Anak Bungsu dan Anak Sulung Nggak Ada Bedanya, Sama-sama Remuk Dihajar Keadaan

Anak Bungsu dan Anak Sulung Nggak Ada Bedanya, Sama-sama Remuk Dihajar Keadaan

Anak Bungsu dan Anak Sulung Nggak Ada Bedanya, Sama-sama Remuk Dihajar Keadaan (Pixabay.com)

Katanya, jadi anak bungsu itu menyenangkan. Segala rasa cinta dan perhatian ditujukan padanya. Kebalikannya, jadi anak sulung itu menyebalkan. Ekspektasi dan beban ditaruh di pundak ringkih mereka yang kelabakan memandang dunia. Tapi, bagi saya, anak bungsu dan sulung nggak ada bedanya.

Setidaknya itu yang benar-benar terjadi dalam keluarga saya. Iya, saya si anak bungsu tersebut.

Kalau dalam video-video itu biasanya anak bungsu dibangunkan dengan cara yang lemah lembut dan penuh kasih sayang. Ibu saya tidak. Kalau saya telat bangun ya dimarahi. Kalau batuk ya dibilangin “es terooos”. Sama kayak kakak saya yang anak pertama.

Selama menjalani hidup sebagai anak terakhir dari empat bersaudara, saya tidak pernah merasa diberi perlakuan khusus oleh kedua orang tua saya. Jika saya salah ya tetap dimarahi, jika saya meminta sesuatu juga tidak langsung dikasih. Apalagi keluarga saya bukan tergolong yang berada, jadi mau sesuatu ya wajib menunggu.

Dulu, jika kakak saya dibelikan sesuatu, ibu saya akan langsung menjelaskan bahwa itu dibeli karena kebutuhan kakak saya lebih besar dibandingkan kebutuhan saya. Apa kemudian sebagai anak bungsu saya menolak alasan itu dan marah-marah ke ibu saya? Oh tentu tidak. Saya mengalah.

Malah bisa dibilang rasa mengalah saya lebih besar dibandingkan kakak saya, khususnya dengan kakak ketiga yang jarak umurnya dengan saya hanya 15 bulan. Jadi stigma anak bungsu itu lebih dimanja dan lain sebagainya tidak berlaku untuk saya.

Ditambah dengan kondisi yang akhir-akhir ini terjadi dengan keluarga saya kadang membuat saya agak tidak terima menjadi anak bungsu. Semua saudara kandung saya sudah menikah, jadi kemungkinan besar mereka tidak bisa membantu banyak untuk kedua orang tua kami. Boro-boro mau bantu, mereka bisa hidup tanpa kekurangan saja sudah cukup.

Sampai saat ini orang tua saya belum punya rumah, tetapi berencana membeli rumah dengan subsidi tentunya. Tetapi untuk bisa mewujudkannya terasa jauh lebih sulit karena belakangan keuangan keluarga hanya bisa disokong oleh Ibu saya. Saya sendiri belum bekerja, walaupun bekerja mungkin juga tidak bisa langsung membantu.

Sebenarnya saya bisa saja bersikap tidak peduli dengan itu, tapi kan nggak bisa juga kayak gitu. Gambaran kasarnya saya ini menjadi harapan terakhir buat mereka karena saya belum menikah dan kemungkinan besar akan berkontribusi untuk merealisasikan rencana itu ke depannya.

Kok saya mau-maunya begitu? Kahanan e, Bos. Hidup itu kompleks.

Sialnya mendapatkan pekerjaan dengan bayaran yang baik itu tidak semudah mengomentari hidup orang lain. Saya beberapa kali mengajukan lamaran pekerjaan, tetapi hingga saat ini saya masih menjadi pengangguran. Tidak jarang saya menggerutu dalam hati, “Kurang ajar ya kalian para kakak pada nikah cepat-cepat, kan saya jadi sendirian yang memikirkan ini.”

Bukan saya tidak ingin menjadi anak bungsu yang selama ini melekat di kepala orang-orang yaitu dimanja dan mendapatkan hak istimewa yang dimiliki si bungsu saja. Sayangnya Tuhan tidak menempatkan saya pada posisi itu. Mau marah sama Tuhan? Bisa celaka saya.

Namun, menjadi anak bungsu juga ada hikmahnya. Menjadi anak bungsu membuat saya tidak kemudian bertindak egois. Sebaliknya saya justru bisa lebih sabar jika apa yang saya butuhkan belum tentu bisa dipenuhi oleh kedua orang tua saya. Saya bisa melihat permasalahan dari sudut pandang yang berbeda.

Lalu saya juga bisa sekolah sampai perguruan tinggi karena ekonomi keluarga saya semakin membaik ketika saya SMA. Semisal saya menjadi anak sulung mungkin untuk membayangkan kuliah saja sudah tidak mampu.

Mungkin hal itulah penyebab munculnya anggapan tentang anak sulung dan bungsu. Anak sulung lahir (biasanya) ketika keluarga sedang berjuang, maka mereka merasakan beban yang amat besar. Sedangkan kebalikannya, si bungsu datang ke dunia ketika keluarga sudah ada di puncak. Sudut pandang dua anak bisa jadi amat berbeda.

Saya kadang berpikir, jangan-jangan, anak bungsu dimanja itu hanya terjadi di keluarga yang finansialnya bagus. Kalau benar, berarti anggapan bungsu paling dimanja itu jelas nggak valid. Lha gimana, mayoritas penduduk kan… ah nggak tega.

Akhirnya yang bisa saya lakukan saat ini hanya menerima keadaan dan mencari solusi sebaik-baiknya dengan apa yang sudah dan sedang terjadi. Bukankah hidup ini memang isinya penderitaan? Entah menderita karena uang, kesepian ataupun menjadi si anak bungsu yang ditinggal nikah oleh kakak-kakaknya. Sial.

Penulis: Husnil Khatimah Nst
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Sebagai Anak Tengah, Saya Muak pada Glorifikasi Sulung dan Bungsu

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version