Kalau nanti plang besar bertuliskan Maliogoro terpampang di Jalan MH. Thamrin Bojonegoro, saya rasa itu kurang tepat. Lebih parah lagi kalau kemudian orang menganggap Maliogoro sebagai Malioboronya Bojonegoro. Kalau sampai itu sampai terjadi, ora kreatif blas.
Media memang ramai mengabarkan bahwa julukan Maliogoro bukan resmi berasal dari pemkab setempat, melainkan dari kalangan masyarakat sendiri. Dan itu juga dikonfirmasi oleh Dr. Hj. Anna Mu’awanah, bupati Bojonegoro saat ini.
Akan tetapi, kalau kemudian nama Maliogoro nantinya secara resmi disematkan untuk kawasan Jalan MH. Thamrin, menurut saya ya nggak tepat. Mosok saat perencanaan penataan wilayah, pemkab nggak punya nama untuk konsep wilayah tersebut. Okelah kalau kawasan tersebut nggak diberi nama baru, makanya jangan sampai pemkab makbenduduk membuat plang bertuliskan Maliogoro dan dipasang di kawasan tersebut.
Sekalipun nama Maliogoro berasal dari celetukan masyarakat, ini juga nggak sepenuhnya salah masyarakat. Lha, siapa suruh pemkab mempercantik wilayah tersebut sama persis dengan Malioboro? Bahkan ornamen lampu sampai penataan tempat duduknya dibuat sama dengan Malioboro di Jogja. Wah, jiaaannn. Lebih parah lagi kalau kemudian pemahaman bahwa Maliogoro ini adalah Malioboronya Bojonegoro tersebar. Menyesatkan.
Beberapa waktu lalu, saya menulis artikel di Terminal Mojok berjudul Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten yang Sering Dilupakan. Saya sedikit resah dengan Bojonegoro yang nggak begitu terkenal. Tapi, usaha untuk membuat kabupaten ini terkenal ya nggak harus gitu juga, kan. Nggak harus bikin satu wilayah di Bojonegoro jadi mirip Malioboro di Jogja.
Ornamen, bangunan, bahkan konsep Malioboro memang bisa direplika, tapi nggak dengan nilai-nilai sejarahnya. Berikut empat alasan kenapa julukan Maliogoro untuk Jalan MH. Thamrin Bojonegoro kurang tepat.
Daftar Isi
Marlborough, Malyabhara, Malioboro
Malioboro yang kita kenal bukanlah nama sebuah tempat. Malioboro adalah nama jalan. Penamaan jalan ini juga nggak asal-asalan, apalagi asal mereplika saja. Beberapa teori mengungkapkan bahwa nama Malioboro berasal dari nama seorang kolonial Inggris bernama Marlborough yang pernah tinggal di sana pada rentang waktu 1811-1816 M.
Sementara itu, menurut dosen Sejarah UI, Prof. Peter Brian Ramsey Carrey, dalam sebuah kitab Ramayana terdapat satu keterkaitan antara penamaan Jalan Maliboro dan Kota Jogja. Menurutnya, nama asli Jogja adalah Ngayogyakarta. Nama yang terinspirasi dari sebuah nama kerajaan dalam kitab Ramayana, yakni Ayodya. Selanjutnya, masyarakat Jawa terbiasa menyebut Ngayodya, sehingga terdengar seperti Ngayogya.
Masih dalam kitab Ramayana, di sinilah letak keterkaitan antara Malioboro-Kota Jogja. Kitab Ramayana menyebutkan, terdapat satu jalan yang digunakan untuk menyambut raja serta tamu-tamunya. Jalan tersebut adalah Jalan Malyabhara. Dalam bahasa Sansekerta, malya berarti bunga, dan bhara berarti mengenakan. Mungkin juga penamaan itu masih terkait dengan acara-acara besar Kraton dulu yang diadakan di Jalan Malioboro di mana saat acara berlangsung, sepanjang Jalan Malioboro selalu dipenuhi bunga-bunga. Sisi historis inilah yang nggak bisa kita jumpai di Maliogoro.
Bagian dari Sangkan Paraning Dumadi
Sangkan Paraning Dumadi adalah perjalanan manusia dari lahir hingga kembali lagi kepada Sang Pencipta. Dalam bahasa Jawa, sangkan berarti asal muasal, paran adalah tujuan, dan dumadi berarti menjadi. Konsep tersebut juga merupakan salah satu ajaran Pangeran Mangkubumi yang merupakan Sri Sultan Hamengkubowono I.
Sementara itu di Ngayogyakarta, Sangkan Paraning Dumadi memiliki simpul utama. Simpul utama tersebut adalah Panggung Krapyak-Kraton-Tugu Jogja.
Dari Panggung Krapyak ke Kraton melambangkan sangkaning dumadi. Sangkaning dumadi ini merupakan perjalanan manusia dari lahir, dewasa, hingga kemudian memiliki keluarga. Sedangkan Tugu ke Kraton melambangkan perjalanan manusia menuju akhir hayatnya. Pada bagian itulah Jalan Malioboro menjadi satu kesatuan dari ajaran Pangeran Mangkubumi tersebut. Jalan Malioboro merupakan jalan yang dilalui dari Tugu ke Kraton.
Pusat perekonomian dan pemerintahan
Pada abad ke-19, pemerintah Hindia Belanda mulai menjadikan Malioboro sebagai pusat perekonomian dan pemerintahan. Sebagai bentuk keseriusan pemerintah Hindia Belanda, maka dibangunlah Benteng Vredeburg, Istana Keresidenan Kolonia (istana presiden sekarang), serta pasar beringharjo.
Secara simbolis, pemerintah Hindia Belanda menyatakan perlawanan terhadap digdayanya Kraton sebab megahnya istana Kraton yang menguasai kawasan tersebut. Seiring dengan terbitnya Undang-Undang Agraria, mulai berkembang juga kawasan sentra ekonomi di Malioboro. Sejak itu, Hindia Belanda menjalankan Open Door Policy atau Politik Pintu Terbuka. Penanaman modal swasta mulai diperbolehkan masuk, aturan tanah diperketat pada fase ini.
Akibat modal asing boleh masuk, bangunan-bangunan lain yang mendukung perekonomian juga turut dibangun. Mulai dari stasiun, bank, pusat perdagangan, dan sekolah dibangun di sekitar sini. Langkah ini juga menjadi keniscayaan jika roda perekonomian akan semakin cepat berputar.
Pada abad ke-20, jumlah pelancong ke wilayah ini semakin banyak yang kemudian turut menjadikan Malioboro sebagai wilayah paling sibuk hingga saat ini. Meskipun kini pedagang kaki lima sudah direlokasi, sejarah panjang di belakang nggak bisa dilepaskan begitu saja.
Sementara itu, Jalan MH. Thamrin Bojonegoro dulunya merupakan sebuah tanggul yang kemudian dipercantik hingga mirip Malioboro Jogja dan disebut sebagai Maliogoro. Beda banget kan sama Malioboro?
Saksi sejarah perjuangan Indonesia
Jalan Malioboro juga menjadi saksi atas perjuangan kemerdekaan RI, lho. Peristiwa yang terjadi di jalan ini kemudian dikenal dengan Serangan Umum 1 Maret 1949.
Mengutip dari buku Serangan Umum 1 Maret 1949 dalam kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia (2010) karya Batara R. Hutagalung, serangan itu dilakukan oleh pasukan TNI dari Brigade 10/Wehkreise III di bawah pimpinan Letkol Soeharto. Sebelumnya, penyerangan itu telah mendapatkan izin dari Sri Sultan Hamengkubowono IX, di mana saat itu ia menjabat sebagai kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sebagai bentuk kehormatan dan mengenang jasa para pahlawan dalam peristiwa tersebut, dibangunlah monumen serangan umum 1 maret 1949. Monumen itu terletak di sekitar area museum Benteng Vredeburg.
Itulah empat alasan mengapa julukan Maliogoro terasa kurang tepat untuk Jalan MH. Thamrin. Bahkan kalau sampai ada anggapan Maliogoro adalah Malioboro-nya Bojonegoro, duh kesannya jadi kurang kreatif. Padahal potensi Bojonegoro dengan segala anugerahnya itu besar sekali, lho. Mbok yo kembangkan sesuatu yang merepresentasikan Bojonegoro gitu, lho.
Penulis: Faiz Al Ghiffary
Editor: Intan Ekapratiwi