Nasib Alumni Unesa: Sering Disangka dari Kampus Ternama padahal Kami Cuma Pura-pura Bangga

Nasib Alumni Unesa: Sering Disangka dari Kampus Ternama padahal Kami Cuma Pura-pura Bangga

Nasib Alumni Unesa: Sering Disangka dari Kampus Ternama padahal Kami Cuma Pura-pura Bangga (Ardhan Febriansyah via Wikimedia Commons)

Membaca tulisan Mas Rizky tentang enaknya menjadi alumni UNY agaknya berbeda nasib dengan menjadi alumni Unesa. Meskipun di Surabaya sudah ada ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember) dan UNAIR (Universitas Airlangga) yang lebih mentereng, alumni Unesa masih memikul beban yang tidak enteng. Banyak orang yang beranggapan bahwa kampus ini adalah kampus ternama. Padahal faktanya, ya biasa saja. Tidak jauh beda dengan kampus lain.

Hal ini saya rasakan sendiri. Dulu, saat membaca pengumuman kelulusan seleksi masuk Unesa, saya bangga tidak kepalang. Tapi setelah saya menjalani perkuliahan 4 tahun dan menjadi salah satu alumni, tak ada yang istimewa dari kampus ini sebenarnya. Masalahnya, banyak sekali orang yang yang beranggapan berkuliah di sini adalah kebahagiaan tiada tara, bahkan dianggap sebagai kesuksesan dunia. Masya Allah!

Dianggap pencetak guru berkualitas

Latar belakang Unesa sebagai mantan kampus IKIP masih sering menimbulkan kesalahpahaman. Sampai sekarang, lulusan kampus ini dipercaya secara otomatis akan berakhir menjadi seorang guru. Bahkan ini juga diyakini oleh alumni Unesa tahun 90-an sendiri. Ketika saya bercerita bahwa saya kuliah di Unesa, langsung disimpulkan, “Ooo, mau jadi guru, ya?”

Maklum sih, mereka mengenal Unesa memang sebagai kampus pencetak guru.

Hal ini berlanjut sampai kami menjadi alumni. Alumni Unesa akan menjadi sasaran lowongan kerja guru. Kadang kalau kami menolak, tak jarang kami mendapat jawaban, “Lho, kok nggak mau jadi guru?

Ya, itu masih awalan. Belum lagi kalau ketemu dengan orang yang masih awam. Kadang akan ditambah pula dengan anggapan bahwa alumni Unesa nantinya mudah mencari kerja serta bergaji besar. Haduh!

Bayangin kalau digabung, dituntut menjadi guru yang bergaji besar! Gimana itu coba?

Baca halaman selanjutnya: Identitasnya Lidah Wetan, realitasnya Ketintang…

Identitasnya Lidah Wetan, realitasnya Ketintang

Banyak alasan mengapa orang menganggap Unesa adalah kampus ternama. Pendapat saya, salah satunya karena branding Unesa yang cukup berhasil. Mungkin ya, sudah banyak yang tahu bahwa di Surabaya Unesa memiliki dua kampus yakni di Ketintang dan Lidah Wetan. Tetapi apakah ada yang benar-benar tahu nasib keduanya? Saya yakin tidak.

Ketika saya memperkenalkan Unesa, sering kali terjadi ketimpangan pengetahuan. Orang-orang sering mengira bahwa kampus saya mentereng. Dengan nada kagum mereka mengatakan saya beruntung bisa kuliah di kampus Unesa yang fasilitasnya memadai, areanya luas, ada di kawasan elit. Pokoknya tidak ada cacatnya. Apalagi gedung rektoratnya yang sangat ikonik!

Akan tetapi ketahuilah, itu berbeda dengan nasib mahasiswa yang kuliah di Ketintang, Gaes. Mereka bernasib malang. Ruang kelas harus rebut-rebutan, di foodcourt harus lesehan, dan tak jarang ada motor yang harus parkir sembarangan sampai menutup jalan. Ya, itu gara-gara kekurangan lahan.

Haduh, apalagi kalau lingkungan jalan umum di Ketintang, kemacetan adalah hal biasa bagi warganya.  

Alumni Unesa harus pura-pura bangga

Meski begitu, alumni Unesa kerap harus berpura-pura bangga dengan almamater sendiri. Alasan pertama adalah karena kita sendiri sudah bereskpektasi tinggi, menganggap kampus ini adalah kampus yang luar biasa sebelum tahu aslinya. Setelah kuliah dan paham kondisinya, ya terpaksa dijalani. Mau gimana lagi.

Alasan kedua adalah anggapan orang-orang pada Unesa. Meskipun sudah ada ITS dan UNAIR yang jauh lebih unggul, di Surabaya juga banyak kampus negeri yang masih di bawah Unesa secara ranking. Sehingga orang kadang berkomentar, “Sudah disyukuri saja. Banyak lho yang mau masuk ke sana tapi nggak diterima!”

Hmmm, sebagai alumni kami pun bingung. Bilang bangga, tapi aslinya sengsara. Kalau bilang nggak bangga, orang-orang nggak tahu faktanya dan menganggap kami kurang bersyukur. Jadi, ya sudahlah!

Penulis: Abdur Rohman
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Kuliah di Unesa Menyenangkan asal Mahasiswa Mau Berdamai dengan Tiga Kesialan Ini.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version