Beberapa waktu yang lalu viral nama-nama yang paling banyak digunakan berdasar berdasar catatan Ditjen Dukcapil Kemendagri. Salah satu yang viral adalah nama bayi laki-laki dan perempuan paling populer. Tidak sedikit netizen yang mengomentari, nama bayi-bayi zaman sekarang semakin panjang serta kian sulit dalam pengucapan dan penulisannya.
Setelan dicermati lagi, netizen tidak salah juga. Nama bayi laki-laki paling populer misal, Muhammad Al Fatih (1.326 anak), spasi antara “Al” dan “Fatih” rawan terjadi kesalahan penulisan. Sementara nama bayi perempuan paling populer ada Allea Shanum Alamahyra (1.293 anak). Nama tersebut cukup panjang dan kombinasi antara huruf “h” “y” “r” di kata terakhir cukup rumit.
Sebenarnya bukan porsi saya untuk mengomentari nama-nama anak yang kian ribet itu. Apalagi, di balik nama-nama tersebut terselip segudang doa orang tua untuk sang buah hati. Namun, fenomena penamaan yang kian rumit ini menarik untuk dibahas. Terlebih mulai muncul candaan kalau penamaan ini muncul karena orang tua mereka adalah generasi yang dahulu sering membuat julukan ganjil bin aneh di Facebook.
Nah, daripada muncul semakin banyak candaan dan analisis sembarang seperti di atas, menurut saya ada beberapa alasan yang membuat para orang tua zaman sekarang memberi nama yang rumit untuk sang buah hati.
Daftar Isi
Nama anak makin rumit demi menghindari bully
Entah sejak kapan nama-nama sederhana seperti Joko, Bambang, Sumarni semakin tidak banyak digunakan. Nama-nama yang identik dengan generasi X dan Boomer itu justru menjadi bahan ejekan oleh anak-anak sekolah sekarang ini. Nama-nama tersebut dianggap “jadul” dan dianggap tidak cocok untuk disematkan di generasi sekarang.
Demi menghindari bully, para orang tua memilih memberikan nama yang terdengar lebih modern dan bisa diterima. Praktik ini sepertinya terus berlanjut hingga akhirnya menciptakan beragam nama yang kian rumit seperti sekarang ini.
Nama yang unik bisa jadi bekal personal branding di masa mendatang
Banyak orang tua ingin memberi nama yang unik untuk buah hati mereka. Mereka ingin memberikan nama yang unik dan menarik supaya anak mereka bisa “berbeda” dan lebih “menonjol” daripada yang lain. Mungkin, keinginan ini muncul karena adanya kesadaran akan pentingnya personalisasi.
Salah satu cara paling mudah agar terlihat menonjol ialah memiliki nama antik. Bukan hanya mencomot atau menggabungkan penggalan kata berbau kultur Barat, Sansekerta, dan Jawa. Bahkan, kalau memungkinkan, nama anak tersebut dapat dibaca sebagai suatu kalimat bermakna. Misalnya saja, nama “Anaku Askara Biru” atau “Kinasih Menyusuri Bumi” yang merupakan nama lengkap anak dari beberapa pesohor Indonesia.
Formula lain adalah mengambil kata yang mengindikasikan profesi orang tua. Contohnya saja, nama “Alinea” dan “Aksara” yang dicantumkan pada nama anak penulis Raditya Dika. Intinya, nama anak harus dapat memancarkan selera seni dan seberapa tinggi kreativitas orang tua mereka.
Mendongkrak kelas sosial
Melansir dari theconversation.com, nama berbau modern dipercaya sanggup mendongkrak kelas sosial. Tak heran, ada masanya para orang tua berbondong-bondong memberikan nama bergaya global kepada putra-putrinya. Bahkan, beberapa nama yang melukiskan identitas kedaerahan sempat ditinggalkan.
Untungnya, belakangan ini sejumlah pesohor kembali menamai anaknya dengan unsur lokal. Semenjak itu, nama yang membumi dan khas nusantara seakan naik kasta. Dampaknya, orang tua mulai tak ragu memanfaatkan kosakata lokal sebagai nama anak mereka.
Dari kedua kejadian tersebut, jelas bahwa nama memiliki fungsi sebagai penanda kelas sosial. Beberapa dekade silam nama dengan sentuhan asing berhasil menjelma menjadi simbol masyarakat menengah atas nan modern. Namun, sekarang justru nama bercorak Ibu Pertiwi menempati tahta tertinggi.
Ternyata ada alasan-alasan lain yang dipertimbangkan para orang tua zaman sekarang ketika memberikan nama. Alasan yang muncul seiring dengan munculnya kesadaran-kesadaran baru di tengah masyarakat. Siapa pun dan bagaimanapun namanya, saya yakin nama-nama itu mengandung doa baik orang tua untuk anak-anaknya.
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Nama Orang Jepang: Cukup Dua Kata, Tanpa Gelar
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.