Arsenal berhasil lolos ke babak 8 besar Liga Champions via adu penalti. Bagi banyak fans sepak bola, adu tos-tosan ini hiburan tersendiri. Namun, bagi lebih banyak fans, adu penalti seperti membuat semua proses menjadi fatamorgana. Momen ini begitu menyiksa mental dan jantung.
Namun, di mata saya, Arsenal “membutuhkan” momen-momen seperti ini. Sebelumnya, saya sendiri bersyukur kepada Tuhan karena The Gunners bisa melawan FC Porto. Bukan karena meremehkan atau bagaimana. Tim seperti Porto adalah tim yang paling mengerti caranya membuat tim yang lebih diunggulkan untuk menderita selama 90 menit.
Dan Porto sama sekali tidak mengecewakan. Selama 2 leg, tim dari Portugal itu membuat Arsenal terlihat hampir tidak layak lolos ke babak 8 besar Liga Champions. Namun, moment of magic dari Martin Odegaard dan Leo Trossard menjadi bukti bahwa tim ini punya segala modal untuk menantang tim besar.
Arsenal membutuhkan segala siksaan mental
Sore hari, pada Selasa (12/03), di momen ulang tahun ke-10 Mojok, seorang kawan bertanya. “Kamu yakin nggak Arsenal bisa juara?”
Saya tertegun selama beberapa detik untuk kemudian menjawab, “Nggak sepenuhnya yakin.” Mendengar jawaban saya, si teman ini malah melengos. Dia merasa The Gunners bisa juara Liga Inggris karena sedang memimpin klasemen.
Bagi fans Arsenal yang sudah mendukung sejak zaman hijrah ke Emirates Stadium, keyakinan untuk juara (lagi) itu bukan perkara yang mudah untuk diucapkan. Hanya “merasa bisa juara lagi” itu saja sudah bentuk takabur. Bukan karena pesimis, tapi ini sikap realistis dari fans yang sudah kenyang dengan kekecewaan.
Kami semua memahami bahwa masalah tim ini bukan di ranah teknis. Semua masalah Arsenal ada di dalam kepala masing-masing pemain. Adalah perkara mental yang seperti menjadi tembok besar bagi sebuah big leap yang diidamkan oleh semua fans. Oleh sebab itu, saya menyambut segala ujian mental yang ada. Ya semata karena tim ini perlu selalu “dihancurkan” untuk kemudian dibentuk kembali ke menjadi konsep terbaik.
Baca halaman selanjutnya: Arsenal memang butuh “disiksa” oleh lawan.