Menjadi orang tua memang nggak pernah mudah. Di setiap tahapan tumbuh kembang anak, pasti ada saja tantangannya. Hal ini sering kali bikin para orang tua yang kurang membekali diri dengan ilmu parenting jadi bingung. Tak jarang, orang tua malah ikutan sewot sendiri menghadapi rengekan buah hatinya yang nggak kunjung diam. Maka nggak heran kalau sampai muncul istilah “terrible two” atau “threenager” yang menggambarkan tingkat kesukaran mendidik anak yang mau nggak mau kudu dijalani orang tua di setiap fase pertumbuhan anak.
Mulai dari drama menyusui, lika-liku MPASI, hingga perkembangan motorik kasar dan halus kerap bikin orang dewasa—khususnya para orang tua baru—menjadi was-was. Eh, ternyata ada suatu masa lain yang juga bikin orang tua overthinking, lho. Tahapan perkembangan anak tersebut dinamakan dengan fase falik. Nah, supaya nggak terlampau panik dan salah menanganinya, alangkah baiknya kita mengenal apa itu fase falik dan bagaimana cara mengatasinya.
Sebagai manusia, tentu anak mengalami apa yang dinamakan perkembangan dan pertumbuhan. Hal tersebut tak lepas dari perkembangan psikoseksual yang wajar dialami oleh setiap manusia normal. Dalam teorinya, Sigmund Freud yang merupakan ahli dan pendiri aliran psikoanalisis dari Austria, membagi sejumlah tahap perkembangan anak. Secara garis besar, tahapan tersebut terdiri dari fase oral, fase anal, fase falik, fase laten, dan fase genital.
Fase falik ini terhitung jarang disinggung di Indonesia. Mungkin karena tahap perkembangan ini terlihat sebagai sesuatu yang nggak lazim lantaran pada beberapa anak ditemukan fakta bahwa mereka senang memainkan alat kelaminnya. Peristiwa ini biasanya terjadi ketika anak berusia sekitar 3 sampai 6 tahun.
Pada kisaran umur tersebut, anak mulai belajar bahwa ia menemukan kesenangan dari kegiatan menstimulasi alat kelaminnya. Hal ini biasa dilakukan anak dengan menyentuh ringan, menghimpit kedua kakinya, maupun menggesekkan alat kelamin miliknya dengan benda lain.
Sekilas, penjelasan tersebut terdengar menakutkan. Terlebih pendidikan seksual sejak dini masih belum banyak menjamah seluruh lapisan masyarakat sehingga tak sedikit yang masih menganggap pelajaran seksual tersebut tabu. Nyatanya, perilaku tersebut merupakan hal yang lumrah karena artinya seorang anak telah mampu mengerti perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari segi fisik. Namun, tentu saja orang tua tetap harus menaruh perhatian akan tindakan anak tersebut agar nggak berlanjut menjadi kebiasaan yang buruk.
Satu hal yang perlu menjadi catatan, bahwa perilaku anak tersebut bukan didasarkan pada hasrat seksual sebagaimana yang mungkin dialami oleh orang dewasa. Yang terjadi adalah anak tengah mengalami masa di mana mereka memiliki rasa ingin tahu serta mengeksplorasi tubuhnya.
Anak-anak membutuhkan nama untuk setiap bagian tubuhnya. Makanya penting bagi orang tua untuk menyebutkan nama alat kelamin yang benar seperti vagina untuk anak perempuan dan penis untuk anak laki-laki, bukannya mengganti dengan istilah yang aneh-aneh seperti titit atau burung. Di samping itu, cara lain untuk menghadapi anak yang tengah mengalami fase falik adalah sebagai berikut:
#1 Kulik dulu penyebabnya
Langkah pertama adalah cari dulu akar permasalahannya. Sebab, ada kemungkinan di mana si kecil bukan mencari rasa senang dari memainkan alat kelamin mereka. Bisa saja saat itu anak sedang merasa gatal di area tersebut yang bisa ditimbulkan karena ada benda asing, ruam, atau rasa tak nyaman akibat celana dalam yang bukan berbahan baku serat natural. Namun, apabila nggak ada keanehan secara kasat mata, akan lebih baik jika anak segera diperiksakan ke dokter untuk penanganan yang tepat jika ternyata rasa gatal tersebut dipicu oleh adanya infeksi jamur.
#2 Jangan keburu teriak dan marah
Reaksi terkejut dengan berteriak mungkin adalah hal yang paling sering dijumpai. Akan tetapi, manakala melihat anak sedang menstimulasi alat kelaminnya, tahan dulu hasrat untuk menjerit dan marah-marah. Pasalnya, bukannya anak akan bercerita secara terbuka, malahan mereka akan diam seribu bahasa karena telanjur ketakutan. Hal ini disebabkan anak-anak membentuk persepsi bahwa kemarahan orang tua sama artinya dengan mereka melakukan kesalahan.
Lebih berbahaya lagi jika anak secara sembunyi-sembunyi tetap melakukan hal tersebut tanpa sepengetahuan orang tua karena takut dihukum. Lebih baik tanyakan dulu dengan lembut alasan mereka bermain-main dengan area sensitifnya itu.
#3 Jelaskan alat kelamin dengan bahasa yang ringan
Di samping menghindari penamaan alat kelamin dengan kata pengganti yang aneh-aneh, orang tua berperan untuk menjelaskan fungsi dari alat kelamin anak. Tentunya, orang tua harus menyesuaikan bahasa mereka dengan kosakata yang bisa dipahami oleh anak-anak dalam kisaran usia mereka.
Beri tahukan juga bahwa nggak semua orang boleh menyentuh area yang tertutup pakaian dalam untuk menghindari pelecehan seksual terhadap anak. Selain itu, paparkan risiko yang mungkin terjadi kepada diri anak apabila mempunyai kebiasaan menyentuh alat kelaminnya. Misalnya, bisa terkena penyakit kulit maupun kelamin karena tangan dan benda lain yang bersentuhan dengan alat kelamin mereka nggak bersih dan banyak kuman serta bakteri menempel yang tak terlihat oleh mata telanjang.
#4 Alihkan dengan kegiatan lainnya
Supaya nggak keterusan menjadi suatu kebiasaan, tips berikutnya yang dapat dijalankan orang tua adalah dengan mengalihkan perhatian anak ke aktivitas lain yang jauh lebih bermanfaat. Saat ini, banyak sekali event playdate yang diadakan di berbagai kota untuk mengasah kreativitas anak maupun membuka kesempatan untuk mendapat teman baru.
Akan tetapi, bukan artinya kegiatan tersebut nggak dapat diterapkan di rumah. Orang tua bisa saja membuat anak sibuk dengan melibatkan mereka dalam kegiatan domestik yang dibalut seperti permainan. Misalnya, mengajak anak mengaduk adonan roti seolah sedang mengikuti kelas memasak. Ide lainnya yakni dengan cara membujuk anak supaya bersedia membantu ayah mencuci kendaraan atau menolong ibu menyiram tanaman karena biasanya anak-anak paling suka bermain dengan air.
Itulah sedikit penjelasan mengenai fase falik pada anak dan cara menghadapinya. Menjadi orang tua dan mendidik anak adalah proses belajar seumur hidup. Semoga kita semua bisa melewati proses ini dengan baik. Semoga berhasil!
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Memahami Arti Tangisan Bayi, Calon Orang Tua Mesti Tahu.