Ternyata tak selamanya ambil KPR menguntungkan. Bisa juga berujung penyesalan apalagi jika mengambil KPR di tanah rantau tapi bercita-cita pensiun di kampung halaman.
Sebagai generasi perintis, merantau adalah hal yang lumrah dilakukan banyak orang. Rela jauh dari keluarga demi mengumpulkan rupiah sebagai modal mencukupi kebutuhan hidup yang semakin ugal-ugalan.
Tak jarang anak rantau berperan sebagai jujugan utama di keluarga besar jika ada yang berniat meminjam uang. Anak rantau dianggap banyak uang. sebab UMR di perantauan biasanya lebih besar daripada di kampung halaman. Tetapi banyak orang lupa UMR lebih besar berbanding lurus dengan harga kebutuhan yang lebih mahal. Sungguh pencitraan yang berhasil dibangun di balik tangis dan sesak yang tidak ditampilkan.
Tinggal di perantauan butuh kesiapan lahir dan batin, lingkungan baru, dan adaptasi yang butuh waktu. Mencari tempat tinggal yang tidak terlampau jauh dari tempat kerja juga menjadi pertimbangan penting. Dulu, tren kontrakan di tanah rantau menjamur. Namun kini trennya bergeser menjadi tren KPR (Kredit Perumahan Rakyat) baik subsidi, komersil, atau dengan embel-embel syariah.
Kebanyakan perantau memilih keluar uang untuk KPR tiap bulan alih-alih bayar kontrakan
Bagi kebanyakan perantau, ketimbang mengeluarkan uang tiap bulan untuk membayar kontrakan, saat ini mereka lebih memilih ambil KPR. Bayar cicilan rumah tiap bulan dinilai lebih menguntungkan. Soalnya rumah nanti akan menjadi hak milik pribadi yang kelak bisa diwariskan kepada anak.
Hal ini pula yang mendasari suami saya dulu memutuskan ambil KPR sewaktu masih lajang. Dia berpikiran untuk menyediakan tempat tinggal dulu sebelum mengajak saya untuk tinggal bersama.
Akan tetapi seiring berjalannya waktu, pemikiran lain muncul. Ada rasa sesal karena memutuskan untuk mengambil KPR di tanah rantau. Dosa riba jelas, tetapi ada hal lain yang saya dan suami rasakan selain dari sudut pandang agama.
Baca halaman selanjutnya: Mending beli rumah di kampung halaman sendiri…




















