Saya warga Bandungan, Semarang. Banyak yang memberi julukan daerah saya dengan “warung jajan” dan “red light”-nya Kabupaten Semarang. Tidak masalah. Sungguh tidak masalah, karena apa pun julukannya, hal itu benar-benar mengentaskan kemiskinan di daerah saya. Buktinya adalah, semakin banyak orang di sini yang sudah punya mobil sekarang. Padahal mayoritas dari penduduk di sini adalah petani bunga.
Selain itu, pembangunan di daerah Bandungan juga masif. Atau jika ada istilah yang lebih menggambarkan betapa cepatnya pembangunan yang dilakukan oleh swasta maupun pemerintah, maka saya akan pakai istilah itu.
Dulu ketika saya kecil, daerah Bandungan memang sudah dikenal luas sebagai “tempat jajan”. Meskipun begitu, julukan tersebut bukan hanya menyoal tentang dunia esek-esek. Tapi juga tentang bunga, sayur mayur, dan beragam destinasi wisata yang sudah ada sejak dulu. Julukan tersebut membuat lalu-lalang lalu lintas di daerah Bandungan semakin padat. Dan hal itu membuat pemerintah akhirnya membangun jalan-jalan di daerah Bandungan untuk diperluas dan diperhalus. Serta merelokasi pasar Bandungan dan membaginya menjadi tiga pasar; pasar bunga, pasar sayur dan pasar tradisional. Pasar bunga terletak di kanan jalan tanjakan ke arah alun-alun baru Bandungan, pasar tradisional terletak di bawah pasar bunga, dan pasar sayur terletak di Ngasem, sedikit ke bawah lebih jauh.
Selain membangun jalan, pemerintah juga mengekspansi pembangunan pada infrastruktur dukungan untuk tempat wisata seperti terminal. Terdapat beberapa terminal bus baru. Ingat, beberapa! Bukan hanya satu! Satu terminal di bawah tempat wisata Candi Gedong Songo, satu terminal di pasar bunga Bandungan, dan satu terminal di pasar lokal Bandungan.
Kok ada dua pasar? Bagi yang belum pernah ke Bandungan, di Bandungan pasar bunga dan pasar tradisional memang dibedakan untuk menghindari kemacetan ketika hari-hari tertentu. Dulu ketika masih jadi satu, itu macetnya parah luar biasa. Dan area yang dulunya pasar itu, sekarang sudah berubah menjadi alun-alun baru Bandungan.
Selain pemerintah, pihak-pihak swasta juga ikut andil dalam menyumbang pembangunan. Seperti tempat-tempat wisata baru banyak bermunculan, disusul dengan ekspansi tempat wisata yang sudah ada sebelumnya. Juga pembangunan domestik oleh masyarakat umum seperti pembangunan ruko-ruko yang mulai menjamur di sepanjang jalan Bandungan.
“Ya bagus, dong, berarti ekonominya aktif dan progresif!”
Betul, yang disayangkan adalah pembangunan yang terus menerus itu pada akhirnya membuat alam semakin rusak. Krisis lingkungan sekarang benar-benar terjadi dan masyarakat lokal merasakan betul efeknya. Saya tidak berbicara soal ide yang muluk-muluk atau sedang merancang sebuah kritik yang berat-berat. Saya hanya resah ketika kerusakan terjadi dan pemerintah seperti menutup mata terhadap kerusakan-kerusakan tersebut. Sejak dulu saya diam saja dan hampir tidak berani mengatakan apapun.
Tapi, mau bagaimana lagi? Siapa lagi yang harus kita tagih pertanggungjawaban atas kerusakan-kerusakan itu? Akhirnya saya memberanikan diri untuk mengirim tulisan ini dengan harapan agar pemerintah setempat membaca tulisan ini dan tidak menutup mata lagi pada kerusakan lingkungan yang terjadi di Bandungan.
Banjir di Bandungan
Sejak saya kecil, saya tidak membayangkan akan terjadi banjir bandang di Bandungan. Banjir itu seketika menyulap jalan-jalan besar, terutama tanjakan dari arah Candi Gedong Songo menuju ke bawah, menjadi terlihat seperti sungai besar yang meluap. Selain di tanjakan arah Candi Gedong Songo, banjir bandang itu juga terjadi di tanjakan dari arah alun-alun baru Bandungan menuju ke pasar bunga dan pasar tradisional. Sampai-sampai beberapa waktu lalu, video-video banjir bandang Bandungan itu viral di beberapa media sosial lokal.
Aspal-aspal yang dibangun oleh pemerintah rontok, kerikil-kerikil dari aspal yang rontok itu ikut hanyut bersama banjir. Membuat para pengendara baik motor maupun mobil mengurungkan niat untuk melanjutkan perjalanan karena terlalu membahayakan. Bisa Anda bayangkan bagaimana banjir bandang diiringi kerikil-kerikil aspal yang hanyut itu mengalir deras dari sudut kemiringan tanjakan yang sekitar 30-40 derajat kemiringan.
Sejujurnya saya bukan sarjana lingkungan atau teknik sipil, atau sarjana apa pun yang berhubungan dengan pembangunan infrastruktur. Tapi saya melihat bahwa dulu ketika pembangunan tidak semasif ini, mau sederas apa pun, hujannya tidak ada banjir seperti ini yang terjadi.
Banjir seperti itu tidak terjadi sekali dua kali saja. Sekarang, setiap kali hujan deras, maka dapat dipastikan Bandungan tidak aman dari banjir. Saya dulunya berpikir tidak mungkin banjir terjadi di ketinggian pegunungan. Saya dulunya berpikir bahwa banjir hanya terjadi di dataran rendah yang dekat laut atau dekat sungai-sungai besar. Namun setelah saya menyaksikan langsung bagaimana banjir bandang itu menyulap jalan raya menjadi sungai yang penuh dengan kerikil, itu membuat saya ngeri.
Saya membayangkan bagaimana kira-kira banjir yang akan terjadi 5 sampai 10 tahun mendatang ketika pembangunan yang masif seperti ini terus dilakukan. Bahkan di beberapa titik, sampai sekarang ketika tulisan ini dibuat, pembangunan tersebut masih berlangsung dan tidak tahu kapan akan berakhir.
Beberapa usulan
Saya sadar betul bahwa apa yang saya usulkan adalah sesuatu yang berasal dari pengamatan awam saya. Oleh karena itu saya memohon kepada Anda yang memiliki keilmuan di bidang ini (pembangunan dan lingkungan) untuk merumuskannya menjadi usulan yang lebih ilmiah, atau lebih didengar oleh pemerintah.
Saya merasa bahwa banjir yang terjadi di Bandungan bukan semata-mata disebabkan oleh jalanan yang dibangun dengan sedikitnya jalur air. Di beberapa jalan sudah ada jalur airnya agar air hujan bisa lewat. Tapi tetap saja air seperti tidak mau masuk ke jalur tersebut atau mungkin sudah meluap. Apalagi jalur air yang dibangun terkesan hanya untuk formalitas belaka. Sejak sekarang, saya harap pemerintah bisa bergerak untuk membenahi agar jalur air tersebut benar-benar berfungsi sehingga air mau lewat jalur itu.
Kedua, saya pikir air yang turun ke bawah disebabkan oleh air yang tidak memperoleh resapan di atas. Karena daerah resapan berkurang, akibatnya air mengalir ke bawah dan menambah volume air. Sementara jalur air di bawah sama sekali tidak siap dan kurang mumpuni untuk menampung volume air yang datang dari atas sehingga banjir bandang terjadi. Oleh karena itu saya harap pemerintah bisa bergerak untuk memantau resapan air di bagian atas gunung Ungaran dan mencari penyebab kenapa air yang turun begitu banyak dan tidak mau meresap.
Ketiga, saya sadar bahwa pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat dan swasta memiliki standar dan kesadaran yang kurang terhadap jalur air. Sehingga pembangunan yang dilakukan secara serampangan tersebut ikut berkontribusi terhadap peningkatan volume air yang turun ke bawah. Dan apabila hal tersebut tidak segera dibenahi maka tahun-tahun ke depan akan lebih sering terjadi banjir ketika hujan.
Oleh karena itu saya memohon kepada masyarakat dan swasta agar lebih memperhatikan lagi bagaimana konsekuensi dari pembangunan di Bandungan yang dilakukan terhadap masalah air ini. Saya juga meminta kepada pemerintah untuk memberikan semacam sosialisasi terhadap masyarakat dan swasta agar melakukan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Agar bencana-bencana yang lebih buruk tidak terjadi.
Penulis: Zein Muchamad Masykur
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Enak Saja, Wisata Bandungan Itu Bukan Melulu soal Prostitusi ya!