Bagaimana sebenarnya cara yang benar dalam menyikapi sebuah album baru band? Apakah dengan mengapresiasinya meski album itu buruk sekali, atau memberi kritikan yang pedas karena album itu tidak sebagus album sebelumnya?
Ditanya seperti ini, saya pun bingung menjawabnya. Tapi, yang saya tahu, saya akan mendengarkan lagu album band favorit saya meski jelek banget. Setidaknya, saya mengapresiasi Ghost on the Dancefloor dari Blink-182 meski saya menganggap Neighborhood adalah album yang sebaiknya Blink-182 tidak pernah rilis.
Setelah membaca Begitu Menyedihkannya Album Pop Punk Tahun Ini, saya merasa ada yang aneh dengan argumen-argumen yang ada dalam tulisan tersebut. Tapi, untuk menjelaskannya, saya ingin pakai cara kedua menyikapi album baru sebuah band yang saya sebut di paragraf pertama tulisan ini.
Keluarnya album baru sebuah band pasti akan diikuti dengan kritikan bahwa album baru tersebut tidak sebagus album sebelumnya, apalagi jika album sebelumnya adalah mahakarya. Atau setidaknya sesuatu yang membuat band tersebut berada di puncak tangga musik. Orang-orang mungkin akan kecewa, dan tidak begitu antusias dalam mendengarkan album tersebut.
Tapi, pertanyaannya adalah, sejak kapan band harus punya album baru yang sama bagusnya dengan album sebelumnya?
Dalam tulisan Begitu Menyedihkannya Album Pop Punk Tahun Ini, saya menangkap satu sinyal yang kuat: album baru yang dibuat band pop punk yang disebutkan dalam artikel mengecewakan karena tidak membawa semangat yang sama. Saya tahu kekecewaan yang penulis coba sampaikan, tapi maaf-maaf saja, bukan urusan band tersebut untuk mendengar.
Saya percaya bahwa makin bertambah umur kita, kita akan meninggalkan beberapa hal yang pernah menjadi identitas kita atau hal yang kita senangi. Setidaknya, kita sepakat bahwa meninggalkan minuman rasa-rasa adalah hal yang bijak ketika kita makin tua, kecuali kita berniat untuk bikin ginjal kita meledak. Band pun bukan pengecualian, mereka akan makin tua dan akan meninggalkan hal-hal yang pernah bikin mereka senang.
Dalam artikel yang sebelumnya saya sudah sebutkan,, ada paragraf yang berbunyi seperti ini:
“Setelah Tom Delonge lepas dari barisan Blink-182 lima tahun lalu, band pemilik tembang “Stay Together For The Kids” ini hanya sebuah band pop punk tanpa semangat nyeleneh, meskipun Matt Skiba terbilang cukup untuk menggantikan posisi yang ditinggalkan Tom, namun, dua album baru mereka, California dan Nine jelas tidak semenyenangkan album Blink-182 era Tom. California dan Nine adalah dua album milik Blink-182 yang gagal membuat pendengarnya menghilangkan rasa malu untuk telanjang sambil lari-lari di depan umum.”
Pertama, Tom DeLonge sudah pergi selama lima tahun, sebaiknya kita berhenti memikirkan Tom. Kedua, Blink-182 tak lagi semuda dulu. Orang bodoh mana yang berharap Mark Hoppus menuliskan tentang masturbasi dan anak muda horny di usianya yang ke-48?
Ini yang saya kurang suka ketika ketika ada album baru dikritik karena kurang menunjukkan warna, kurang ini, kurang itu, kurang sana, kurang sini, tapi tidak pernah mencoba melihat konteks atau alasan kenapa album dibuat seperti itu.
Album band pop punk yang rilis tahun ini memang bisa dibilang hampir tidak mencerminkan warna album sebelumnya. Knuckle Puck dan Neck Deep bisa dijadikan contoh betapa berbedanya warna mereka di album baru mereka. Alih-alih meminta mereka tetap seperti dulu, saya justru melihat bahwa pada akhirnya, sebuah band akan beranjak dewasa.
Pop punk sering dianggap musik yang menceritakan kegilaan masa muda, enerjik, dan penuh kemarahan serta melodi yang catchy. Untuk memahami kalimat tersebut, silakan dengarkan “Kali Ma” dari Neck Deep, yang menurut saya adalah lagu yang benar-benar mencerminkan apa itu pop punk. Tapi, apakah lagu pop punk selalu dan harus seperti “Kali Ma”? Apakah pop punk harus menceritakan tentang problematika anak muda?
Menurut saya sih, tidak. Selama ada nuansa punk dan pop yang tercampur dalam sound-nya, ya anggap saja itu pop punk. Kalau Blink-182 sama Neck Deep bikin lagu, ya lagu mereka pop punk. Sesimpel itu.
Kalau album baru pop punk dianggap menyedihkan karena tidak membawa semangat yang dulu pernah diutarakan, ya itu namanya meminta sebuah band untuk stagnan. Hal itu, menurut saya sama saja dengan meminta manusia untuk tidak pernah dewasa, yang mana itu tidak mungkin.
Tidak ada album yang benar-benar buruk. Bahkan album dari Wiranto pun punya beberapa lagu yang bagus. Katakanlah album baru pop punk yang ada sama sekali tidak semenyenangkan yang dulu, kita bisa melakukan beberapa hal seperti ini.
Pertama, kita bisa mencari lagu mana yang cukup kita apresiasi. Kalau memang tidak bisa, ya sudah dengarkan album yang lama saja. Kedua, cukup tidak usah didengarkan sekalian. Atau yang paling penting, menerima saja bahwa memang band yang kita cintai berubah dan mereka menemukan gaya baru yang mereka suka. Mungkin juga mereka ingin album mereka lebih bersahabat dengan pasar. Ingat, band itu bikin lagu nggak hanya untuk menyenangkan para orang yang moshing di depan mereka, tapi juga agar orang-orang merogoh kocek mereka untuk membeli karya mereka.
Ngapain juga band bikin album aman biar nggak dikritik tapi nggak menjual? Dikira mereka beli senar pakai kerikil apa.
Jadi, kita tidak boleh membandingkan album lama dengan album baru? Tentu saja boleh. Tapi, ingat bahwa tidak ada yang bisa kita lakukan selain menerimanya. Mau bagaimana lagi? Nikmati saja. Menggerutu sedikit tak apa, tapi ingat, dunia selalu berubah, dan band pun ikut berubah.
BACA JUGA Ditinggal Nikah Itu Biasa Saja, tapi Kesedihannya Perlu Dirayakan dan artikel Rizky Prasetya lainnya.