Golput itu urusan Anda. Tapi sebelum mengambil keputusan untuk tidak memilih, pikir lagi masak-masak
Apakah Anda merasa akrab dengan ungkapan “memilih yang terbaik dari yang terburuk”? Wajar sih kalau akrab. Bukankah kita hidup dalam dunia seperti ini? Seolah kita hanya diberi sedikit pilihan tanpa ada alternatif lain. Apalagi ketika tahun politik datang, dan tiba-tiba kita harus kenal dengan ratusan wajah peserta pemilu. Dan di hari pemilihan, kita (dipaksa) harus antre untuk memutuskan wakil dari suara mereka di pemerintahan.
Beberapa orang akhirnya sepakat untuk memilih yang terbaik dari yang terburuk. Namun beberapa memilih jalan lain. Sebuah jalan yang tidak memberikan suara pada siapa pun, dan menolak segala tawaran dari pemilu. Jalan bagi mereka yang tidak percaya dengan para calon wakil rakyat yang berebut dukungan. Jalan tanpa warna-warna identitas parpol yang akhirnya disebut golongan putih atau golput.
Apakah Anda juga berpikir untuk golput karena kehilangan kepercayaan pada sistem? Atau berpikir bahwa “memilih yang terbaik dari yang terburuk” adalah beban moral? Sebelum Anda melakukan hal tersebut, baca artikel ini dulu!
Daftar Isi
Simbol perlawanan atau takut pada masa depan?
Tentu banyak alasan seseorang memutuskan golput. Beberapa menjadikan golput sebagai simbol perlawanan. Menolak segala sistem pemilu dengan alasan beragam. Dari ketidakpercayaan pada sistem, sampai simbol sakit hati calon yang didukung tidak lolos pemilu. Sisanya karena bangun kesiangan dan mager. Saya pikir alasan terakhir ini perlu mendapat perhatian negara.
Namun ada satu alasan yang sepertinya cukup dominan. Ada yang golput karena takut pada konsekuensi. Bagaimana kalau yang dipilih ternyata jadi koruptor? Jangan-jangan malah melanggengkan politik identitas? Atau malah sibuk memperkaya diri dan kelompoknya? Atau ini, atau itu, dan atau atau yang lain.
Terdengar klise, tapi saya memaklumi ketakutan ini. Janji manis di awal kampanye sering jadi kisah pahit selama 5 tahun. Namun yang lebih penting, tidak ada satupun dari kita yang lolos dari keruwetan pemerintahan. Bahkan jika Anda punya privilese untuk kabur ke negara lain, masih ada keruwetan berbeda dari pemerintah yang berbeda. Dan apapun yang terjadi, pemilih tidak bisa serta merta disalahkan.
Negara bekerja sebagai tatanan bersama, dan bukan dari dan demi satu kelompok saja. Idealnya sih gitu yak. Dan kekacauan ataupun kemajuan yang terjadi pada sebuah negara tidak bisa dijatuhkan pada satu kelompok pemilih saja.
Tidak ada konsekuensi moral dari setiap pilihan termasuk golput. Semua akan merasakan kekacauan ataupun kemajuan dari pemerintah yang ada.
Golput yang mandul
Bayangkan skenario ini: seluruh peserta pemilu tidak didukung oleh masyarakat. Sehingga mereka memilih untuk tidak memilih. Akhirnya golput menjadi suara mayoritas dalam pemilu. Alias pemenang pemilu adalah kotak kosong. Nah, apa yang terjadi selanjutnya? Apakah pemilu dianulir? Apakah harus ada pemilu ulang dengan peserta yang berbeda?
Sayang sekali, sistem pemilu di Indonesia bukan seperti itu. Menurut Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2012, pemilihan menjadi sah ketika angka golput adalah kurang dari 50%. Apabila di atas itu, maka pemilihan ulang harus dilakukan atas perintah presiden atas usul KPU. Tentu 50% bukan angka kecil ketika bicara pemilu nasional. Harus ada sekitar 130 juta orang tidak menggunakan hak suaranya agar dilakukan pemilu ulang.
Pertanyaannya, apa yang terjadi pada suara golput hari ini? Tidak ada! Suara golput tidak pernah menjadi faktor penting dalam pelaksanaan pemilu maupun penyelenggaraan pemerintahan. Suara tersebut akan berakhir seperti surat suara kosong ataupun robek, alias hanya menjadi angka yang tidak diperhitungkan.
Golput di Indonesia menjadi cara paling sulit dalam menyuarakan kekecewaan dan protes. Sebab, suara golput lebih mandul daripada aksi langsung seperti demonstrasi. Apalagi ada ancaman hukum bagi pihak yang menyuarakan hal tersebut.
Tapi apa bedanya kampanye golput dan kampanye capres? Ah, tidak perlu kita bahas. Nanti dikira saya menyuarakan hal tersebut.
Hanya sedikit negara yang memperhitungkan golput dalam pemilu. Salah satunya adalah Kolombia. Negara seribu kartel ini membuka kesempatan pada suara golput di legislatif. Ketika angka golput lebih tinggi dibandingkan perolehan para caleg, akan ada posisi kosong atau “voto en blanco” dalam bahasa Spanyol. Kursi kosong ini bisa membuka kesempatan untuk suara golput mendapatkan representasi di parlemen.
Semua negara enggan memperhitungkan golput
Mungkin Kolombia adalah contoh terbaik golput sebagai kritik dan serangan politik. Namun mayoritas negara di dunia cenderung mengabaikan hal tersebut. Mungkin tingginya angka golput bisa dinilai sebagai bentuk protes dan kekecewaan. Namun hanya berhenti di situ saja sih. Tidak ada dampak besar terhadap keabsahan pemilu dan penyelenggaraan pemerintahan. Tapi kenapa banyak pemerintahan mengerdilkan suara golput?
Alasan golput tidak diperhitungkan adalah potensi kekacauan. Jangan lupa, pemerintah tidak hanya menjadi abdi rakyat. Namun bisa diibaratkan seperti korporasi. Maka pemerintah menghindari kemungkinan yang membuat kinerja mereka tidak efisien. Termasuk mencegah golput memengaruhi pelaksanaan pemerintahan.
Apabila golput selalu diperhitungkan, maka proses pemilu akan menjadi pemborosan. Belum lagi potensi kehilangan investor karena ketidakpastian pemerintahan. Jangan lupa, “hasil pemilu menentukan pasar yang investor serbu” kalau kata Bars of Death. Ketidakstabilan dan ketidakpastian macam ini bisa dihindari dengan mempersempit output dari pemilu. Salah satunya adalah mengabaikan suara golput.
Semua pilihan Anda, tapi pilih dengan sadar
Saya tidak bermaksud menyuarakan golput. Tidak pula menjelek-jelekkan hal itu juga. Toh semua keputusan ada di tangan Anda. Namun jangan pernah lupa bagaimana sistem pemilu bekerja. Anda bebas memilih, tapi lakukan dengan sadar.
Anda bisa mendukung salah satu calon, atau tidak memilih sama sekali. Yang pasti Anda akan tetap menanggung konsekuensi dari apa yang dilakukan pemerintah nanti. Sebab, nasib negara tidak pernah sesederhana 5 menit di bilik suara. Dan apa pun yang terjadi di sebuah negara, semua rakyat akan terdampak. Baik positif ataupun negatif, baik memilih atau tidak memilih.
Jadi silahkan nikmati pesta demokrasi yang penuh intrik nanti. Nikmati saja keriuhan sebagai bumbu kehidupan ini. Setelah itu, dunia akan kembali seperti biasa, dan kita akan kembali marah-marah pada situasi yang tak pernah ideal.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Bagi Anak Muda, Golput Itu Pilihan dan Keniscayaan dalam Demokrasi