Andai Saya Jadi Presiden Selama Sehari, Saya Akan Melakukan Dobrakan Ini

jadi presiden selama sehari lambang negara jokowi nasionalisme karya anak bangsa jabatan presiden tiga periode sepak bola indonesia piala menpora 2021 iwan bule indonesia jokowi megawati ahok jadi presiden mojok

indonesia jokowi megawati ahok jadi presiden mojok

Ketika membaca ulang judul ini, saya selalu teringat mimpi konyol ketika masih SD. Dulu saya membayangkan bahwa nikmat sekali jadi presiden meskipun sehari saja. Bisa tinggal di istana negara, makan enak, dan memenjarakan orang dan guru yang saya benci. Ah ingin sekali kembali ke masa SD. Bebas bermimpi dan belum tahu jerat struktur hierarki sosial.

Itu kan dulu, ketika saya masih berpikir berpegangan tangan dengan perempuan menyebabkan hamil. Di usia yang sudah hampir kepala tiga ini, mimpi jadi presiden selama sehari terasa percuma. Hampir-hampir tidak ada manfaat selayaknya KKN online dan aksi filantropis influencer.

Saya menyadari, presiden Indonesia hanyalah satu bagian kecil dari pemerintahan. Meskipun bergelar “pemimpin negara”, semua tetap kembali ke tangan rakyat melalui perwakilan. Namanya juga negara demokratis. Kalau mimpinya adalah jadi presiden Korea Utara sehari, sudah saya luncurkan semua arsenal nuklir milik negara Juche ini ke seluruh dunia. Maklum, mimpi distopian masih menarik bagi saya.

Kembali ke urusan presiden Indonesia, saya rasa tidak banyak yang bisa dilakukan dalam sehari. Apalagi mengubah sebuah produk hukum yang harus melalui persetujuan DPR. Apa sih yang bisa diharapkan dari sistem pemerintahan yang memuja fotokopi KTP dan menanti pertolongan KitaBisa?

Tapi, saya melihat sedikit kemungkinan menarik. Sebagai simbol negara (katanya), apa yang terucap dari bibir seorang presiden bisa memberi dampak signifikan. Minimal lebih berdampak daripada jemari saya saat menulis ini. Kalau saya jadi presiden selama sehari, ada sedikit kesempatan untuk memicu geger gedhen di negeri PPKM ini.

Pesan sate 50 tusuk

Sebagai individu yang lahir di tengah keluarga Sukarnois, saya pikir lucu juga untuk mencoba hidup seperti bapaknya Megawati, eh, Bapak Proklamator ini. Dan seturut dengan apa yang dicontohkan Bung Karno, saya ingin pesan 50 tusuk sate ayam sebagai perintah pertama. Serupa dengan apa yang presiden pertama RI di sore pertama sebagai presiden de facto.

Yah setidaknya saya bisa menikmati privilege seorang presiden dalam sehari. Sebab, saya tidak punya cukup waktu untuk menyebar benih katak, lesehan menanti tahun baru dengan sarungan, atau membuat hukum untuk efisiensi investasi serta menyunat hak pekerja. Jadi realistis saja sih foya-foyanya.

Mengaudit ulang PNS

Ini adalah balas dendam saya terhadap beberapa aparatur sipil negara yang memilih game Zuma daripada mengurusi berkas saya. Sebab saya tahu, presiden punya hak prerogatif untuk memecat dan mengangkat PNS. Nah, ini kesempatan saya untuk menyunat beban negara.

Mungkin satu hari ini bisa jadi shock therapy bagi para PNS yang luntang-lantung. Saya ingin mengaudit ulang para PNS ini, dan memecat aparat yang tidak punya integritas selain kepada game jadul ini. Kalau perlu, saya memerintahkan adanya sistem KPI layaknya perusahaan swasta untuk menilai para PNS ini. Harapannya bangsa Indonesia bisa mentas dari sikap menyebalkan aparat yang menuntut fotokopi KTP namun malas-malasan mengurus berkas fisik.

Jadi presiden selama sehari ternyata menyenangkan.

Membubarkan staf milenial

Sebagai staf khusus bentukan presiden, maka saya punya kendali penuh terhadap staf milenial. Nah, saya sebagai presiden juga punya kemampuan untuk membubarkan staf yang memang fenomenal ini. Bukan fenomenal karena capaian prestasi, tapi karena fungsi dan kinerja mereka yang terlampau ra mashok ini!

Setidaknya saya bisa menghemat anggaran negara juga. Serta ikut menekan rasa malu pemerintah ketika staf milenial ini membuat statement. Yah lumayan lah, setidaknya esok hari setelah saya lengser dari presiden ada yang berubah. Setidaknya esok hari kita sebagai rakyat yakin uang pajak ini tidak masuk ke kantong staf nirmanfaat ini.

Membuka Istana Negara untuk dijadikan RS Darurat COVID-19

Saya pernah bergumam saat melewati Gedung Agung di pusat Kota Jogja. “Andai aku presiden, aku buka gedung ini sebagai RS COVID-19.” Bukan tanpa alasan. Saya sendiri menyaksikan eyang saya dirawat di teras RS karena ruang UGD penuh. Bisa dibilang, saya ada dendam pribadi dengan penanganan pandemi.

Membuka seluruh istana negara sebagai RS Darurat mungkin tidak benar-benar signifikan. Andaikata persiapan alat kesehatan bisa dikebut sehari, kapasitas perawatan juga tidak melonjak signifikan. Tapi, saya bisa melakukan publicity stunt sederhana yang semoga membesarkan hati rakyat. Bahwa pemerintah tetap hadir secara nyata menyelamatkan rakyat dari pandemi.

Melaksanakan penanganan pandemi seturut UU Kekarantinaan Kesehatan

Ini juga sedikit cara saya menunjukkan kehadiran pemerintah dalam penanganan pandemi. Sudah lama banyak pihak menuntut penanganan pandemi COVID-19 dilaksanakan seturut UU Kekarantinaan Kesehatan. Alasannya sudah pasti agar negara tidak lepas tangan saat melakukan karantina.

Setidaknya, saya bisa merasakan karantina wilayah dengan support penuh negara. Dan meskipun saya yakin kalau upaya ini pasti terhalang oleh birokrasi, tapi apa salahnya mencoba ketika jadi presiden selama sehari ini? Kecuali ketika saya sebagai presiden masih terjebak urusan fotokopi KTP untuk melaksanakan UU ini.

Membuka akses dokumen serta CCTV Pemerintah ke rakyat

Wah ini juga jadi mimpi saya sejak lama. Dan dalam waktu satu hari ini, saya yakin saya punya cukup waktu untuk membuka rahasia-rahasia pemerintah. Edward Snowden saja bisa membuka file pemerintah Amerika Serikat bermodal ilmu hacking. Masak saya yang seorang presiden kalah keren dengan Mas Snowden ini?

Seperti bola salju, saya hanya melempar akses saja ke masyarakat. Ya pastinya dengan format read only. CCTV di berbagai gedung pemerintahan juga ingin saya buka. Biar saja dalam sehari rakyat bisa mengepul data yang selama ini dirahasiakan. Entah karena sensitif, penting, atau demi menutupi belang pemerintah.

Meminta maaf

Nah, yang terakhir ini adalah mimpi besar saya juga. Sebagai sosok yang menjadi simbol negara (katanya), saya bisa mewakili pemerintah untuk minta maaf. Apalagi urusan minta maaf ini selalu dituntut berbagai elemen masyarakat, entah dalam urusan apa saja.

Pertama, minta maaf karena pemerintah abai dalam melindungi rakyat dari Pandemi. Kedua, minta maaf karena presiden lain tidak mengindahkan Aksi Kamisan. Ketiga, minta maaf pada aksi genosida pasca 65 dan reformasi. Keempat, minta maaf karena sudah melemahkan KPK. Dan terakhir, minta maaf karena saya cuma jadi presiden selama sehari.

*********

Meskipun saya skeptis dengan segala sistem pemerintahan, setidaknya seru juga jadi presiden sehari. Dan di pengujung pemerintahan saya yang sehari ini, saya ingin menutup dengan ngopi santuy di depan istana negara. Dengan sarung dan kaos oblong, tersenyum bangga karena bisa berbuat sesuatu yang kadang gagal dilakukan seseorang selama lima tahun.

BACA JUGA ‘Negri Ngeri’ Adalah Gambaran Indonesia Saat Dihajar Pandemi dan tulisan Prabu Yudianto lainnya. 

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version