. Dalam hal angka minat baca saja, kita ini sudah bernasib malang sebab ditaruh di peringkat rendah walau pada kenyataannya tidak seburuk itu. Atau dengan kata lain, para pembaca yang tak diperhitungkan ini, penampakannya sudah babak bundas tapi kok masih harus terpukul stigma buruk lagi. Apa tidak kasihan?
Keempat, memang tidak boleh nyaman dengan selera bacaan pribadi? Ya, barangkali membaca novel-novel picisan adalah sebuah kenyamanan tersendiri bagi sebagian orang. Di salah satu tulisan, saya pernah menyinggung betapa kegiatan membaca bagi beberapa orang adalah kesenangan semata seperti bermain gim. Maka, melakukan kesenangan secara nyaman itu wajar dan bahkan harus. Maksud saya, membaca sesuai selera sekalipun menurut orang lain itu buruk, bukanlah aib.
Eka Kurniawan dalam salah satu tulisan di blognya menuturkan bahwa “tak ada alasan untuk menganggap bacaan saya (karya Abdullah Harahap, Kho ping Hoo, dan Bastian Tito) sebagai bacaan kelas dua”. Memang beliau sempat minder dengan bacaannya sendiri sampai akhirnya mendapat pemahaman seperti itu. Sebab, sejarah bacaan pada akhirnya merupakan urusan yang begitu personal.
Hal itu tentu berlaku juga pada pembaca Wattpad yang melarisi bacaan-bacaan yang menurut Mas Aziz kurang bergizi. Bisa jadi bagi para pembacanya, karya-karya itu jauh lebih penting dan menggembirakan dibandingkan karya lainnya yang lebih berbobot.
Toh, saya yakin bahwa seiring bertambahnya waktu dan koleksi bacaannya, mereka akan sampai pada rasa haus untuk membaca karya yang lebih bagus lagi dan lagi. Atau, bisa juga mereka ini sedang berada dalam proses pencarian untuk menemukan apa yang disebut Mbak Najwa Shihab sebagai “satu buku” untuk jatuh cinta pada kegiatan membaca.
Oleh karena itu, penyoalan terhadap pilihan bacaan seseorang pada akhirnya menjadi sia-sia belaka. Daripada lebih dalam masuk ke lubang kepahitan ini, lebih baik kita bersyukur dengan kehadiran Wattpad yang menyediakan bacaan secara cuma-cuma. Mengingat, tak semua orang seberuntung Mas Aziz atau siapa pun yang memiliki privilese untuk mengakses buku konvensional, apalagi itu bagus atau bermutu.
BACA JUGA Beberapa Hal Menyenangkan yang Saya Dapati Saat Banjir di Cilacap dan tulisan Fadlir Rahman lainnya.