Apa pun Kejahatan di Surabaya, Orang Madura Selalu Dijadikan Kambing Hitam

Apa pun Kejahatan di Surabaya, Orang Madura Selalu Dijadikan Kambing Hitam

Apa pun Kejahatan di Surabaya, Orang Madura Selalu Dijadikan Kambing Hitam

“Tuhan sudah menciptakan selat, malah dibangun jembatan”

Kalimat di atas sedikit banyak menggambarkan kekesalan teman saya terhadap beberapa aksi kriminal yang belakangan terjadi di Surabaya. Menurutnya, sejak dibangunnya Jembatan Suramadu yang menghubungkan Kota Surabaya dan Pulau Madura, angka kriminalitas di Surabaya semakin meningkat. Mulai dari aksi curanmor, begal, perampokan, maling besi, dan masih banyak lagi. 

Prasangka seperti ini tidak hanya dimiliki teman saya, melainkan juga kebanyakan warga Surabaya. Setiap ada berita kejahatan di Surabaya, pikiran masyarakat selalu menjurus ke sana. Contohnya ketika beberapa waktu lalu viral video yang menunjukan sebuah bangku taman yang terbuat dari besi dipotong bagian sandaran tangannya. Postingan video tersebut penuh dengan komentar seperti, “Pasti kelakuan orang meksiko” atau “Ulah warga negeri seberang itu” dan sejenisnya. Entah benar atau tidak, yang jelas saya jadi ikut bertanya-tanya. Memangnya benar kejahatan di Surabaya banyak dilakukan orang Madura?

Diawali dari kejadian nyeleneh

Pertama, prasangka buruk yang sudah terbangun saat ini diawali dari beberapa kejadian pencurian yang dianggap cukup nyeleneh di mata orang Surabaya. Bila membahas soal aksi pencurian, targetnya pasti tidak jauh-jauh dari barang seperti laptop, handphone, perhiasan, dan motor. Herannya, beberapa tahun kebelakang marak pencurian barang-barang yang terbuat dari besi. Seperti tiang listrik PLN, besi penambat rel kereta api milik KAI, hingga baut-baut di Jembatan Suramadu. Setelah para pelakunya ditangkap dan ditanya alasannya, ternyata untuk dijual kembali atau disalurkan ke pedagang besi bekas. 

Masalahnya, profesi pedagang besi bekas sendiri memang sudah sangat melekat pada identitas Warga Madura. Banyak yang menjadi saudagar kaya dari hasil menjual besi bekas. Bukan berarti mereka ini kaya dari hasil curian ya. Tetapi hal-hal inilah yang akhirnya dijadikan dasar oleh Warga Surabaya untuk melakukan cocoklogi hingga akhirnya muncul stereotip buruk.

Kedua, perilaku para pencuri ketika dipergoki oleh warga. Jawaban mereka ini sungguh mengherankan dan di luar nalar. Contohnya ketika ada yang terpergok berusaha mencuri tiang besi. Mereka membawa-bawa nama agama dan beranggapan bahwa tiang tersebut milik Gusti Allah. Sehingga bagi mereka, wajar kalau diambil karena bukan milik negara.

Perilaku seperti ini lagi-lagi dikaitkan dengan orang Madura karena memang mereka ini sangat islami. Banyak pondok pesantren di sana. Mulai dari desa hingga kota. Bahkan sudah menjadi pemandangan wajar ketika di tempat umum melihat warga madura beraktivitas di luar rumah menggunakan sarung dan kopiah. Kedua hal diatas bisa dibilang cukup unik sampai melekat di pikiran. Dampaknya, bila ada tindak pencurian serupa, orang Madura lah yang disalahkan. 

Padahal ya, jelas nggak nyambung.

Klaim terhadap orang Madura tak bisa dijadikan dasar

Stereotip buruk yang muncul ini dipertebal oleh persepsi masyarakat Surabaya terhadap perilaku orang Madura sehari-hari yang bisa dibilang cukup berbeda. Salah satu contohnya adalah maraknya toko kelontong yang dijaga oleh orang Madura dan mampu buka 24 jam. Kelakuan mereka ketika menjaga toko juga kerap mengundang tanda tanya. Seperti tampak sering melayani pelanggan sambil ngobrol lewat telpon. Perilaku ini pernah saya bahas dalam tulisan saya yang berjudul “Menguak Alasan Orang Madura Selalu Telponan Saat Jualan”. 

Padahal kalau dilihat di beberapa laporan berita, banyak sekali kejadian kejahatan di Surabaya ya dilakukan oleh warganya sendiri. Beberapa bahkan dilakukan oleh orang terdekat seperti keluarga dan tetangga. Ya memang ada sih orang Madura juga, tetapi begitu juga dengan warga-warga daerah lain sekitar seperti Gresik dan Sidoarjo. Lagipula, daripada fokus dengan latar belakang pelakunya, lebih baik fokus dengan perilaku kejahatan yang diperbuat dan memastikan perilaku tersebut tidak terulang kembali. 

Intinya, klaim bahwa orang Madura menyebabkan angka kriminalitas di Surabaya naik tak bisa dibenarkan. Klaim tadi sepertinya didasari oleh stereotip yang terlanjur dibentuk oleh warga Surabaya sendiri. Perbedaan perilaku yang ada tidak bisa dijadikan dasar untuk memandang berbeda golongan lain, apalagi sampai memunculkan stereotip buruk.

Penulis: Arief Rahman Nur Fadhilah
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Akui Saja, Kita Ini Iri dengan Madura

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version