Membaca tulisan Mahasiswa KKN: Berlagak Pahlawan, padahal Cuma Beban. Pahlawan Sebenarnya ya Masyarakat Desa! selagi menunggu berbuka puasa, jujur saja saya tersinggung. Saya ingin bersantai-santai sampai menunggu waktu buka, eh malah dapat takjil yang sangat panas. Astaghfirullah, bener-bener bikin hampir batal ini tulisan. Untungnya saya masih bisa menahan amarah, dan lebih memilih untuk membalas tulisan tersebut.
Dari paragraf kedua saja sudah sangat problematik sekali ini tulisannya. Langsung judge dan memukul rata kalau semua mahasiswa KKN itu memanfaatkan momentum hanya untuk nyari jodoh, unjuk gigi, dan berlagak pahlawan. Buset, serius ngetiknya begitu banget, coy? Segitu doang citra mahasiswa KKN?
Daftar Isi
Melaksanakan program kerja KKN itu tidak mudah, Coy
Saya mah yakin sekali ini sebenarnya masalah personal pakai banget. Karena nggak mungkin tiba-tiba langsung judge semua mahasiswa KKN kelakuannya kayak begitu, kalau bukan nggak ada masalah. Logis saja. Saya juga dulu melaksanakan KKN, kelompok saya tidak bermasalah dengan desa tempat KKN saya, dan sampai sekarang masih langgeng silaturahminya.
Saya nggak kenal orang bernama Rizqian Syah Ultsani, lalu tiba-tiba pada sore hari ini, saya dikatain berlagak pahlawan dan cuman beban. Allahu Akbar. Siapa yang nggak kaget pas baca judulnya? Saya kira hanya gimik, tapi ternyata isi tulisannya memang senada dengan judulnya. Kalau memang bermasalah dengan mahasiswa KKN di desamu, jangan sekonyong-konyong itu juga menyalahkan semua mahasiswa KKN di Indonesia, coy!
Andai mahasiswa KKN di desamu nggak bikin program yang pas, ya salahkan mereka dan dosen pembimbingnya SAJA. Kalau mau lebih objektif, coba telusuri akar masalahnya. Apakah pure kesalahan mereka yang bikin program nggak pas, atau memang karena ada faktor lain.
Saya bukan bermaksud membela, nih. Tapi, kadang-kadang kita punya program pas KKN itu kendalanya banyak. Mulai dari budget, sampai kadang-kadang kendalanya dari pihak oknum. Oknumnya itu dari semua elemen saat KKN loh, ya. Mau dari kampus, dosen, mahasiswa, sampai desa pun ada. Jadi saat sudah mau melaksanakan program yang sekiranya pas, malah jadi tidak bisa. Mau dipaksakan, takutnya malah jadi jelek.
Komunikasi dua arah itu penting
Sebagai mahasiswa yang pernah merasakan KKN di desa, komunikasi adalah hal yang paling penting. Nomor satu. Kalau tidak ada komunikasi yang terjalin dua arah antara mahasiswa dan penduduk desa, saya nggak yakin bisa bertahan hidup di tempat KKN. Pertanyaan saya, sudahkah anda melaksanakan hal tersebut?
Kalau komunikasi terjalin dengan baik, programnya juga pasti akan berjalan dengan baik. Karena jadi tahu alasannya program tidak masuk akal, tahu kekurangannya. Kalau komunikasinya baik, menurut saya sih tidak akan lahir tulisan yang menghujat para mahasiswa KKN.
Ya jelas dong, kalau orang masih berhubungan baik-baik dan masih komunikasi sampai hari ini, nggak bakalan sampean tega nulis begitu. Walaupun ada kekurangan, pastinya langsung disampaikan saat KKN dilaksanakan. Dari hal yang paling fundamental saja saya rasa sudah gagal, makanya langsung merasa KKN itu hal yang nggak guna.
Kalau komunikasinya pun sudah dicoba berjalan dengan baik, dan memang mahasiswanya batu, pastilah mengerti kalau memang mereka doang yang kocak. Bukan malah langsung dihakimi semua mahasiswa yang KKN di Indonesia itu buruk. Memang nggak pernah komunikasi dengan kelompok lain di desa sebelah? Masa iya bobrok semua mahasiswa yang KKN di sekitar situ.
Baca halaman selanjutnya
Ngerti nggak sih KKN itu apa?
KKN itu singkatan dari Kuliah Kerja Nyata. Ada kata kuliah di dalamnya. Memang KKN ditujukan untuk pengabdian masyarakat oleh para mahasiswa, agar perguruan tinggi tidak seperti menara gading yang tidak dapat dicapai oleh masyarakat umum. Tapi, KKN itu tetaplah perkuliahan. Secara akademik dia terhitung oleh SKS, satuan kredit semester, yang mahasiswa harus memenuhi tersebut agar bisa lulus. Mahasiswa itu masih dalam tahap belajar, mereka nggak dapat bayaran sama sekali.
Jadi, sebelum langsung judge dengan kasar seperti ndakik-ndakik dan bilang ngang ngong, semestinya memang harus tahu dan banyak maklum. Kecuali memang kerugiannya adalah pencemaran nama baik desa, atau terkait materi. Kalau dari tulisan Anda yang saya baca, isinya juga bukan perkara kriminal yang bikin rugi satu pihak.
Lagian ya, saya rasa adanya KKN di desa Anda itu terjadi karena memang pihak perangkat desa sudah menyetujui kerjasama dengan pihak kampus. Kalau sudah mau bekerja sama dari awal, harusnya sudah wanti-wanti sedari awal. Kenapa kaget dan langsung ngatain semua mahasiswa yang melaksanakan KKN di seluruh Indonesia. Dikira yang KKN di Indonesia cuman kelompok di desa Anda?
Kalau emang nggak mau nolongin mereka sedari awal pun, mending nggak usah ditolong. Better. Daripada nolongin terus ujung-ujungnya nyalahin semua mahasiswa. Melakukan hal itu nggak bikin jadi lebih baik. Nggak bikin orang-orang respek juga.
Muhasabah apaan dah
Ini malah pakai mengajak muhasabah segala. Kalau memang salah, ya, salah saja. Saya juga gedeg melihat mahasiswa yang nyebelin, kok. Fyi, saya juga pernah langsung sikat rekan satu kelompok yang kocak saat melaksanakan KKN. Nggak mandang status, kelamin, atau apa pun latar belakangnya. Kalau salah ya salah saja.
Tidak usah berlagak pahlawan, kalau masih menyalahkan orang lain yang tidak ada hubungannya. Salahkan saja mahasiswa yang KKN di tempatmu. Lagian, pahlawan mah nggak ngaku, tapi diakui. Nggak usah bawa-bawa seluruh masyarakat desa. Masyarakat desa tempat saya KKN yang beneran baik dan bantu kelompok saya, itu jauh lebih baik dari pikiran anda yang hasad itu.
Penulis: Nasrulloh Alif Suherman
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA KKN Itu Momen Belajar Jadi Warga, Bukan Ajang Sok-sokan Mengubah Sistem Desa