Bagaimana Jika Ternyata Rokok itu Baik?

rokok itu baik

rokok itu baik

Coba pikirkan sudut lain dari seorang perokok aktif, selain kebiasaan merokoknya yang tidak jarang dianggap mengganggu dan menyebabkan munculnya istilah perokok pasif. Entah bagaimana perspektif masing-masing orang, namun bagi saya seorang perokok aktif akan selalu berduit meskipun suka mengeluhkan seret-nya keuangan. Anggapan ini adalah berdasarkan pengamatan saya terhadap orang-orang sekitar saya yang juga perokok aktif.

Ibu saya adalah pemilik toko kelontong. Di toko-toko ibu terdapat satu etalase kecil yang berisi (khusus) dagangan rokok. Rupanya ibu saya sangat melihat peruntungan pasar jika Ibu menjual rokok pada toko kelontongnya. Untuk membantu tenaga Ibu, maka tidak jarang saya ikut melayani pembeli yang datang pada toko kelontong kami.

Berdasarkan perhitungan laba Ibu, barang dagangan yang paling banyak terjual adalah rokok. Lintingan sigaret ini memang selalu cepat habis dalam kurun waktu tertentu, sehingga ketika tengkulak, barang yang selalu banyak dibeli adalah berslop-slop rokok dengan beragam produk. Ya jelas saya heran, pasalnya, kenapa bisa rasa gurih kerupuk kaleng (nan murah meriah) bisa dikalahkan oleh rasa tembakau rokok?

Dan yang lebih mengherankan, para pembeli (yang juga tetangga selemparan batu) Ibu ini lebih milih nge-bon sembako, contohnya telur dan (sebut saja) mi instan! Mereka ini lebih memilih membayar tunai sebungkus rokok yang isinya paling mentok 16 batang. Harga sebatang rokok yang kebetulan rokok (dengan inisial) M* berharga 23.800. Dibanding dengan harga telur 1 kg + 1 mi instan, uang sebegitu masih dapat kembalian gopek. Kok eman sekali, kalau saya.

Ya tidak apa-apa sih, toh uang yang mereka gunakan ya uang mereka sendiri. Selain itu, laba penjualan juga masuk ke kas dompet Ibu hehehe. Saya hanya heran, dengan mereka nge-bon itu berarti mereka adalah kaum bokek, tapi mereka tetap mampu membeli rokok. Apa iya, mereka bisa mengganti nutrisi karbo, protein, dan vitamin, dengan kandungan tar?

Menurut teman saya yang terbilang perokok aktif, rokok itu berdampak baik bagi psikis. Ha gimana, wong sebokek apapun, dia tetap berikhtiar nabung buat beli rokok. Nabung segopek, dua gopek. Segoceng dua goceng ia sisihkan supaya dapat menyesap syahdu rokok favoritnya. Meskipun dari hasil nabung (dalam masa-masa bokek) nya uang hanya terkumpul kurang dari 10.000, setidaknya ia sudah bisa menyesap beberapa batang rokok yang ia beli eceran.

Atau coba pikirkan bagaimana jika ternyata rokok berdampak baik perluasan relasi dan pengganti nutrisi makanan yang selama ini umum kita konsumsi?

Menurut teman saya lainnya yang juga terbilang perokok aktif, dengan rokok ia menjadi remaja yang optimis. Lha, kok? Apa hubungannya? Ternyata (karena rokok) ia jadi lebih termotivasi untuk berpikir optimis bahwa sesungguhnya rezeki itu bisa datang kapan saja. Katanya juga, rokok dapat menjadi media untuk membangun silaturahmi. Yassalam, opo maneh kui hubungane? 

Menurut teman saya, teman seperngopiannya rerata ya didapat dari hasil pinjam meminjam korek, hasil saling berbagi rezeki (rokok), dan sisanya adalah obrolan-obrolan di sela kepul asap rokok yang terasa nyambung. Belum lagi jika obrolan yang nyambung itu ndilalah berujung ke hobi yang sama. Akhirnya terjadilah pertukaran kontak WhatsApp, janjian ngopi bareng, dan terjalinlah pertemanan seperngopian yang baik itu. “Cukup nambah relasi kan?” katanya.

Itu dari teman-teman saya. Beda lagi dengan bapak-bapak (tetangga) yang gemar beli rokok di toko Ibu. Dalam sehari, bapak itu dapat membeli dua bungkus rokok dalam sehari. Padahal catatan ngebonnya nyaris ganti halaman. Dan pada catatan bon itu nyaris tidak ada catatan buat ngebon rokok. Hebat sekali. Akhirnya dengan kekepoan yang tinggi, iseng saya bertanya ke bapak itu saat beli rokok di toko kelontong ibu.

Pak, njenengan niki rokok’e nggebes nggeh” Pak, anda ini rokoknya ngepul (istilah untuk sering merokok). “Lha iyo Mbak, wong nek ora mangan, gantine kui ngrokok. Iso warek wisan” Lah iya Mbak, orang kalau tidak makan gantinya itu merokok. Bisa kenyang sudah.

Mari kita bersama-sama berkontemplasi sejenak. Apa benar kandungan 1.4 MG TAR – 1,0 MG NIKOTIN, 31 MG TAR – 2.2 NIKOTIN, 38 MG TAR – 2.4 MG NIKOTIN (dan entah berapa lagi kandungan tar—nikotin itu pada produk rokok yang lain), dapat menggantikan rasa kenyang karena kandungan protein, vitamin, natrium, asam folat, zat besi, omega (atau entah kandungan apa lagi yang kurang saya sebutkan)?

Kalau pun iya, itu berarti rokok dapat masuk sebagai salah satu jenis sembako, dong? Tapi ya saya tetap pada pendirian saya sih, baik itu iklan komersil di televisi yang suka menampilkan dampak buruk merokok, atau tidak. Bagi saya, rokok tetap tidak bisa menggantikan lezatnya mi ‘segera’ Indomie, atau susu Ultramik, media sosial WhatsApp, Instagram, dan rokok tidak dapat mengalahkan motivasi nabung saya buat beli ponsel baru! (*)

 

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) yang dibikin untuk mewadahi sobat julid dan (((insan kreatif))) untuk menulis tentang apa pun. Jadi, kalau kamu punya ide yang mengendap di kepala, cerita unik yang ingin disampaikan kepada publik, nyinyiran yang menuntut untuk dighibahkan bersama khalayak, segera kirim naskah tulisanmu pakai cara ini.

Exit mobile version