Berselancar ria, mengunggah, dan berkomentar sebebas mungkin di internet telah menjadi suatu aktivitas yang begitu lekat dengan manusia di masa serba digital seperti saat ini. Kalau dipikir-pikir, dulu, untuk mampu mengekspresikan diri diperlukan momentum dan media yang tepat. Sangat jauh jika dibandingkan dengan masa kini, di mana setiap orang memiliki hak yang sama untuk berekspresi mau se-absurd apa pun itu. Semuanya terakomodir dalam satu media yang nggak mengenal batas waktu, yakni media sosial.
Mulai dari masyarakat kelas atas, pejabat berpangkat tinggi, masyarakat menengah, hingga masyarakat umum lainnya, sama-sama memiliki kesempatan untuk mengakses medsos. Saya nggak bisa memberikan klaim bahwa seluruh umat manusia pernah menggunakan medsos. Meski demikian, saya yakin bahwa setidaknya mayoritas umat manusia pernah menggunakan medsos untuk berbagai kebutuhan. Mau itu profesi tertentu, meningkatkan jangkauan bisnis, mencari koneksi, menjadi influencer atau sekadar hiburan di kala bosan. Intinya, medsos telah menjadi media yang nggak terpisahkan di masa serba digital ini.
Berbagai aktivitas dalam hal mengekpresikan diri dengan sangat mudah mampu dilakukan melalui medsos. Ini bukan hal baru, lihat saja betapa banyaknya ragam cerita sedih, inspiratif, konspirasi, hingga sekadar curhatan bertebaran di medsos. Uniknya, setiap unggahan di medsos pasti menimbulkan kesan yang berbeda-beda bagi para penikmatnya.
Soal kesan tersebut, ada satu hal yang sering terpikirkan dalam pikiran saya selama berselancar ria di medsos, yakni soal unggahan para pejabat di Indonesia. Sering kali konten yang diunggah para pejabat di Instagram dan Twitter, menimbulkan kesan yang justru negatif bagi sebagian orang.
Saya akan mengambil dua contoh cuitan terakhir Prof. Mahfud MD yang kita kenal bersama saat ini menduduki jabatan sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia (Menkopolhukam). Kedua cuitan blio sempat viral di Twitter dan seperti yang saya ungkapkan di atas, mengundang kesan negatif sebagian besar orang. Cuitan pertama soal komentar blio tentang drama sinetron Ikatan Cinta dibumbui analisa hukum.
PPKM memberi kesempatan kpd sy nonton serial sinetron Ikatan Cinta. Asyik jg sih, meski agak muter-muter. Tp pemahaman hukum penulis cerita kurang pas. Sarah yg mengaku dan minta dihukum krn membunuh Roy langsung ditahan. Padahal pengakuan dlm hukum pidana itu bkn bukti yg kuat.
— Mahfud MD (@mohmahfudmd) July 15, 2021
Sementara cuitan kedua, yakni soal perasaan haru Mahfud MD melihat seorang kaya raya meninggal ketika sedang menunggu antrean penangan Covid-19 dan seorang dokter senior yang merelakan oksigen untuknya kepada juniornya yang sama-sama terserang Covid-19.
Mengharukan. Ada seorang kaya raya di Jatim meninggal ktk sdg menunggu antrean penanganan. Ada jg Profesor kedokteran senior menyerahkan kesempatan kpd yuniornya utk menggunakan satu2nya oksigen yg tersisa ketika keduanya sama2 terserang Covid. Sang profesor kemudian wafat.
— Mahfud MD (@mohmahfudmd) July 26, 2021
Pada prinsipnya, kedua cuitan tersebut nggak salah dan memang sah-sah saja blio nge-tweet kayak gitu. Akan tetapi, menurut saya dan diperkuat kesan beberapa mutual yang saya ikuti, setidaknya terdapat dua alasan mengapa unggahan tersebut jadi nggak relevan di akun medsos blio. Pertama, soal status. Kedua, soal momentum. Dari sekian banyak konten para pejabat yang cenderung nyeleneh, saya mendapatkan kesan bahwa sejatinya konten tersebut adalah ungkapan dirinya sebagai pribadi, bukan sebagai pejabat.
Hal pertama soal “status” berkaitan dengan kapan ia mengunggah konten dengan niat menunjukkan kinerja sebagai pejabat atau justru sambat dan curhat sebagai pribadi. Contoh cuitan Mahfud MD di atas menurut kacamata saya adalah bentuk ekspresi sebagai pribadi. Baik itu ternyata blio juga menyukai drama sinetron dan menganalisanya berdasarkan ilmu hukumnya, begitu pula dengan sisi haru yang blio rasakan dalam kisah pengorbanan di atas.
Hal kedua soal “momentum” yang sering jadi blunder. Di saat sulit memisahkan mana konten kinerja dan curhatan, disambung dengan momentum yang nggak tepat, akhirnya timbul kesan negatif bahwa pejabat yang bersangkutan nggak mengerti kondisi dan unggahannya nggak relevan. Ini nggak membahas khusus Pak Mahfud MD saja, melainkan banyak pejabat lainnya yang melakukan hal serupa.
Oleh karena itu, ada baiknya para pejabat mulai mempertimbangkan membuat second account atau akun alter. Saya rasa, umum kok kalau satu orang memiliki beberapa akun dan itu bukan hal yang memalukan. Jadi, akun utama fokus ke “citra diri”, sedangkan akun alter fokus pada “sambatan” sehari-hari.
Membuat akun alter seperti ini cocok dijadikan alternatif bagi para pejabat yang memiliki beban kerja tinggi karena memikirkan rakyat. Biar saat hendak berselancar ria di medsos, nggak takut lagi jadi bahan sentimen publik. Bahkan bisa jadi akan memuaskan dahaga para pejabat yang hendak merasakan berekspresi layaknya masyarakat sipil dan sebebas mungkin menyukai konten tertentu tanpa rasa khawatir diawasi publik.
Oleh karena itu, monggo Bapak dan Ibu pejabat, waktu dan tempat dipersilakan untuk membuat akun alter masing-masing. Jangan lupa pakai foto profil yang lucu, ya!
BACA JUGA Alasan Terselubung Seseorang Bikin Akun Alter di Media Sosial dan tulisan Daffa Prangsi Rakisa Wijaya Kusuma lainnya.