Potret kehidupan manusia pasti ada pro dan kontra. Kehidupan yang harmonis, ayem tentrem, damai, dan sebagainya, adalah harapan yang ingin dicapai dan menjadi cita-cita setiap orang. Ketika kehidupan harmonis pun kita yang senang. Mau makan, minum, kerja, dan sebagainya juga enak. Untuk mencapai tataran hidup yang harmonis, manusia harus mau berkompromi dengan beragam kepentingan sesamanya.
Baru-baru ini kita dikejutkan dengan berita-berita yang menerangkan beberapa pemboikotan produk gara-gara ketidaksetujuan terhadap Prancis. Sebagai bagian dari ekspresi berpendapat, hal tersebut sah-sah saja. Tetapi, ada beberapa catatan penting yang harus diperhatikan jika seseorang akan memboikot sebuah produk apa pun itu, tidak hanya buatan Prancis saja.
Pertama, seperti yang sudah disebutkan bahwa dalam membentuk sikap harmonis adalah kompromi. Salah satu cara sederhana dalam berkompromi dengan sesama adalah menghargai selera orang lain karena kecocokan masing-masing individu berbeda.
Misalkan, kita memboikot produk kecantikan dari Prancis. Sah-sah saja sebenarnya. Tetapi, juga harus disadari ada orang lain yang memang kulitnya sudah cocok dengan produk kecantikan Prancis. Tentu saja hal ini akan mempersulit orang yang terlanjur cocok itu.
Urusan selera memang tidak ada yang bisa memaksakan. Contoh sederhananya saja yakni masalah daging kambing. Ada orang yang suka, ada juga yang tidak suka daging kambing dengan dalih kesehatan atau lainnya. Tetapi, apakah dengan dalih bisa menimbulkan kolesterol kemudian kita seenaknya melarang orang lain tidak makan daging kambing? Tentu tidak semudah itu. Singkatnya, pantangan itu muncul untuk diri sendiri dan bukan untuk orang lain.
Kedua, sebelum memboikot produk, hendaknya memikirkan orang lain atau dari siapa produk tersebut dibuat. Produk-produk tersebut rata-rata dibuat dan ditawarkan di Indonesia. Karyawan yang bekerja juga sebagian dari orang Indonesia. Mereka memproduksi makanan, minuman, atau menawarkan jasa yang dibuat di Indonesia. Kalaupun terpaksa memboikot produk, seharusnya sudah berpikir dua atau tiga kali bagaimana perasaan mereka.
Memang benar bahwa perusahaan asing itu dimiliki oleh orang luar negeri. Tetapi, sekali lagi, sebagian warga negara Indonesia juga bekerja di perusahaan itu. Maka, jangan berpikiran bahwa perusahaan asing itu yang bekerja orang asing semuanya. Ada juga warga negara Indonesia yang bekerja sebagai teknisi, supplier, maupun pekerja tidak tetap di dalamnya.
Alasan ketiga adalah memicu kelangkaan barang. Kelangkaan barang akan memicu kenaikan harga. Hal ini disebabkan karena ketidakseimbangan kurva permintaan dan penawaran yang akhirnya membuat harga produk akan “melangit”. Jelas yang dirugikan tidak hanya produsen, tapi konsumen yang akan menikmati produk tersebut juga harus berpikir ulang. Risikonya adalah konsumen harus mencari barang substitusi yang belum tentu memiliki kualitas yang sama dengan produk langganannya.
Dalam kasus lain, kelangkaan bisa jadi akan memunculkan praktik-praktik penimbunan produk. Siapa yang diuntungkan dengan adanya praktik tersebut? Tentu saja orang-orang yang memiliki kepentingan. Harga normal, termasuk beban pajak dan pungutan lainnya, itu sudah mahal, apalagi ditambah dengan penimbunan produk-produk oleh oknum yang memanfaatkan kondisi tersebut.
Hal yang menjadi alasan selanjutnya adalah pajak. Mereka yang membeli atau menjual produk-produk bermerek secara tidak langsung memberikan kontribusi terhadap penerimaan pendapatan negara melalui pajak pertambahan nilai, bea masuk, bea impor, pajak reklame, dan sebagainya. Berkurangnya produk yang beredar juga akan memengaruhi penerimaan pajak. Kalau sudah terjadi pemboikotan yang demikian, siapa yang akhirnya dan mau untuk disalahkan?
Pemboikotan terhadap produk ternyata juga tidak menyelesaikan masalah. Jika kita jeli melihat keadaan, justru akan menimbulkan masalah baru yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Di sinilah letak pemikiran manusia untuk “empan papan” atau bisa menempatkan suatu hal pada proporsi yang tepat dalam menyatakan ketidaksetujuan.
Berkaca dari pengalaman yang sudah-sudah, seharusnya kita bisa arif dan bijaksana sebelum memutuskan memboikot sebuah produk. Jangan sampai akibat ketidaksetujuan terhadap pendapat seseorang, lantas merugikan orang lain yang tidak tahu menahu dan tidak ada sangkut pautnya dengan masalah. Kontra dalam berpendapat itu boleh, tetapi sebelum melakukan tindakan sudah selayaknya dipikirkan terlebih dahulu baik buruknya.
BACA JUGA Antasena dan Wisanggeni, Pemuda Pilih Tanding dari Negara Amarta dan tulisan Mukhammad Nur Rokhim lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.