Tidak sekali-dua saya mendengar ada orang bicara begitu. Kata-kata yang seolah memastikan bahwa buku fiksi itu rendah derajatnya dan yang membacanya sudah pasti para pengkhayal kelas berat.
Orang yang bilang “Bacaan kok cuma buku fiksi, pasti kerjaannya mengkhayal mulu!” dengan maksud meremehkan para pembacanya, pastilah belum tahu banyak soal manfaat buku genre ini. Kalau sudah tahu, dia pasti bakal cepat-cepat menceburkan diri ke Samudra Hindia atau mengubur diri di pemakaman terdekat.
Saya kasih tau nih, ya. Membaca buku fiksi itu sangat banyak manfaatnya. Selain manfaat-manfaat mainstream semisal memperkaya sudut pandang, menambah wawasan, dan meningkatkan daya ingat; buku genre ini punya segudang manfaat lainnya. Nanti saya jelasin sebagian isi gudangnya, deh.
Adapun kalau ada yang berpikir membaca buku fiksi itu nirfaedah, barangkali dia saja yang salah. Mungkin dia baca buku-buku fisik berkualitas busuk yang banyak cacat logikanya dan ditulis secara buruk. Sedangkan kalau dia baca buku-buku fiksi bagus, ya katakanlah karya-karya sastra serius semacam novel-novel Ernest Hemingway dan Gabriel Garcia Marquez, sudah pasti dia bakal dapat banyak faedah. Bahkan membaca novel itu sendiri sudah merupakan faedah.
Saya suka kesel gimana gitu ya sama orang-orang yang meremehkan kedudukan buku fiksi. Saya bisa maklum kalau buku fiksi yang dia jelek-jelekkan emang buku ini yang betulan jelek semisal karya-karya Fiersa Besari sebagian penulis wattpad atau buku fiksi yang jatuhnya malah jadi kayak buku religi karena kebanyakan ceramahnya.
Masalahnya, seringkali orang yang meremehkan buku fiksi adalah orang yang bahkan jarang membaca buku ini. Lantas, sudahlah jarang baca buku fiksi, eh dia malah bersikap seolah orang paling tahu mengenainya. Dia larang orang baca buku ini. Dia bilang baca buku ini tidak ada gunanya. Dan lain sebagainya.
Padahal kalau tidak tahu apa-apa mah diam aja ya.
Orang-orang yang bilang buku fiksi itu tidak ada gunanya saya yakin mereka pasti belum baca The Old Man and The Sea-nya Ernest Hemingway dan Bakat Menggonggong-nya Dea Anugrah. Atau mungkin sudah baca, tapi tidak ngerti sama isinya. Ya, kalau begitu sih, berarti mereka yang salah.
Soal kelebihan karya fiksi, Claudia Hummond pernah menulis hal yang menarik seputar itu dalam artikel “Apakah Membaca Buku Fiksi Bisa Membuat Kita Menjadi Manusia yang Lebih Baik?” yang tayang di BBC. Ia menyebut faktor apa saja yang menyebabkan genre ini dapat lebih mengasah rasa empati pembacanya ketimbang bacaan lain.
“Fiksi punya tiga kelebihan,” tulisnya. “Pertama, kita memiliki akses terhadap alam bawah sadar dan pikiran karakter-karakter yang kita baca, tidak demikian halnya dengan karya jurnalistik. Kedua, kita cenderung akan menahan rasa ragu tanpa mempertanyakan ketulusan apa yang karakter-karakter itu katakan. Terakhir, novel memungkinkan kita untuk melakukan sesuatu yang sulit untuk dilakukan dalam kehidupan kita sendiri, yaitu untuk mengamati kehidupan karakter-karakternya selama bertahun-tahun.”
Itu baru sebagian manfaatnya saja. Masih banyak manfaat-manfaat lainnya. Semisal untuk memperparah mengobati patah hati dan memperluas cakrawala berpikir.
Saya kasih tau juga nih, ya. Membaca genre ini adalah kebiasaan orang-orang hebat. Salah satunya Pak Prabowo Subianto. Orang paling hebat sejagat raya menurut para pendukungnya ini pernah tenar karena menyatakan Indonesia akan bubar pada 2030. Usut punya usut, keterangan soal bubarnya Indonesia itu beliau peroleh dari hasil bacaannya terhadap sebuah novel berjudul Ghost Fleet karya P. W. Singer dan August Cole.
Nah, itu kan membuktikan Pak Prabowo suka membaca buku fiksi.
Tapi, bukan maksud saya untuk menjadikan para pembaca sekalian Prabowo-Prabowo baru. Bukan, bukan begitu. Satu Prabowo saja sudah lebih dari cukup untuk dunia yang fana ini. Poin yang ingin saya tekankan adalah buku fiksi bukan bacaan sembarangan atau bacaan kelas murah sebagaimana yang sebagian orang duga.
Buku-buku fiksi yang bagus bukan hanya bisa bikin kepalamu penuh dengan gagasan-gagasan segar dan mencerahkan, tapi juga mengasah kepekaan hatimu.
Kalau tidak percaya, coba deh, mulai sekarang, kamu baca buku-buku Tere Liye dan Boy Candra. Eh, bukan, maksud saya, mulai deh baca buku-buku sastrawan semacam Pramoedya Ananta Toer dan Eka Kurniawan.
Dengan membaca buku fiksi mungkin kamu belum tentu masuk surga, tapi, kalau kamu bertanya apa salah satu wujud “surga dunia” kepada saya, maka saya jawab, salah satunya adalah: ketika membaca buku-buku fiksi (yang bagus). Selamat membaca!