Saya sering mendapatkan curahan hati dari anak-anak kecil yang sering menumpang WIFI di kelurahan. Mereka curhat perihal orang tuanya. Saya tanya kenapa? Kata mereka orang tuanya sering marah-marah tak jelas kalau pulang kerja. Mereka yang lagi asyik nonton TV, tiba-tiba dimarahi habis-habisan. Dibilang terlalu lama menonton TV. Padahal, mereka baru nonton TV setelah sibuk membantu beres-beres rumah.
Selain itu, mereka juga dikata-katai, disumpah serapah, hingga dicaci maki. Padahal mereka tidak tahu salahnya apa. Mereka sudah membantu beres-beres rumah, sudah membantu ini-itu, tetapi tetap saja di mata orang tua mereka, mereka selalu salah dan buruk.
Hampir semua anak-anak yang saya temui di kelurahan itu mengalami nasib yang sama. Kira-kira ada sepuluhan anak. Mereka juga bercerita perihal harapan mereka. Sebenarnya, mereka tidak ingin keluar rumah dan main seperti ini. Mereka ingin di rumah, karena bagi mereka tempat paling aman adalah rumah. Namun, harapan mereka sirna ketika mendapati rumah yang mereka damba-dambakan tidak pernah terwujud.
Keinginan mereka sederhana, mereka hanya ingin orang tua mereka memahami dan lebih mengerti apa yang mereka inginkan. Bukannya mereka yang harus selalu memahami orang tuanya. Anak-anak itu sebenarnya ingin dekat dengan orang tuanya, seperti yang ada di video-video media sosial, tetapi anak-anak malang itu tidak pernah mendapatkannya. Mereka malah menjadi tempat pelampiasan kekesalan orang tua mereka sendiri.
Kasus-kasus itu menimbulkan pertanyaan pada diri saya, apa sih tujuan orang tua membuat anak? Apakah hanya untuk menumpahkan nafsu birahi mereka? Apakah hanya untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan ketika lebaran datang? Atau justru malah untuk dijadikan investasi kekayaan orang tua di masa depan?
Psikolog anak dan keluarga dari Poin Clinician, Astrid W.E.N, MPsi, mengatakan pada dasarnya kekerasan merupakan penyalahgunaan kekuasaan. Di mana seharusnya pihak yang ‘kuat’ melindungi pihak yang ‘lemah’. Dengan kata lain, pihak yang kuat menindas, melakukan kekerasan, atau memanfaatkan pihak yang lemah.
“Dalam kasus anak dan orang tua, orang tua memang lebih kuat, sedangkan anak lebih lemah. Sehingga saat orang tua mendapatkan tekanan atau perlu melampiaskan emosinya, mereka akhirnya menjadikan anak sebagai korbannya (tempat untuk melampiaskan)”
Dari pernyataan tersebut tertulis pihak yang kuat harus melindungi pihak yang lemah jadi artinya apa, seharusnya orang tualah yang berupaya memahami keinginan sang anak, bukannya malah anak yang harus berupaya memahami keinginan orang tua. Anak belum mampu untuk hal itu, makanya orang tua yang lebih tahu akan kehidupan, yang lebih memahami akan kehidupan dan mungkin pernah belajar pula perihal psikologi anak, mencobalah memahami keinginan anak.
Mentang-mentang orang tua yang membiayai semua kehidupan anaknya, mereka seenaknya mengatur dan mengarahkan anak sesuai dengan semua yang mereka inginkan. Artinya, “Orang tua tidak ikhlas memberi makan, mengasihani anaknya dan mereka melakukan semua karena hanya ingin meminta timbal balik saja.” Kalau memang itu yang ada di mindset pikiran orang tua jaman sekarang, saya akan mengatakan mereka salah besar selama ini.
Anak bukanlah robot yang dihadirkan di muka bumi ini hanya untuk disuruh-suruh, dibentak-bentak dan menuruti semua keinginan orang tua. Anak juga bukan investasi kekayaan yang semua pendidikan, semua minat bakat anak harus lenyap karena harus menuruti keserakahan orang tuanya.
Anak adalah anugerah dan amanat dari Allah SWT. Orang tua perlu menyadari, merekalah yang nantinya akan menolong kalian di akhirat. Seperti yang tertuang di hadits Rasulullah, amalan yang tidak pernah putus meskipun orang itu mati adalah doa dari anaknya. Jadi, saya mohon jangan semena-mena pada anak kalian. Kasihilah mereka, mencoba mengertilah dan hilangkan mindset-mindset material yang tertanam pada pikiran kalian. Anak tidak salah, pahamilah keinginan mereka wahai kalian orang tua.
Terakhir, jangan pernah mencoba memaksakan jalan hidup anak harus seperti yang kalian inginkan. Misalnya, perihal pendidikan. Biarkan anak yang memilih, mau sekolah di mana, mau kuliah di mana, sesuai dengan keinginan dan bakat mereka. Karena apa? Segala sesuatu apabila dikerjakan dengan kesenangan maka hasilnya akan maksimal.
Untuk menjadi penutup artikel ini, saya akan berikan puisi dari Khalil Gibran tentang anak. Semoga dengan membaca puisi ini, para orang tua sadar dan memperlakukan anak dengan baik.
Anakmu Bukanlah Milikmu – Khalil Gibran
Anakmu bukanlah milikmu,
mereka adalah putra putri sang Hidup,
yang rindu akan dirinya sendiri.
Mereka lahir lewat engkau,
tetapi bukan dari engkau,
mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.
Berikanlah mereka kasih sayangmu,
namun jangan sodorkan pemikiranmu,
sebab pada mereka ada alam pikirannya sendiri.
Patut kau berikan rumah bagi raganya,
namun tidak bagi jiwanya,
sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
yang tiada dapat kau kunjungi,
sekalipun dalam mimpimu.
Engkau boleh berusaha menyerupai mereka,
namun jangan membuat mereka menyerupaimu,
sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
ataupun tenggelam ke masa lampau.
Engkaulah busur asal anakmu,
anak panah hidup, melesat pergi.
Sang Pemanah membidik sasaran keabadian,
Dia merentangkanmu dengan kuasaNya,
hingga anak panah itu melesat jauh dan cepat.
Bersukacitalah dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat,
sebagaimana dikasihiNya pula busur yang mantap.
BACA JUGA Kata Gus Baha’ Orang Tua yang Bisa Kualat Pada Anak, Bukan Sebaliknya atau tulisan Muhammad Khairul Anam lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.