Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Artikel

Alasan Kenapa Kita Suka Barang-Barang Mahal (dan ini Bukan Karena Pengin Pamer)

Rizky Adhyaksa oleh Rizky Adhyaksa
19 Mei 2020
A A
barang mahal, oreo supreme

Antara Merahnya Oreo Supreme dan Murahnya Supermi

Share on FacebookShare on Twitter

“Afika…”

“Apa???”

“Ada yang baru nih…”

Ya, ada yang baru dari dunia “diputer-dijilat-dicelupin.” Oreo kini berkolaborasi dengan brand streetwear paling narsis se-jagat. Saya bilang narsis karna ini bukan pertama kalinya Supreme menjual produk di luar pakemnya. Beberapa tahun silam, Supreme pernah menjual sebuah bata. Iya guys, BATU BATA. Tentu saja batu bata itu adalah batu bata yang spesial. Bukan karena tahan banting, apalagi tahan peluru, batu bata tersebut sangat spesial dan dijual mahal karena ada tulisan “Supreme.” Narsis banget kan?

Tidak butuh waktu yang lama untuk mengetahui kalau Oreo-Supreme akan dijual dengan harga yang sangat mahal. You heard the news. Sontak, banyak orang yang berlomba-lomba mereview Oreo-Supreme. Mulai dari youtuber kondang seperti Rachel Goddard, Ria Ricis, sampai Kekeyi.

Saya tidak akan membahas mengapa Oreo ini dijual sangat mahal. Singkat cerita Supreme sudah mampu memonopoli segmentasi pasar yang digemari oleh gigs-nya. Tulisan ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan “ngapain sih beli barang mahal kayak begituan?” Sepintas, pertanyaan yang saya ajukan ini bernada sirik/iri/dengki karena nggak kuat beli. Ya emang sih hehehe. Tapi saya pikir ada hal penting yang harus kita (((pelajari))) dari fenomena ini.

Sadar nggak kalau kita selalu punya keinginan untuk membeli dan memiliki barang mahal/branded? Meskipun belum berkesempatan untuk memiliki, karena cinta tak harus memiliki kita pasti pernah berangan-angan untuk setidaknya suatu saat dapat ngicip barang mahal tersebut. Bisa sepatu, baju, mobil, motor, rumah, apartemen, jam tangan, perabot, batu bata, Oreo, you name it. Semua itu membuat saya mempertanyakan “kenapa kita bisa seperti itu?”

Kita seringkali mengasosiasikan barang mahal dengan predikat-predikat positif. Kualitas yang bagus, rupa yang keren, nggak malu-maluin, dan sebagainya. Bussines Insider pernah melakukan eksperimen yang sangat menarik soal ini. Mulanya mereka membeli dua botol anggur merah (wine) dengan harga yang sama. Kemudian mereka menutup label dengan tulisan harga yang berbeda. Orang pertama yang mecoba kedua anggur tersebut memberikan review positif terhadap anggur yang lebih mahal.

Baca Juga:

Harga Kacamata Jutaan Memang Sebanding dengan Kualitas, Nggak Usah Heran

Alasan Paling Mashok yang Perlu Dipertimbangkan untuk Nggak Beli Barang Branded dan Mahal

Tidak berhenti sampai di situ, eksperimen dilanjutkan tetapi dengan menukar labelnya. Botol anggur yang sebelumnya tercantum label harga yang lebih murah, kini diberikan label harga yang lebih mahal. Botol dengan harga yang lebih mahal selalu mendapatkan respon yang lebih unggul ketimbang botol dengan harga yang lebih murah. Akhirnya, 80% orang yang terlibat dalam eksperimen tersebut lebih memilih botol anggur yang berlabel harga lebih mahal, meskipun kedua botol anggur tersebut tidak ada bedanya.

Kenapa sih kok bisa gini?

Ketakutan Menjadi Umum

Ketimbang menjawab pertanyaan ini dengan jawaban tendensius seperti keinginan untuk pamer atau mempermalukan orang lain, saya mencoba untuk menawarkan jawaban yang lebih simpatik. Kita semua, manusia yang hidup di masa modern ini, sedang berlomba-lomba satu sama lain untuk menjadi “beda.” Ya, kita ingin membedakan diri dengan orang lain. Kita tidak ingin menjadi “figuran.” Kita semua ingin merebut panggung sosial itu dan mendapatkan atensi sebanyak mungkin.

Kita sangat takut apabila menjadi sama dengan orang lain. Saya masih ingat sebuah candaan yang disematkan pada orang yang menggunakan baju yang sama dengan orang lain “Ih kok bajunya samaan? Kayak anak panti, hahaha…” padahal apa yang salah dengan menggunakan baju yang sama dengan orang lain? Atau apa yang salah dengan anak panti?”

Pamer bukanlah akar masalah, dia hanyalah gejala dari penyakit sosial yang selama ini menjangkiti masyarakat. Selama ini yang kita cari adalah martabat dan rasa hormat. Pada dasarnya, kita tidak peduli dengan pakaian dan makanan selama kita dihormati. Sayangnya, label harga membuat kita bias untuk menghormati sesuatu.

Barang yang kualitasnya bagus tetapi dijual murah, kemungkinan besar karena diproduksi secara masal dan dengan cara yang efisien. Barang yang diproduksi secara masal, bagaimana pun berguna, tidak akan mendapatkan predikat “eksklusif’ karena hampir semua orang dapat mengaksesnya. Sebaliknya, barang mahal dapat menjadi pertanda “kekhususan” seseorang.

Barang mewah disulap menjadi sumber pangakuan dan penghormatan dalam kehidupan sosial kita. Alhasil, jadilah masyarakat yang terobsesi terhadap barang (commodity fetishism) ketimbang kualitas inheren dalam diri manusia. Pada taraf yang lebih luas, seakan-akan setiap masalah yang kita hadapi dapat diselesaikan dengan membeli sesuatu.

Dapatkah kita lepas dari dunia semacam ini?

Sebagai orang yang sangat berusaha untuk menjadi optimis, saya akan menjawab “ya. Sudah ada acuan dan contoh nyata di mana seseorang dapat memperoleh pengakuan dan penghormatan bukan dari barang ‘mewah.’ Sebuah kondisi di mana kita tidak lagi menilai seseorang dari kemewahan hidupnya, tetapi dari kualitas dirinya.

Percayalah bahwa ‘kemewahan’ tidak selalu sukses di mana-mana. Sebut saja brand–brand mewah seperti Louis Vuitton, Prada, Rolex, dan Aston Martin. Keempat brand ini rasanya pengin hengkang saja dari negara yang bernama Denmark. Saat membicarakan kesejahteraan dan keadilan secara bersamaan, maka Denmark akan ditempatkan di puncak piramida. Denmark merupakan negara dengan pendapatan per rumah tangga tertinggi nomor tiga di dunia. Tingkat ketimpangan ekonomi hampir hilang dan setiap orang memiliki akses yang cukup setara terhadap kebijakan politik. Setiap orang di Denmark dapat dikatakan merupakan orang kaya dan sejahtera, tetapi mengapa penjualan barang mewah tidak berhasil di sana?

Jawabannya, karena orang-orang Denmark tidak mengukur seseorang dari pakaian, kendaraan, atau warna Oreo. Masyarakat Denmark sudah merasakan rasa penghormatan dan pengakuan yang tinggi tanpa menghitung-hitung kemewahan yang dimiliki seseorang. Di saat martabat dengan hanya menjadi manusia sudah tinggi, meskipun dengan kehidupan yang biasa-biasa saja, maka keinginan akan barang yang mewah menurun.

Keinginan kita tentang kemewahan bukanlah berpangkal dari keserakahan. Kita saja yang terlalu sibuk berpikir bahwa kehidupan ini adalah kompetisi dan martabat serta penghormatan hanya bisa didapatkan melalui kemewahan. Kita harus sadar bahwa selama ini kita berharga dan banyak orang yang mengakui keberadaan diri kita.

Tentu saja agar semua ini dapat dinikmati bersama-sama, kita perlu upaya pemerataan kesejahteraan yang lebih baik. Semua ini tentu membutuhkan upaya koletif untuk mewujudkannya. Tetapi, saya pikir tidak berlebihan apabila kita memulainya dengan cara membagikan Oreo hitam (atau Supreme kalau kamu sultan) dengan keluarga atau orang terdekat kita. Lebih baik lagi jika membagikannya kepada orang yang membutuhkan.

BACA JUGA Antara Merahnya Oreo Supreme dan Murahnya Supermi atau tulisan Rizky Adhyaksa lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Terakhir diperbarui pada 19 Mei 2020 oleh

Tags: barang mahalbarang mewah
Rizky Adhyaksa

Rizky Adhyaksa

ArtikelTerkait

Harga Kacamata Jutaan Memang Sebanding dengan Kualitasnya, Nggak Usah Heran

Harga Kacamata Jutaan Memang Sebanding dengan Kualitas, Nggak Usah Heran

3 Desember 2023
Alasan Paling Mashok yang Perlu Dipertimbangkan untuk Nggak Beli Barang Branded dan Mahal terminal mojok

Alasan Paling Mashok yang Perlu Dipertimbangkan untuk Nggak Beli Barang Branded dan Mahal

9 Juni 2021
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

6 Hal Sepele, tapi Menyebalkan Saat Zoom Meeting Mojok

6 Hal Sepele, tapi Menyebalkan Saat Zoom Meeting

30 November 2025
Video Tukang Parkir Geledah Dasbor Motor di Parkiran Matos Malang Adalah Contoh Terbaik Betapa Problematik Profesi Ini parkir kampus tukang parkir resmi mawar preman pensiun tukang parkir kafe di malang surabaya, tukang parkir liar lahan parkir

Rebutan Lahan Parkir Itu Sama Tuanya dengan Umur Peradaban, dan Mungkin Akan Tetap Ada Hingga Kiamat

2 Desember 2025
Mahasiswa UIN Nggak Wajib Nyantri, tapi kalau Nggak Nyantri ya Kebangetan

Mahasiswa UIN Nggak Wajib Nyantri, tapi kalau Nggak Nyantri ya Kebangetan

30 November 2025
4 Aturan Tak Tertulis Berwisata di Jogja agar Tetap Menyenangkan Mojok.co

4 Aturan Tak Tertulis Berwisata di Jogja agar Liburan Tetap Menyenangkan

30 November 2025
Pengalaman Nonton di CGV J-Walk Jogja: Murah tapi Bikin Capek

Pengalaman Nonton di CGV J-Walk Jogja: Murah tapi Bikin Capek

4 Desember 2025
Nggak Ada Gunanya Dosen Ngasih Tugas Artikel Akademik dan Wajib Terbit, Cuma Bikin Mahasiswa Stres!

Dosen yang Minta Mahasiswa untuk Kuliah Mandiri Lebih Pemalas dari Mahasiswa Itu Sendiri

5 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • Lagu Sendu dari Tanah Minang: Hancurnya Jalan Lembah Anai dan Jembatan Kembar Menjadi Kehilangan Besar bagi Masyarakat Sumatera Barat
  • JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan
  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.