Jogja dan angkringan memang sudah seperti satu paket wajib yang nggak terpisahkan. Bagi mahasiswa rantau, angkringan adalah penyelamat di tanggal tua. Sementara bagi wisatawan, melahap nasi kucing di pinggir jalan bisa jadi kenangan nggak terlupakan.
Namun kalau boleh jujur, nggak semua angkringan diciptakan setara. Di balik segala cerita dan popularitasnya, ada beberapa jenis angkringan yang sebenarnya patut dihindari. Bukan cuma soal rasa yang zonk, melainkan lebih ke nilai yang nggak sebanding. Jadi, ketimbang menyesal dan merusak citra malam romantis di Jogja, sederet angkringan model berikut nggak perlu disambangi.
#1 Angkringan dengan display panganan terbuka pantas dicoret dari daftar langganan
Angkringan memang street food. Namun, nggak lantas urusan kebersihan boleh dikesampingkan. Angkringan yang membiarkan semua dagangannya terbuka tanpa tutup plastik bening, sudah semestinya dihapus dari destinasi.
Makanan yang nggak tertutup, apalagi di tepi jalan, sangat rentan dihinggapi lalat atau kena debu dan polusi dari kendaraan yang lalu-lalang. Absennya faktor higienis ini bisa jadi patokan bahwa standar kebersihan lainnya juga diabaikan. Bukan nggak mungkin, peralatan saji atau masak yang dipakai juga kotor. Kalau sudah begitu, niat cari nikmat malah berujung adegan perut melilit.
Baca halaman selanjutnya: Angkringan yang tidak sediakan pencapit…
#2 Penjual malas sediakan pencapit, angkringan auto masuk blacklist
Masih perkara kebersihan, ada satu hal kecil yang langsung bikin angkringan Jogja wajib masuk blacklist. Apalagi kalau bukan kemalasan penjual menyediakan pencapit makanan. Sungguh, ini adalah dosa besar! Pasalnya, banyak pembeli suka pilih-pilih atau bolak-balik gorengan dengan tangan telanjang.
Bayangkan kalau sebelumnya mereka habis memegang sesuatu atau menjilat jarinya. Praktis, makanan ikut terkontaminasi. Nggak cuma soal jijik secara visual, tapi ini sudah menyangkut risiko kesehatan. Kalau kebersihan selevel ini saja diacuhkan, mending tinggalkan. Cari tempat lain yang menghargai kesehatan pelanggan.
#3 Ingat, jangan pernah melirik angkringan Jogja yang terlalu turistik
Filosofi angkringan itu sejatinya merakyat. Nah, kalau ada angkringan Jogja yang letaknya di spot wisata utama, mendingan tahan lapar sebentar. Soalnya, angkringan jenis ini kerap mematok harga yang nggak wajar.
Paling menyebalkannya, seringnya pembeli merasa kena jebakan lantaran nggak ada daftar harga yang transparan. Mereka baru sadar saat membayar, lalu kaget karena totalnya nggak jauh beda sama makan di kafe. Pengalaman yang diharapkan menyenangkan, berakhir penuh dendam gara-gara harus bayar makanan dan es teh yang overpriced.
#4 Angkringan Jogja terlalu ramai malah jadi gagal bersantai
Keunggulan utama angkringan Jogja adalah tempat makan hemat sekalian ngobrol santai. Kalau mood telanjur rusak gara-gara pengalaman kuliner yang buruk, otomatis malam di Jogja jadi terasa hambar.
Salah satu biang keroknya yaitu suasana angkringan yang terlalu bising. Entah karena di pinggir jalan raya atau memang angkringan itu terlalu hype. Pokoknya, keriuhan itu bikin acara ngobrol jadi ajang adu teriak biar terdengar lawan bicara.
Selain itu, angkringan yang ideal harus punya penerangan temaram yang syahdu tapi cozy. Levelnya kudu tepat. Nggak boleh terlalu gelap sampai pembeli nggak bisa menilai kebersihannya, tapi juga bukan yang terang benderang macam minimarket.
Kalau angkringan Jogja terlalu meriah, baik dari segi atmosfer atau pengunjung, waktu bersantap jadi terasa seperti diburu-buru. Jelas, kondisi ini menciderai nilai sejati dari angkringan Jogja.
#5 Anti melipir ke gerobak angkringan yang bukan punya perorangan
Angkringan yang dikelola perorangan biasanya dimasak sendiri oleh pemiliknya dan punya resep rahasia yang menghasilkan rasa autentik. Khas, sulit ditiru tempat lain, dan selalu bikin kangen sesuai gambaran Kota Jogja. Pun biasanya sajiannya selalu fresh.
Sebaliknya, kalau angkringan itu cuma disetor oleh pemasok atau bagian dari manajemen besar, biasanya rasa hidangannya jadi nggak istimewa. Semuanya jadi seragam, hambar, dan sekadar mengandalkan tampilan. Intinya, pembeli nggak akan mendapat rasa yang benar-benar kena di lidah dan punya sentuhan Jogja yang kuat.
Berburu angkringan di Jogja memang butuh kejelian. Namun kalau masih kesulitan, cara gampangnya yakni cek kesediaan tungku masak di gerobak. Soalnya makanan yang dimasak pakai tungku arang pasti akan lebih sedap. Bahkan, sekalipun itu hanya masak air untuk menyeduh teh. Jadi, kalau gerobak angkringan itu ogah repot dan cuma pakai kompor gas atau pemanas listrik, lebih baik langsung putar balik.
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Bagi Saya, Angkringan Jogja Itu (Kini) Overrated, Tidak Perlu Dipuji Sampai Setinggi Itu
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
