Sebagai guru baru, satu hal yang paling sering membuat saya geleng-geleng kepala adalah kenyataan bahwa guru selalu jadi pihak yang disalahkan. Entah apa pun masalahnya, ujung-ujungnya selalu bermuara ke guru.
Misalnya, ketika ada murid tidak naik kelas, nilai jeblok, atau siswa malas belajar, semuanya seolah-olah menjadi tanggung jawab penuh seorang guru. Seakan menjadi jobdes bahwa selain mendidik, profesi ini juga harus siap menanggung semua kesalahan sistem pendidikan.
Coba diingat-ingat, sudah berapa kali kurikulum berubah, tapi yang disorot tetap saja guru. Mau itu Kurikulum 2006, 2013, atau Kurikulum Merdeka, ketika murid tidak mencapai standar yang ingin dicapai, guru disalahkan karena dianggap tidak becus mengajar. Bahkan tidak ada yang menanyakan bagaimana perjuangan mereka mempersiapkan bahan ajar dengan fasilitas terbatas, atau bagaimana mereka menenangkan murid yang hampir menyerah belajar.
Tiap tahun, muncul jargon baru, istilah baru, bahkan pelatihan dan workshop yang katanya bisa “meningkatkan kualitas pendidikan”. Tapi di lapangan, realitasnya tetap sama: ekspektasi makin tinggi, tanggung jawab makin berat, sementara ruang gerak guru tetap sempit. Pada akhirnya, ketika semua teori pendidikan itu gagal diterapkan dengan sempurna, yang pertama dituding publik bukan sistem, bukan kebijakan, tapi guru. Iya, selalu guru.
Kenapa selalu guru?
Saya juga heran, entah sejak kapan apa-apa kok menyalahkan guru. Murid nggak bisa baca? Guru yang disalahkan. Nilai ujian jelek? Mereka juga. Ada siswa malas belajar karena selalu diluluskan? Lagi-lagi guru. Padahal, ada banyak faktor lain yang membentuk situasi ini: lingkungan belajar, peran orang tua, hingga sistem evaluasi yang nggak jelas arah tujuannya.
Sistem pendidikan kita memang suka melempar masalah ke guru, tapi jarang sekali memberi mereka ruang untuk benar-benar berkembang. Padahal, jika mau melihat realitas di lapangan, ada banyak guru yang harus memutar otak untuk membuat kelasnya tetap hidup. Belum lagi menghadapi murid yang ogah-ogahan, atau orang tua yang cuek terhadap perkembangan anaknya.
Bahkan ketika ada siswa SD yang belum bisa membaca, mereka diminta tanggung jawab penuh, tanpa pernah ada refleksi: selama di rumah, apa orang tuanya pernah mendampingi belajar?
Bikin konten salah, nggak bikin konten dianggap nggak mengikuti zaman
Di era media sosial ini, tentu bukan rahasia lagi jika banyak pengajar yang mengepakkan sayapnya di bidang kreator. Mereka membuat konten edukatif di media sosial. Niatnya berbagi metode belajar yang menyenangkan. Atau sekadar release stress. Tapi respons yang didapat adalah cibiran. “Guru kok malah bikin konten, kapan ngajarnya?”
Lantas, apakah guru yang jadi konten kreator merusak profesinya? Bagi sebagian orang, jawabannya iya. Mereka menilai bahwa guru yang menjadikan siswa sebagai bahan konten melanggar etika dan hak anak. Ada yang menampilkan wajah siswa, memperlihatkan nilai ujian, bahkan membuat siswa berperan dalam drama untuk kebutuhan video. Padahal, dalam konteks pendidikan, siswa bukan bahan eksperimen apalagi alat produksi konten.
Di sisi lain, ada juga yang melihat fenomena ini secara positif: bahwa guru-guru tersebut sedang mencoba menyesuaikan diri dengan zaman. Mereka ingin menjadikan pembelajaran lebih menyenangkan dan relevan. Tapi ya, seperti kata pepatah, niat baik pun bisa disalahpahami.
Ironisnya, ketika hanya fokus di kelas, mereka tetap disalahkan. Dianggap nggak mengikuti zaman. Dituntut harus bisa bikin ini-itu. Iya, hari-hari ini, guru bukan cuma harus bisa ngajar, tapi juga wajib jago desain di Canva, paham algoritma media sosial, dan fasih bikin konten. Kalau nggak, dibilang “nggak update”. Pun ada juga tuntutan administrasi soal pembuatan media pembelajaran.
Lucunya, kalau sudah jago bikin konten, malah dituduh mencari ketenaran. Jadi serba salah. Ketika berinovasi dibilang cari panggung, ketika pasif dibilang nggak punya semangat mengajar. Serba salah. Ampun.
Antara ideal dan realitas
Di atas kertas, menjadi guru terdengar mulia. Mendidik anak bangsa, mencerdaskan generasi emas, mengubah masa depan lewat ilmu. Edyan. Wapik tenan. Tapi di dunia nyata, profesi ini lebih sering terasa seperti meniti jalan antara idealisme dan realitas.
Menjadi guru di Indonesia hari ini adalah pekerjaan yang nyaris mustahil: dituntut profesional tapi digaji seadanya, diminta berinovasi tapi dibatasi birokrasi, dikejar target tapi tetap harus sabar mengerjakan banyak pekerjaan.
Karena itu, apa pun kurikulumnya—entah Merdeka, Darurat, atau apa pun nanti namanya—selama sistemnya masih suka menyalahkan satu pihak atas semua hal, pendidikan kita tidak akan benar-benar maju. Sebab, sebelum murid bisa merdeka belajar, mungkin yang harus lebih dulu merdeka adalah guru itu sendiri.
Penulis: Kevin Nandya Kalawa
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Sebaiknya Kita Berhenti Menganggap Guru Itu Profesi Mulia, agar Mereka Bisa Digaji Jauh Lebih Layak
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
