Arsenal bermain “selayaknya” Arsenal. Saya menemukan, mungkin, lebih dari 10 akun yang memprediksi bahwa di Liga Champions, The Gunners akan berbeda. Apakah karena lawan mereka adalah Bayern? Tidak juga. Sebagian besar memprediksi, yang akan menyulitkan tim dari London Utara ini adalah dirinya sendiri, termasuk momen penting Bukayo Saka di ujung laga.
Seperti sebuah plot drama usang yang sudah dimainkan ribuan kali, Arsenal di Liga Champions kehilangan banyak hal. Mereka tampil tidak seperti tim yang penuh percaya diri dan perhitungan seperti di Liga Inggris. The Gunners meninggalkan banyak bekal untuk menang di rumah. Dan yang paling mereka lupakan adalah bermain dengan ketenangan.
Tulisan ini lahir bukan untuk memuaskan ego berdebat tentang “diving” Bukayo Saka di ujung laga. Yah, meskipun, memang, momen antara Saka dan Neuer memang debatable. Dan di Twitter, saya sudah menegaskan bahwa semua opini bisa saja benar. Apakah Saka “mencari” penalti? Bisa jadi. Bukankah Neuer yang kaki kanannya menjegal? Mungkin saja.
Tulisan ini adalah sebuah catatan, setidaknya penting bagi saya, yang sudah pernah menyaksikan Arsenal menderita dengan agregat 10-2 melawan Bayern. Meski gagal menang, tim yang biasanya menjadi pecundang ini, setidaknya sudah naik level. Izinkan saya menjelaskannya secara ringkas.
Pray for Bayern, pray for Arsenal
Sebelum laga, banyak akun parodi yang memainkan tagar pray for Bayern. Seakan-akan, raksasa Bavaria itu akan terbantai di Emirates. Yah, lawakan mereka bukannya tidak beralasan melihat catatan performa Bayern di Bundesliga. Namun, bagi saya, “pray for” juga berlaku untuk Arsenal dan Bukayo Saka.
Juga sebelum laga, saya sudah “curiga” bahwa akan ada perbedaan besar antara Arsenal yang bermain di Liga Inggris dengan yang tampil di Liga Champions. Saka dan kawan-kawan hampir selalu “mendominasi” di Liga Inggris. Namun, mereka bermain seperti “tanpa kepala” di babak pertama melawan Bayern.
Tim Stillman, jurnalis yang sering menulis soal Arsenal Ladies, menggunakan kata “immature” untuk menggambarkan performa tim ini. Saya sangat suka dengan kata itu, yang artinya tidak dewasa. Cocok sekali menggambarkan betapa skuat ini naif ketika sempat unggul 1-0 di awal babak pertama dan Ben White membuang peluang yang kata Arteta, menjadi momen paling krusial di laga ini. Ya, bukan “diving” Bukayo Saka, ya.
Komentator laga menggunakan 2 istilah yang jitu menggambarkan perbedaan kedua tim ini. Katanya, melihat Arsenal bermain, selalu ada rasa “festive” atau meriah. Sementara itu, Bayern bermain dengan kekhasan seseorang yang dewasa dan matang, yaitu “calm”. Komentar itu muncul ketika skor masih 1-1 dan tidak lama Bayern unggul 1-2.
Pray for Arsenal adalah sebuah harapan, dari seorang fans, yang tidak mungkin berhenti berharap. Saya sudah mengikuti tim ini sejak Nicolas Anelka menjadi “alien” di Liga Inggris dan melihatnya memborong piala bersama Real Madrid. Dan, melihat perkembangan tim ini, dengan segala turbulensinya, terutama di era Emirates, saya bahagia masih bisa berharap.
Baca halaman selanjutnya: Arsenal seharusnya bisa mengalahkan Bayern, tinggal mau atau tidak.