Ngomong pakai bahasa Palembang tinggal ganti kata yang berakhiran huruf “a” dengan huruf “o”. Udah gitu ngomong sama siapa pun sama aja.
Bahasa manakah yang tergolong sulit dipelajari? Saya yakin, ada di antara kalian yang akan menjawab bahasa Mandarin, bahasa Thailand, bahasa Aceh, bahasa Jawa, hingga bahasa Batak. Semua jawaban tersebut memang ada benarnya, walaupun bagi saya, bahasa yang paling susah dimengerti adalah bahasa kalbu dan bahasa cinta.
Canda, ya, Gaes.
Nah, lantas bagaimana dengan bahasa yang termasuk mudah dipelajari? Menurut saya, jawaban yang paling valid adalah bahasa Palembang.
Daftar Isi
Macam-macam bahasa Palembang
Sebagai informasi, saya adalah seseorang yang memiliki darah campuran Palembang-Jawa Tengah. Sejak kecil, saya tinggal di Kota Pempek sehingga sudah sangat akrab dengan bahasa daerah di sana. Melalui “keakraban” itulah, saya jadi tahu beberapa hal mengenai bahasa Palembang.
Jadi, bahasa Palembang dibedakan menjadi dua macam: bahasa alus dan bahasa sari-sari. Untuk jenis yang pertama, maknanya adalah bahasa Palembang yang lebih “halus” dan biasa digunakan oleh orang-orang yang dihormati. Namun, berdasarkan pengalaman dan pengetahuan saya, bahasa alus kini sudah jarang digunakan. Kalau masih dipakai pun tampaknya hanya berlaku pada daerah-daerah tertentu, bukan di area Kota Palembang.
Di sisi lain, bahasa sari-sari memiliki arti bahasa Palembang sehari-hari. Saat berbicara dalam kehidupan sehari-hari, orang Palembang mayoritas menggunakan jenis yang satu ini. Oleh karena itu, tak heran jika bahasa sari-sari masih banyak dipakai hingga sekarang.
Kapan pun saya berada di Palembang—saat ini saya lebih banyak menetap di Depok—, saya selalu menggunakan bahasa Palembang sari-sari untuk bercakap-cakap. Entah itu kepada teman, tetangga di sekitar rumah, ataupun orang-orang random yang saya jumpai di jalan, saya selalu berbicara menggunakan bahasa sari-sari.
Tidak sulit dipelajari
Ada satu cerita unik mengenai pengalaman saya saat pertama kali mempelajari bahasa Palembang sari-sari. Jadi, meskipun saya berdarah Palembang, sejatinya saya tidak begitu akrab dengan bahasa tersebut ketika saya masih belia. Maklum, di rumah, saya terbiasa menggunakan bahasa Indonesia sehari-hari—bukan yang formal banget, maksudnya. Nah, begitu saya memasuki usia sekolah, otomatis saya mesti mempelajari bahasa Palembang agar lebih dapat bersosialiasi dengan teman-teman di sekolah.
Dan ternyata, proses pembelajaran tersebut sama sekali tidak memakan waktu lama. Mengapa? Ya, karena bahasa Palembang yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari, yang selalu saya terapkan dalam kehidupan bermasyarakat, sungguh mudah dipelajari.
Secara garis besar, kalian hanya perlu mengganti kata yang berakhiran huruf “a” dengan huruf “o”. Sebagai contoh, untuk menyebut “apa”, “berapa”, “siapa”, dan “di mana”, kalian hanya perlu mengubahnya menjadi “apo”, “berapo”, “siapo”, dan “di mano”. Sesimpel itu. Nggak sulit, bukan?
Nah, kemudian, untuk menyebut subjek, orang Palembang biasanya menggunakan “aku” dan “kau”. Akan tetapi, “kau” di sini tidak dilafalkan seperti dalam bahasa Indonesia pada umumnya, melainkan “kawu”—seakan-akan ada huruf “w” di tengah-tengahnya. Lalu, untuk menyebut “kalian”, orang Palembang biasanya memakai kata “kamu”—seolah-olah cuma merujuk pada satu orang. Unik, tetapi tetap saja, gampang dipelajari.
Tidak ada klasifikasi
Selain itu, hal lainnya yang membuat bahasa tersebut mudah dipelajari adalah tidak adanya “klasifikasi” tertentu. Maksudnya gimana? Ya, kalau mengacu pada penuturan dari teman-teman saya yang berasal dari daerah lain, misalnya Jawa, ada bahasa-bahasa tertentu yang memiliki pembagian kelompok lawan bicaranya, seperti bahasa halus, bahasa kasar, dan sebagainya.
Klasifikasi tersebut bertujuan agar sang penutur tidak menyamaratakan penggunaan bahasa ketika berbicara dengan setiap orang. Jadi, bahasa yang digunakan ketika mengobrol dengan teman sekelas maupun ketika berbicara dengan orang tua mempunyai perbedaan-perbedaan tertentu.
Dalam bahasa Palembang, kalian tidak perlu khawatir akan hal itu. Bahasa yang dipakai ketika berbincang dengan orang yang lebih tua maupun yang seumuran sama sekali tidak berbeda. Bagi orang yang hendak mempelajari bahasa tersebut, hal ini tentu sangat memudahkan. Hasilnya adalah semakin sedikit kosakata yang perlu dipelajari dan semakin sedikit pula risiko untuk salah mengaplikasikannya.
Itulah yang persis saya alami selama menjalani masa-masa awal mempelajari bahasa Palembang. Saya hanya perlu memahami “konsep” tersebut, dan terus-menerus melatihnya dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa memakan waktu yang panjang, saya sudah lancar bercakap-cakap menggunakan bahasa sari-sari.
Ketika sudah di Depok pun, yang otomatis membuat saya jadi jarang memakainya, saya juga jadi tidak mudah lupa akan kosakata bahasa Palembang. Alasannya? Ya, karena bahasanya simpel dan sangat gampang untuk dimengerti.
Bahasa Palembang sari-sari kurang menarik ketika dijadikan kamus
Walaupun saya hampir tidak pernah menggunakan bahasa Palembang selama berada di Depok, bukan berarti bahasa tersebut sama sekali tidak pernah singgah lagi di kehidupan saya. Sebab, saya masih ingat sebuah pengalaman menarik di waktu-waktu awal saya berkuliah.
Jadi, sebagai mahasiswa Sastra Indonesia, saya wajib mengikuti satu mata kuliah bernama Perkamusan dan Dokumentasi Bahasa Daerah. Sesuai namanya, mata kuliah tersebut membahas upaya dokumentasi bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Output seperti apakah yang dihasilkan? Kalau mengacu pada pengalaman saya, produk yang dihasilkan adalah kamus bahasa daerah.
Dengan status saya yang merupakan “anak daerah”, saya pun ditunjuk oleh dosen untuk menjadi narasumber. Tugas saya sebetulnya tidak terlalu susah: menerjemahkan sekitar 250 kata bahasa Indonesia ke dalam bahasa daerah saya, lengkap dengan cara penulisan serta pelafalannya. Karena saya orang Palembang, jadilah saya menerjemahkan seluruh kata tersebut ke dalam bahasa Palembang sari-sari.
Lucunya, selama proses pengerjaan tugas, saya jadi makin menyadari level kegampangan bahasa Palembang untuk dipelajari. Pasalnya, dari sekian banyak kosakata, hanya segelintir yang memiliki penyebutan khusus dalam bahasa Palembang. Selebihnya sama saja dengan cara penyebutan dalam bahasa Indonesia.
Waktu itu saya diminta untuk menerjemahkan kata-kata yang berbau tumbuhan, misalnya akar, batang, pohon, rumput, dll. Coba tebak apa bahasa Palembang dari kata-kata tersebut? Ya, sama saja seperti bahasa Indonesia.
Itulah mengapa saya menganggap bahasa sari-sari kurang begitu menarik jika hendak dijadikan kamus. Tidak seperti bahasa daerah lain yang betul-betul memiliki variasi kosakata, bahasa Palembang tidak mempunyainya. Namun, ini murni pendapat subjektif saya, ya.
Tertarik untuk belajar bahasa Palembang? Bosan, kan, belajar memahami bahasa kalbu dan bahasa cinta dari gebetan terus?
Penulis: Bintang Ramadhana Andyanto
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Ngomong Bahasa Palembang Tak Sekadar Mengganti Huruf Vokal ‘a’ Jadi ‘o’.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.